Ulul Albab dalam Perspektif Intelektual Muslim

Sumber: Republika

Oleh: Toni Suhendra *

Munculnya fajar modernitas yang memposisikan kekuatan akal pikiran sebagai satu-satunya sumber utama dalam kehidupan telah mendorong berbagai kemajuan yang pesat di dunia. Kemajuan tersebut tumbuh dari berbagai bidang kehidupan mulai dari ranah politik, sains, teknologi, sampai ekonomi. Hal ini sebenarnya tidak terlepas dari sejarah panjang masa lalu manusia, yang pada peralihan abad pertengahan ke abad lain yang disebut renaissance, dari sana kebangkitan ilmu pengetahuan mulai muncul. Bagi seorang muslim, sejarah adalah rangkaian-rangkaian peristiwa yang tidak sedikit pun akan mengubah atau mempengaruhi dasar-dasar dari Islam itu sendiri, atau dengan kata lain hanya akan diperlukan pembaharuan atasnya.

Maka dari itu, seorang muslim dituntut untuk berusaha beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang ada. Mendiskusikan tema tentang konsep muslim modern yang tidak akan pernah selesai dibahas sampai sekarang. Berbagai pemikiran dihadirkan untuk membahas dan membedah tentang konsep muslim yang berintelektual. Keintelektualan seseorang begitu identik dengan memberdayakan akal pikiran sabagai ujung tombak dalam memahami peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan.

Pemikiran yang berasal dari dunia barat sangat mendominasi semua lini kehidupan, maka muncullah sumber kekuatan baru dari timur, yang mana perubahan besar itu berawal dari hijrah Rasulullah saw dari Makkah ke Madinah pada tahun 622 M yang dilanjutkan oleh pemimpin-pemimpin sesudahnya. Merekalah awal mula para tokoh intelektual muslim yang menunjukkan diri kepada pemikiran-pemikiran barat.

Dalam Islam, ilmu pengetahuan sangat tinggi kedudukannya, bahkan surah pertama yang turun kepada Rasulullah saw yaitu surah Al-Alaq ayat 1-5 berkaitan dengan aktivitas keintelektualan. Banyak sekali dalam Al-qur’an dan sunah yang menyebutkan tentang keutamaan untuk seseorang yang menuntut ilmu, yang mana kata ilmu dalam Al-qur‘an diulang sebanyak 780 kali. Ini berarti menandakan bahwa Islam sangat mengagungkan ilmu dan secara tidak langsung memerintahkan kepada umat manusia untuk menuntut ilmu dengan konsisten tanpa batas.

Kaum intelektual selalu bisa memahami pemikiran-pemikiran yang datang dari barat dengan baik, dengan begitu akan membuat pengaruh juga terhadap bagaimana memahami problematika yang ada di kalangan umat muslim dan bukan hal yang baru lagi ketika makna intelektual selalu disandingkan dengan istilah ulul albab.

Dalam kamus Al-Munawwir, secara etimologi, kata ulul albab terdiri dari dua suku kata yaitu ulu merupakan sinonim dari kata dhawu artinya empunya (untuk jama’ berjenis laki-laki). Albab ialah bentuk jama’ dari lubbu yang artinya isi, inti, sari, atau bagian terpenting. Ia merupakan antonym kata “kulit”.

Menurut Yusuf Qardhawi, dalam konteks ini Al-qur’an menunjukan bahwa manusia terdiri atas dua bagian yaitu kulit dan isi. Bentuk fisik adalah kulit, sedangkan akal adalah isi. Sedangkan secara terminologi dalam Al-Qur’an al-Karim dan Terjemahan, Zaini Dahlan, ulul albab adalah orang yang berakal cerdik, dapat mengambil pelajaran, berpikir cerdas, orang yang menggunakan akal, atau orang yang berpikir tajam” (Azizah Herawati, 2015).

Istilah ulul albab disebutkan sebanyak 16 kali dan tersebar di berbagai tempat yang berbeda. Tidak ada makna secara khusus disebut dalam Al-qur’an terhadap istilah ulul albab tersebut, karena itulah para mufasir memberikan pengertian yang berbeda-beda terhadap istilah ulul albab ini, sebagai contoh: Imam Nawawi yang mengartikan bahwa ulul albab adalah mereka yang berpengetahuan suci, tidak hanyut dalam derasnya arus, dan yang terpenting adalah mereka mengerti, menguasai dan mengamalkan ajaran Islam (Azizah Herawati, 2015).

