Palestina, Tuan Rumah Tanpa Tanah



     Konflik antara Israel dan Palestina sudah berlangsung cukup lama, hal ini bukan hanya mengakibatkan banyaknya korban jiwa, tetapi runtuhnya berbagai sektor penting seperti; ekonomi, pendidikan bahkan kesehatan.

Awal mulanya, pada tahun 1947 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyetujui bahwa Palestina akan dibagi menjadi dua wilayah, yaitu Israel untuk orang-orang Yahudi dan Palestina untuk orang-orang Arab, lalu Yerusalem yang menjadi kota suci bagi tiga agama akan menjadi zona international khusus, namun rencana tersebut tidak pernah terlaksana.  Para pemimpin Arab di wilayah tersebut juga menganggap rencana tersebut merupakan aksi pencurian dari kolonial Eropa yang mencoba menginvasi Palestina. Lalu kapan awal mulanya konflik ini terjadi? Jawabannya berkaitan dengan Perang Arab-Israel I pada tahun 1948.

Pada saat itu Inggris yang berencana menyerahkan mandat Palestina ke tangan PBB, dikarenakan aksi kekerasan yang terus terjadi di wilayah tersebut. Kelompok Zionis melancarkan serangan terus menerus kepada orang Inggris di wilayah itu. Mereka menuntut dibukanya keran imigrasi untuk bangsa Yahudi, yang masih tertahan di kamp Holocaust Nazi Jerman. 14 Mei 1948, sehari sebelum mandat Inggris di Palestina berakhir, Ketua Yishuv (Ketua Komunitas Yahudi di Palestina), David Ben-Gurion ketika itu mendeklarasikan berdirinya negara Israel tepat dihadapan 250 orang undangan di museum Tel Aviv.

David Ben-Gurion saat itu berhasil mewujudkan gagasan dari Theodor Herzl yang merupakan seorang yahudi yang mendirikan gerakan politik Zionisme, yaitu gerakan yang memiliki tujuan untuk mendirikan negara Yahudi di tanah Israel, David Ben Gurion juga tidak menyebutkan batas-batas negara Israel. Beberapa catatan juga menyatakan bahwa pendiri negara Israel sepakat bahwa tidak menyebutkan batas-batas negara karena pastinya negara-negara Arab di sekitarnya tidak akan menerima.

Tepat sehari setelah David Ben Gurion mendeklarasikan berdirinya negara Israel, datanglah deklarasi perang dari Mesir, Suriah, Iraq, Lebanon, Yordania dan Arab Saudi. Lalu pada 15 Mei 1948 pecahlah perang Arab-Israel pertama. Sebanyak 700 warga Lebanon, 1.876 warga Suriah, 4.000 warga Irak, dan 2.800 warga Mesir berbondong-bondong menyerbu Palestina. Untuk menghadapi deklarasi perang dari pasukan koalisi Arab, Israel pada 26 Mei 1948 membentuk Pasukan Pertahanan Israel (IDF) yang anggotanya adalah leburan dari berbagai milisi seperti Haganah, Palmach, Irgun, dan Lehi.

Awalnya pasukan koalisi negara-negara Arab dengan jumlah pasukan yang lebih banyak dan persenjataan yang memadai, yang mana dapat dengan mudah untuk mereka menguasai permukiman bangsa Yahudi. Akan tetapi, koordinasi antara pasukan koalisi Arab ternyata tidak terlalu baik, di mana Lebanon akhirnya menarik mundur pasukannya, dan pada akhirnya IDF justru dapat menggerakan lebih banyak pasukan daripada koalisi pasukan Arab.

Setelah berperang selama sembilan bulan, akhirnya pada 1949 tercapai kesepakatan gencatan senjata antara Israel dengan Mesir, Lebanon, Yordania dan Suriah.

Perang 1948 berakhir dengan Israel sebagai pengendali semua wilayah yang saat ini ditandai di peta sebagai daerah kekuasan Israel, kecuali Tepi Barat dan Gaza, yang menjadi tempat sebagian besar warga Palestina melarikan diri, dan sekarang dianggap sebagai wilayah Palestina.

Akibat dari perang Arab-Israel ratusan ribu orang pengungsi Palestina tersebar di beberapa lokasi. Terdapat 750.000 orang berkebangsaan Palestina yang mengungsi keluar dari wilayah mereka. Mereka tidak diizinkan kembali ke wilayah asalnya yang telah direbut oleh Israel.

Setelah perang tersebut, para pengungsi Palestina tinggal di beberapa kamp daerah Tepi Barat (Yordania), Jalur Gaza (Mesir) dan Suriah. Pengungsi Palestina yang berusaha kembali masuk ke wilayah mereka yang telah direbut oleh Israel, dan bagi siapa saja yang tertangkap akan dideportasi ke tempat asal mereka (kamp pengungsian) sesuai dengan amanat hukum internasional.

David Ben Gurion yang ketika itu menjadi Perdana Mentri Israel menuliskan surat kepada PBB pada 2 Agustus 1949 yang berisikan penolakannya atas kembalinya para pengungsi Palestina ke wilayah Israel. Pemerintah Israel memberikan solusi untuk menempatkan pengungsi Palestina ke negara lain dan bukan mengembalikan mereka ke Israel.

Bangsa Palestina yang tidak terima dengan penolakan ini mulai meningkatkan tindakan perlawanan kepada militer Israel. Mesir yang pada awalnya tidak ikut campur atas perlawanan Palestina terhadap Israel, pada akhirnya aktif melatih dan mempersenjatai para relawan Palestina di Jalur Gaza yang disebut Fedayeen. Kelompok inilah yang kemudian aktif melakukan berbagai serangan di wilayah Israel.

Lalu pada 1964, lahirlah Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yang bertujuan untuk memerdekakan Palestina dan melenyapkan Zionisme dari Palestina dengan perjuangan bersenjata. Cita-cita PLO adalah mendirikan negara Palestina sesuai dengan batas mandat Palestina sebelum perang 1948, serta menentukan sendiri nasib negeri itu.

Itulah bangsa Palestina, tuan rumah dari tanah yang diambil secara paksa. Sampai saat ini mereka masih memiliki keinginan untuk kembali ke kampung halamannya, tanah yang dahulu mereka miliki yang kini menjadi tempat yang sangat amat dilarang bagi mereka untuk dimasuki.

 

N/b:

Pendiri Hamas berkata, “Tidak ada perdamaian dengan Israel sebelum rakyat Palestina mendapatkan keadilan.”

 Sumber gambar : Kompas.com

Oleh: Zaid Abdul Aziz

Mahasiswa International University of Africa, Sudan

Posting Komentar

0 Comments

Formulir Kontak