Sujud Terakhir

Sumber: kumparan.com


Oleh: Kuni Abida Kamila*

Malam yang terlalu sunyi, tak ada hiruk pikuk suara manusia. Mereka tengah terlelap dalam malam. Hanya sebagian yang terjaga menangisi kesalahannya yang telah lampau dan mengadahkan tangan seraya berharap. Aku terlanjur lupa dengan rasa itu. Ketenangan yang tak semua orang memilikinya. 

Di malam ke dua puluh tujuh, aku menarik kursi tepat di bawah tali yang tergantung. Aku muak dengan kehidupanku yang tak berubah walau sesenti. Aku muak dengan semua hal. Mereka yang melempariku batu, mengolokku, dan mengatakan aku manusia pendosa. Aku muak. Aku tak tau harus melakukan apa?

Menaiki kursi berharap inilah akhir dari kisahku. 

***

Cuih, pergi lu sana!” 

“Bencong aja, gaya sekali! Kau gak tau hah! Dosamu tak akan dimaafkan.” 

‘'Orang-orang pada tobat lha kau?! Ini bulan Ramadan oi. Tau dirilah kau!” 

Manusia-manusia itu selalu merasa paling suci. Menghakimi bukan mengajari. Apa salahnya aku yang bersikap seperti ini? Hidupku tak mengganggu kalian. Tak merusak perdamaian manusia. Tak mengambil sedikit pun harta kalian. Aku yang memilih jalanku dan di sini aku berusaha untuk menghidupi diriku. Mengamen di pesisir pantai yang menjadi profesiku.

Sesekali kulihat anak kecil berlari menjauhiku. Raut wajah takut jelas tergambar di wajah mereka. Seakan aku manusia paling menjijikkan. Tapi, aku tak ambil pusing yang penting perutku terisi.

“Misi Bang, jomblo sendiri nih? Eyke temenin ya bang” 

Selalu saja seperti itu mereka diam mengabaikanku. Membiarkanku bernyanyi dan joget ria seorang diri. Ketika bosan memberiku uang receh. Tapi, aku bersyukur atas itu. 

“SANTII! Sini ada gorengan. Lu puasa kagak?” 

“Hihi nggak Bu. Tak kuat eyke” 

“Alasan saja kau nih. Ya udah nih kau makan ya. Belum makan kan kau dari pagi?” 

Aku mengangguk menerima pemberian bu Rahmah, satu-satunya orang yang tak memandangku sebelah mata. Kulihat wajah bu Rahmah yang begitu teduh. Seperti sosok yang kurindukan. Namun, sayang rinduku tak akan bisa terobati. 

“Bu, ini bulan puasa kenapa Ibu buka warung” 

“Hei Santi, Ibu buka warung kalau dah sore. Pas waktu mereka cari makan buat berbuka. Kalau mereka makan jangan salahkan Ibu. Harusnya mereka bisa sabar” 

Aku hanya tersenyum mendengar celotehnya. 

“Santi balik kerja dulu ya Bu.” 

“Iye, lain kali bantuin bapak aja di rumah San” 

Aku hanya tersenyum. Berjalan meninggalkan bu Rahmah. 

***

Lagi-lagi malamku terasa pekat dan berulang kali aku menaiki kursi itu dengan tali yang tergantung di atasnya. Mereka seakan terus memanggilku. Mengatakan semua akan berakhir jika aku yang mengakhiri. Di rumah yang hanya sepetak tanpa saudara membuatku merasa kesepian. 

Bergelung dalam sarung lusuh, lalu menangis sepanjang malam. Aku merasa ada yang salah dengan diriku. Pada malam dua puluh delapan, lagi-lagi aku ingin mengakhiri hidup. Aku muaaaak. Aku ingin teriak. Ketika aku ingin mencoba berjalan yang sebenar-benar berjalan seakan aku tak mampu. Seutas tali mengikatku tak membiarkanku untuk pergi. Alhasil aku masih tetap sama.

***

“Mau kemana lu? Besok udah lebaran masih mau cari dosa?!” 

“Lagian nih ye, ngapa dah kesono melulu. Kagak ada orang. Orang-orang tuh pada mudik” 

Iye bang, eyke tau kok. Tapi, kan kagak ada salahnya mencoba” 

Aku terus melangkah mendekati pesisir pantai. Ya, seperti yang abang-abang itu bilang tidak ada orang. Hanya suara deburan ombak, kicauan burung, dan angin pantai. Semua terasa sunyi. Aku berdiam sejenak di sana. Kemudian pergi.

***

“Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar. La ila ha illallaahu Allah hu Akbar. Allahu Akbar wa lillah hil hamd” 

Suara takbiran mulai terdengar. Serentak malam yang sunyi terasa ramai. Mereka berlomba-lomba untuk menganggungkan nama-Nya, dan aku? Aku masih saja sama. Aku mulai mantap menaiki kursi. Menarik tali ke arah leherku. Ya, aku sudah memutuskan untuk mengakhiri hidup yang tak berarti. Aku akan pergi malam ini. Mataku terpejam. 

Nang, Allah itu Maha Pengampun. Ahsan namamu yang artinya baik. Bapak yakin kamu bakal jadi orang baik, nang” 

Suara bapak terdengar jelas di telingaku. 

Mbok yo mikir. Kalau kamu mati apa bakal tenang hidup mu nang. Besok adalah hari suci. Di mana manusia kembali ke fitrah. Minta ampun sama gusti Allah.”

Suara ibu seakan berbisik tepat di telingaku. Aku menangis sejadi-jadinya. Betapa bodohnya aku. Bodoh terlalu bodoh dengan semua hal yang aku lalui. Kenapa aku bisa jadi sepeti ini. Ya Allah. Aku ingin kembali. 

Ku lepas tali itu, aku tersungkur di lantai. Menangis tiada henti. Sampai azan subuh berkumandang. 

Takbir masih dilantunkan. Aku mengambil wudu melangkah ke luar rumah. Berjalan perlahan. Mencari jemaah lelaki. Duduk di samping pak Rahman. Beliau terlihat senang akan kehadiranku. Aku tersenyum. 

***

Takdir adalah takdir yang tak bisa diubah barang sedetik. Sosok Santi yang telah kembali menjadi Ahsan melangkah dengan gagah mengambil saf terdepan. Berdiri di belakang imam. Mengikuti setiap gerakan salat. Tapi, sungguh aku terpesona melihatnya. Ketika dalam sujud yang terakhir ia tak lagi berdiri. 

Manusia dengan masa lalu yang paling kelam bisa saja menjadi manusia yang paling baik di akhir hayatnya. Siapa kita yang seenak hati menghakimi mereka. Siapa kita sampai-sampai merasa paling suci. Aku terlalu malu menjadi manusia.


Posting Komentar

1 Comments

Posting Komentar

Formulir Kontak