![]() |
Sumber: indozone |
Oleh: Arya Kurniantoro
Idulfitri yang bermakna kembali ke fitrah, suci dari kotoran dosa.
Setelah ditatar keras akan ibadah puasa, sholat malam, tilawah Al-Qur’an, serta
rangkaian ibadah lainnya, apakah sudah yakin jika kita akan kembali pada fitrah?
Alih-alih nawaitu shouma ghodin nyatanya malah banyak bismika allahumma
ahyaa wa amuut. Alih-alih menahan lapar dan haus, ketika berbuka
puasa malah menuruti nafsu perut sampai tidak mampu bergerak banyak.
Bukannya memperbanyak ibadah, malah puasa dijadikan alasan untuk
bermalas-malasan.
Esensi puasa yaitu takwa, sebagaimana yang termaktub dalam
surah Al Baqarah ayat 183 belum tercapai. Seringkali jauh dari perintah tuhan dan malah
mendekati larangannya. Mata yang sering terpaut keharaman, telinga yang asyik
dengan pergibahan, dan mulut yang penuh akan celaan, lalu bagaimana kabar hati?
Mungkin ia telah menghitam karena varian kemaksiatan yang telah dilakukan.
Sholat malam? Menjadi suatu ketakutan jika berdirinya diri ini
hanya terasa kosong tanpa arti. Mungkin jika ditanya seorang teman,
"Tadi imam baca ayat dan surah apa? Paham maknanya? Esensi apa yang kamu
dapat?" Pertanyaan tersebut cukup menjadi ukuran minim dan mirisnya
kualitas solat bagi diri ini. Sebab, kenyataan yang ada saat itu hanya menggerutu dan berkata, "Aduh
imamnya lama lagi! Udah rakaat berapa nih?”
Kalam-Nya belum dikhatamkan, padahal inilah bulan Ramadan, “bulan Al-Qur’an”
yang katanya bulan yang kamu bisa lihat mayoritas muslim membaca Al-Qur’an yang
mana pada bulan-bulan biasa, mungkin kita hanya terdengar dan terlihat surah
Yasin yang dibacakan tiap malam Jumat. Serta berbagai bentuk amal lainnya yang menunjukan
betapa aku, kamu,
dan kita
masih amat minim untuk beramal, padahal ini sudah menginjak bulan Ramadan.
Maka Siapakah yang Dapat Kembali
pada Fitrah?
Jikalau standar fitrah yang dimaksud adalah kesucian, lantas bagaimana status kaum hawa yang mendapat halangan sehingga puasa,
salat, bahkan memegang Al-Qur,an pun menjadi haram baginya? Bagaimana status lansia yang sudah
tak mampu untuk berpuasa kembali? Tentu jika standarnya semikian, maka mereka
akan tersingkirkan lebih jauh dari Idulfitri.
Sangat bersyukur ternyata Allah tidak menuntut banyak dari hambanya, Dia tidak
akan membebani hamba-Nya atas apa yang tidak hamba-nya mampu, Allah swt
berfirman;
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا
اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا
"Maka bertakwalah kamu kepada Allah sesuai dengan
kesanggupanmu dan dengarlah serta taatilah (perintah-Nya)" [Surah At-Taghabun: 16]
Allah tidak menuntut kesempurnaan, karena rahmat dan
ampunan-Nya amatlah luas. Standar yang Dia
tentukan kepada hamba-Nya tak dipersulit, tetapi setidaknya ada batasan minimal
bagi seorang muslim untuk mencapai kebahagiaan serta kemenangan yang hakiki.
Layaknya sekolah yang menetapkan kriteria ketuntasan minimal (KKM) ketika ujian
untuk murid asuhnya, sehingga yang mencapai KKM atau lebih akan lulus,
sedangkan yang tidak mencapai nilai KKM akan gagal. Lalu, apa standar minimal
seorang muslim itu?
Standar Muslim
Setidaknya
ada tiga tingkatan minimal bagi seorang muslim:
1.
Islam Agamanya
قال رسول الله صلى الله
عليه و سلم :"مَا مِنْ عَبْدٍ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ثُمَّ مَاتَ
عَلَى ذَلِكَ إِلَّا دَخَلَ الْجَنَّة
Rasulullah
saw
bersabda; "Tidaklah seorang hamba mengatakan, 'Tidak ada tuhan (yang berhak
disembah) selain Allah! Kemudian dia meninggal dengan berpegang teguh pada hal tersebut,
melainkan dia pasti masuk surga.”