Perlu diketahui, konsep intelektual dalam Islam bisa dimaknai juga dari istilah Ulul Albab. Dalam Al-qur’an ulul albab atau juga diartikan sebagai orang-orang berakal yang selalu diperintahkan untuk mempergunakan akal untuk merenungi ayat-ayat Al-qur’an. Maka dari itu, ada dua hal yang harus dimiliki oleh seorang intelektual yaitu; pertama daya pikir dan yang kedua daya zikir.

Walaupun sekarang ilmu pengetahuan berkembang sangat cepat, ternyata tetap saja masih ada sebagian muslim yang hanya mengekor atau mengikut kepada suatu hal tanpa adanya alasan yang jelas atau belum diketahui kebenarannya. Tidak bisa dipungkiri, konsep ulul albab sangat berlawanan dengan hal ini, karena terdapat berbagai ayat yang justru melatih kita untuk berpikir secara mendalam, menganalisis, dan memahami hakikat daripada ayat tersebut. Sebagaimana contoh dalam Al-qur’an surah Az-Zumar ayat 18, Allah Swt berfirman yang artinya: “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.”

Selain menekankan pentingnya fungsi akal, konsep ulul albab juga terkait dengan fungsi daya zikir. Sebagaimana yang dijelaskan dalam surah Az-Zumar ayat 9, bahwa seorang yang intelektual harus memiliki kesucian hati yang murni untuk mengingat Allah Swt.

Untuk menciptakan sosok figur intelektual maka kedua elemen ini harus ditata sedemikian rupa agar dalam pelaksanaannya terjadi keseimbangan. Istilah ulul albab yang berarti seseorang yang menggunakan daya pikir dan daya zikir secara maksimal menggambarkan bahwa seorang intelektual yang bisa melihat secara universal fenomena-fenomena yang terjadi sekitarnya, dengan kata lain mereka adalah orang-orang yang memiliki akal yang mampu memahami dan hati yang bijaksana.

Dua faktor intelektual yang sudah dirumuskan sangat mudah kita pahami secara teori, namun secara pelaksanan butuh latihan dan pembiasaan secara terus-menerus. Bagaimanapun, mempergunakan daya pikir secara maksimal adalah hal yang harus dilakukan pada zaman sekarang ini. Di mana jika kita lihat banyak orang yang mempergunakan akal semaunya saja ataupun menggunakannya untuk melawan aturan, sehingga ini berbahaya.

Pada umumnya mereka yang mempunyai daya pikir seperti ulul albab memiliki kemampuan analisis yang mendalam untuk memahami, berwawasan yang luas dan mampu menangkap makna ataupun pelajaran daripada ayat-ayat Al-qur’an secara universal.

Kemudian selain daya pikir yang ada, dominasi selanjutnya harus bersamaan dengan daya zikir. Sebagaimana dalam surah Zumar ayat 9 Allah SWT berfirman yang artinya: “(Apakah kamu orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah pada waktu malam dengan sujud dan berdiri, karena takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah, "Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sebenarnya hanya orang yang berakal sehat yang dapat menerima pelajaran.”

Perlu kita lihat, kesinambungan antara mereka yang berakal sehat dengan mereka yang melaksanakan salat malam adalah dua hal yang tak mungkin untuk dipisahkan satu sama lain. Kategori mereka yg memiliki daya zikir seperti; rajin ibadah, tafakur alam, menyambung silaturahmi, menepati janji, rajin sedekah, dan menyadari kesalahan serta sabar menghadapi cobaan.

Dari penjelasan diatas, dapat kita simpulkan bahwa kita mampu untuk menjadi ulul albab zaman sekarang dengan cara mengerahkan tenaga semaksimal mungkin dan menggali potensi sedalam-dalamnya dengan memberdayakan daya pikir dan daya dzikir. Menyeimbangkan dan membuat dua hal ini saling berkesinambungan, sehingga akan tercipta seorang yang memiliki kepribadian yang unggul.


*Mahasiswa KIIFAL, Sudan

Posting Komentar

0 Comments

Formulir Kontak