![]() |
Sumber: merdeka.com |
Oleh: Ibn Roeswan
Permasalahan Palestina lagi-lagi naik ke permukaan dan menarik perhatian dunia. Konflik berkepanjangan semenjak tahun 1948 seakan never ending story. Beberapa waktu terakhir, Palestina kembali menjadi sorotan dunia dan kompleks Masjid Al-Aqsha kembali menjadi saksi bisu nan berdarah konflik antara warga dengan aparat keamanan Israel. Dalih “Hari Kemenangan” alias peringatan atas pendudukan timur Yerusalem oleh Israel dalam perang pada tahun 1967. Juga keputusan Israel untuk menggusur wilayah pemukiman Muslim Palestina di Sheikh Jarrah, timur Yerussalem menjadi akar permasalahan bentrokan ini.
A. Akar Utama
Kita perlu memahami realita dengan benar, karena sejatinya permusuhan dengan Israel bersifat ideologis sehingga tak mungkin didamaikan. Mereka menginjakkan kaki di Palestina karena motif ideologis, bahwa tanah Palestina dijanjikan untuk kaum Yahudi dan para pengikut perjanjian baru. Tanah yang dijanjikan itu, menurut mereka sedang dikangkangi oleh pihak yang tidak berhak, yaitu umat Islam. Maka tak ada kata damai dalam keyakinan mereka. Permusuhan ini ideologis, tak mungkin ada damai dan hidup berdampingan.
B. Permasalahan Umat
“Perumpamaan kaum Mukmin dalam cinta mencintai, sayang menyayangi, dan bahu-membahu, seperti satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuhnya sakit, maka seluruh anggota tubuhnya yang lain ikut merasakan sakit juga, dengan tidak bisa tidur dan demam.” (H.R Muslim)
Hadis Annu’man bin Basyir ini menjadi dasar bagi seorang mukmin untuk tergerak hatinya agar saling tolong-menolong sesama mukmin. Di sini pula letak Al-Wala wa Al-Baro (loyalitas dan permusuhan) yang perlu kita implementasikan. Konsep nasionalisme menjadi senjata utama musuh untuk menyerang umat Islam dengan memunculkan sentimen kesukuan dan kebangsaan, serta menghapus sentimen keumatan, lalu menjadikan kaum muslim awam acuh tak acuh dengan Palestina.
“Negara kita saja masih susah, untuk apa mengurusi negara lain?” Kalam inilah yang biasanya digemborkan oleh kaum sekuler nasionalis yang membenci Islam. Padahal loyalitas yang terbatas hanya dengan sentimen kebangsaan akan memetakan rasa persaudaraan. Padahal Allah sendiri berfirman, “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara,” (Q.S Al-Hujurat: 10).
Jihad adalah solusi paling ampuh untuk menyelesaikan persoalan ini. Kekalahan Uni Soviet di tanah Afganistan adalah contoh nyatanya. Jihad bisa menjadi fardu ain ketika bersifat defensif (bertahan dan melawan musuh). Apabila orang-orang kafir menguasai satu jengkal tanah saja dari bumi kaum muslimin, maka jihad hukumnya menjadi fardu ain bagi setiap muslim yang tinggal di tempat tersebut.
Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyyah dalam Fatawa Al-Kubra (41607) berkata, "Sehingga apabila musuh telah datang menyerang, maka tidak terdapat perbedaan pendapat sedikit pun bahwa melawan mara bahaya yang mereka timbulkan terhadap agama, jiwa, dan kehormatan, wajib hukumnya berdasarkan ijmak, sehingga tidak dibutuhkan izin dari amirulmukminin."
Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Setiap orang yang mengetahui kelemahan kaum muslimin dan kaum muslimin membutuhkan kepadanya, sedangkan orang itu mampu untuk mencapai tempat keberadaan kaum muslimin, maka wajib baginya untuk keluar menuju tempat kaum muslimin.”