Dimulai dengan mengucap syahadat, maka murka Allah menjadi rida, kesengsaraan
menjadi kebahagiaan, ahli neraka menjadi ahli surga, dan kekal di dalamnya. Inilah
nikmat teragung yang diberikan Allah kepada hamba-Nya dan
tidak akan ada nikmat Islam yang diraih kecuali atas kehendak Allah. Maka nikmat ini harus kita syukuri.
Meski demikian, jika melakukan banyak kemaksiatan dan Allah
berkehendak, maka atasnya neraka karena kemaksiatannya meski tidak kekal di dalamnya.
Eits, jangan pernah meremehkan neraka, ya! Hitungan 1 hari di akhirat
sama dengan 1000 tahun di dunia, panas api neraka adalah 73 kali lipat dari panas api dunia,
dan banyak pedih azab. Maka hendaknya seorang muslim yang berakal sehat tidak
boleh hanya mencukupi batas ini saja.
2.
Melakukan Perkara yang Fardu
عَنْ أَبيْ عَبْدِ اللهِ جَابِرِ بنِ عَبْدِ اللهِ
الأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: “أَرَأَيْتَ إِذا صَلَّيْتُ المَكْتُوبَاتِ، وَصُمْتُ
رَمَضَانَ، وَأَحْلَلْتُ الحَلاَلَ، وَحَرَّمْتُ الحَرَامَ، وَلَمْ أَزِدْ عَلى
ذَلِكَ شَيئاً أَدْخُلُ الجَنَّةَ؟ قَالَ: نَعَم
Dari Abu ‘Abdillah Jarir bin ‘Abdillah Al-Anshari radhiyallahu
‘anhu, bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam, dia berkata, “Menurutmu, apabila aku mengerjakan shalat-shalat
fardhu, puasa di bulan Ramadhan, menghalalkan yang halal (melakukan perkara
halal), mengharamkan yang haram (menjauhi perkara haram), dan aku tidak
menambah sedikit pun (amalan sunnah), apakah aku akan masuk surga?” Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya.”
Pada tingkat standar selanjutnya adalah muslim yang mencukupkan
diri dalam perkara-perkara fardu saja tanpa melakukan perkara sunah seperti, melakukan
salat lima waktu dan puasa Ramadan, wajib zakat jika sudah mencapai nisabnya, menafkahi
keluarga, dan bentuk ibadah atau muamalah yang bersifat fardu lainnya, serta menjauhkan
diri dari perkara yang haram, maka baginya surga dan akan terjauh dari neraka.
3.
Mengetahui dan Mengamalkan Ilmu Haal
Di samping standar amal, seorang muslim tidak akan tahu apakah amal ibadah
yang dilakukannya itu sah atau tidak, sudahkah memenuhi syarat sah dan fardunya. Oleh
karena itu, sudah selayaknya seorang muslim mengetahui علم الحال (Ilmu haal) yaitu ilmu yang seorang muslim tidak diberi keluasan
jika tidak mengetahuinya, yang artinya ilmu itu wajib untuk diketahui. Jika
tidak, seorang muslim itu akan berdosa karena ketidaktahuannya.
Sebagai contoh; seorang muslim mengakui Allah sebagai Tuhannya,
maka dia mesti tahu siapa Allah, mengetahui apa saja sifat wajib secara akal
bagi Allah, apa yang mustahil bagi-Nya, dan apa yang jaiz bagi-Nya. Seorang
muslim diwajibkan salat 5 waktu, maka agar salatnya diterima, dia
harus tau apa saja rukun, syarat wajib dan syarat sah salat. Begitupun
dalam hal yang berkecimpung di dalamnya, semisal pedagang yang harus mengetahui atas apa yang halal dan haram baginya, agar tidak terjebak dalam perkara
yang haram.
Setidaknya
itulah tiga tingkatan standar minimal bagi seorang muslim.