Para fukaha terdahulu menyatakan bahwa jihad yang hukumnya fardu ain, awalnya berlaku pada negeri (yang diserang musuh) itu. Namun kemudian, beban kewajiban itu meluas kepada orang-orang yang tinggal disekitarnya, kemudian kepada orang-orang yang tinggal di daerah sekitar yang letaknya lebih jauh lagi, sehingga hukum fardu ain bagi jihad ini berlaku atas seluruh kaum muslimin yang ada di muka bumi. Jihad dengan harta menjadi wasilah terbaik dan ini menjadi destinasi yang paling banyak dilakukan oleh kaum muslimin saat ini.
C. Permasalahan Politik?
“Tak masalah Palestina terhapus dari peta dunia yang terpenting selalu ada di hati kita.” Kalimat ini sering penulis dengar pada diskusi-diskusi ringan ataupun dari kolom komentar di media sosial. Jika dilihat dari sudut pandang kemanusiaan saja mungkin tak ada yang salah. Akan tetapi jika ditarik ke sudut pandang geopolitik dunia, akan menjadi permasalahan yang sangat besar. Hal inilah yang kurang disadari oleh kaum muslimin seluruh dunia pada umumnya.
Secara de facto Palestina tentu masih eksis, ini dibuktikan dengan sikap perlawanan rakyat Palestina kepada penjajah, juga sikap dunia dengan segala bentuk bantuan kemanusiaan. Namun dari sisi de jure-lah yang memiliki andil besar dalam pelegalisasian dan pengesahan. Meskipun memang realitanya Palestina ada maupun tidak ada dalam “peta” tidak akan mempengaruhi perjuangan rakyat Palestina melawan penjajah.
Kilas balik sejarah pembebasan Al-Quds pada tahun 16 H atau 636 M pada zaman khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu anhu. Amr bin Ash dan pasukannya bergerak menuju Baitul Maqdis, sementara di sana ada pasukan Romawi yang bertahan di balik benteng selama empat bulan. Pasukan kaum muslimin pun mengepungnya hingga pasukan Romawi kelelahan dan meminta kepala Uskup untuk berdamai dan meminta perlindungan kepada Amr bin Ash radhiyallahu anhu.
Begitu pula yang dilakukan oleh Sultan Abdul Hamid II ketika dirinya menolak permintaan tokoh pendiri negara Zionis Israel, Theodore Herzl agar memberikan sebagian tanah Palestina kepada Yahudi. Permintaan itu ditolak mentah-mentah oleh Sultan Abdul Hamid II yang menegaskan tak sejengkal pun tanah Palestina akan diberikan kepada Yahudi selama kekuasaan Islam masih berdiri. Tentu hal ini menjatuhkan harga diri Herzl serta membuat bangsa Yahudi malu dan marah. Ini adalah bukti kongkrit bahwa tanah Palestina akan terjaga selama adanya kekuasaan Islam tegak.
Realita ini haruslah hadapi dengan serius. Bahwa kacamata keimanan dan kacamata politik (kekuasaan) adalah dua hal yang tak lagi dapat terpisahkan. Kacamata keimanan akan mampu mengobarkan api semangat kaum muslimin untuk menjaga tanah ini dari cengkraman musuh. Sedangkan kacamata politik sebagai wasilah penghantar perjuangan kemerdekaan Palestina melalui metode dan langkah sahih yang harus ditempuh.
Akhir kata penulis tutup dengan perkataan Hazim Al-Madani yang berbunyi, “ Kita dihadapkan pada masa depan yang harus kita rancang dengan apik dan kita raih dengan sempurna. Masa depan yang tidak semata tentang cita-cita untuk mati syahid dan sukses melewati ujian dunia. Tapi masa depan yang akan diwarisi generasi penerus kita. Kita perlu peka terhadap politik, tajam mengendus masa depan, qiyadah atau kepemimpinan yang solid dan komplit. Memahami rambu-rambu pertarungan, perencanaan matang, memiliki kekenyalan jiwa dalam menghadapi berbagai ujian dan memiliki mental sabar yang baik.”
0 Comments
Posting Komentar