Murahnya Rahmat Allah
Setelah mengetahui standar minimal bagi seorang muslim, kita perlu
tau juga bahwa rahmat dan ampunan-Nya amat besar. Perhitungan Allah untuk hamba-Nya
tidaklah seperti perhitungan makhluk. Dalam suatu hadis qudsi,
Rasulullah saw bersabda;
إِنَّ اللهَ كَتَبَ الحَسَنَاتِ وَالسَّيئَاتِ، ثُمَّ
بَيَّنَ ذَلِكَ: فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللهُ
عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً، وَإِنْ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللهُ
عِنْدَهُ عَشْرَ حَسَنَاتٍ إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ إِلَى أَضْعَافٍ كَثِيْرَةٍ
وَإِنْ هَمَّ بِسَيِّئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً
كَامِلَةً، وَإِنْ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللهُ سَيِّئَةً وَاحِدَةً
“Sesungguhnya Allah menulis kebaikan-kebaikan dan
keburukan-keburukan kemudian merincikan (perhitungannya). Barang siapa yang
berniat melakukan kebaikan lalu tidak mengerjakannya, maka Allah menulis itu di
sisi-Nya sebagai satu kebaikan yang sempurna, dan jika dia berniat mengerjakan
kebaikan lalu mengerjakannya, maka Allah menulis itu di sisi-Nya sebagai sepuluh
kebaikan hingga tujuh ratus lipat hingga perlipatan yang banyak. Jika dia
berniat melakukan keburukan lalu tidak jadi mengerjakannya, maka Allah menulis
itu di sisi-Nya sebagai satu kebaikan yang sempurna, dan jika dia berniat
melakukan keburukan lalu mengerjakannya, maka Allah menulis itu sebagai satu
keburukan.”
Dalam perhitungan Allah, niat beramal baik dihitung satu kebaikan
yang sempurna, berniat beramal buruk lalu tidak jadi melakukannya terhitung
satu kebaikan sempurna, dan apabila niat baik disertai dengan amal
baik, maka Allah akan melipatgandakan amal baik tersebut menjadi tujuh ratus
lipat dan akan dilipatgandakan lagi.
Betapa Allah Maha Pemurah atas rahmat-Nya terhadap
kita yang melakukan keburukan! Allah hanya menuliskan كَتَبَهَا
اللهُ سَيِّئَةً وَاحِدَةً yang
bermakna “hanya satu keburukan,” Allah tidaklah berkata, “baginya
keburukan yang sempurna” seakan-akan Allah memastikan kepada hambanya, “jangan
khawatir jika kamu bersalah, aku hanya tuliskan untukmu satu keburukan. Serius
cuman satu! Gak lebih, kamu bisa segera menutupi dan menghapusnya dengan amal
salihmu kok.”
Rahmat-Nya di luar hari-hari biasa teramat besar. Terlebih lagi di
bulan Ramadan,
kebaikan dilipatgandakan pahalanya menjadi berkali-kali lipat. Ganjaran puasa juga
amat besar selama kita berusaha menjaga diri dari maksiat, fadilah salat dapat
menghapus dosa selama dilakukan sesuai dengan tuntutan syariat, tiap huruf dari
Al-Qur’an yang dibaca diberi ganjaran, dan tak lupa tidur yang diniatkan ibadah
pun berpahala.
Maka penamaan hari Idulfitri bukanlah harus suci bersih layaknya bayi
yang baru lahir, esensi Idulfitri ini merupakan wujud syukur kepada Allah atas
banyaknya pahala yang diterima dari ibadah-ibadah yang telah dilakukan, serta
terhapusnya dosa yang telah dilakukan. Sebulan lamanya memupuk kebaikan, mari
menuju hakikat kemenangan yang nyata, semoga dijauhkan dari murka Allah dan
didekatkan dengan rida dan ampunan-Nya. Allah SWT berfirman;
فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ
“Maka
Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, sungguh, dia
memperoleh kemenangan.” [Surah Ali Imran: 185]
Maka, Adakah Hak Kita akan Idulfitri?
Yaps, in syaa
Allah kita berhak atasnya. Yuk, maksimalkan diri untuk ibadah di 10 hari terakhir Ramadan ini.
تقبّل الله منا و منكم، صيامنا و صيامكم . من
العائدين و الفائزين
“Semoga Allah menerima seluruh puasa dan amalan kita, sehingga kita
digolongkan menjadi golongan yang kembali kepada fitrah dan golongan pemenang.”
0 Comments
Posting Komentar