Keteguhan Ahli Hadis dalam Sekap Penjara



Lahir di pusat peradaban Islam pada masanya, Baghdad, 20 Rabiulawal 164 H. Menjadi yatim sejak bayi karena ayahnya gugur dalam pertempuran melawan Bizantium dan dididik ibunya seorang diri. Ialah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal Abu Abdullah Al-Shaybani atau sering kita dengar dengan panggilan Imam Hambali.

Berkat rida dan restu dari sang ibu, Hambali kecil memulai petualangan menuntut ilmunya dari satu guru ke guru lain yang ahli pada bidangnya masing-masing. Al-Qur’an tamat dihafal sejak usia belia. Ilmu hadis, bahasa, administrasi, al-jarh wa ta’dil, dan teologi menjadi fokus belajarnya kala itu. Abu Yusuf (murid Imam Hanafi), Hisyam bin Basyir bin Abi Kasim (ulama hadis), juga Imam Syafi’i adalah guru-guru Imam Hambali yang mengakui kecerdasan muridnya itu.

Perhatian paling utama Hambali tertuju pada pedoman kedua umat Islam, yaitu hadis Nabi Muhammad saw. Saat usianya 19 tahun, ia berkelana mengunjungi puluhan kota seperti Hijaz, Kufah, dan Basrah demi mengumpulkan hadis dan mendalami fikih. Atas pengembaraannya itu, ia dapat menghimpun ribuan hadis yang diabadikan dalam karyanya Musnad Ahmad ibn Hambal yang memiliki posisi penting di kalangan ahlusunah dan menjadi rujukan utama mereka.

Saat usianya 40 tahun, Hambali menikah dan mulai mendirikan majelis ilmu. Majelis ini didirikan setelah wafatnya Imam Syafi’I dan sebagai bentuk penghormatan kepada sang guru. Di majelis inilah beliau mulai merumuskan dasar-dasar mazhabnya, mengeluarkan fatwa serta membimbing muridnya. Karakteristik mazhab Hambali senantiasa berpedoman pada teks-teks hadis dan mempersempit penggunaan kias dan akal.

Selain Al-Musnad yang disusun dalam jangka waktu 60 tahun, kitab Tafsir Al-Qur’an dan kitab Nasikh wa Al Mansukh, kitab Az-Zuhud, kitab Ar-Radd ‘Alaa Al-Jahmiyah wa Az-Zindiqah (bantahan kepada Jahmiyah dan Zindiqah), kitab As-Shalah, kitab As-Sunnah, kitab Al-Wara wa Al-Iman, kitab Al-I’lal wa Ar-Rijal, kitab Al-Asyribah dan kitab-kitab lainnya juga telah ditulis oleh Sang Imam semasa hidupnya.

Tak cukup menjadi pribadi yang cerdas, Imam Hambali dikenal sebagai ahli ibadah dan sedekah. Ulama sekaligus sahabatnya Imam Ibrahim bin Hani berkata, “Hampir setiap hari ia berpuasa dan tidurnya pun sedikit sekali di waktu malam. Ia lebih banyak salat malam dan witir hingga subuh tiba.”

Imam Yahya, seorang ulama ahli fikih juga pernah menyampaikan, “Aku pernah datang kepada Imam Hambali. Lalu, aku diberinya uang sebanyak empat dirham sambil berkata, ‘Ini adalah rezeki yang kuperoleh hari ini dan semuanya kuberikan kepadamu,’ lalu memberikan dirhamnya kepadaku.”

Kehidupan Imam Hambali tentu tidak selalu mulus penuh kebahagiaan. Ia hidup saat pemimpin zalim menguasai negeri. Doktrin sesat digaungkan oleh Khalifah Al-Ma’mun bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Keyakinan ini muncul akibat pengaruh kaum Muktazilah yang merupakan oposisi ahlulhadis, mereka menyerukan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk dan bukan firman Allah. Tentu saja hal ini bertentangan dengan keyakinan ahlulhadis, karena dengan meyakini Al-Qur’an sebagai makhluk akan membatalkan keabsahan Al-Qur’an sebagai firman Allah.

Kala itu, para ulama dikumpulkan. Lalu diminta pengakuan atas kemakhlukan Al-Qur’an, dan bagi yang mengakui kemakhlukan Al-Qur’an akan dibebaskan dari hukuman. Imam Ahmad bin Hanbal dan sahabatnya Muhammad ibnu Nuh menentang dan menolak untuk sepaham dengan penguasa.

“Apa pendapatmu mengenai Al-Qur’an wahai Imam Hambali?” Tanya Al-Ma’mun.

“Al-Qur’an adalah kalamullah, kalam Allah dan dia bukanlah makhluk,” jawab Hambali.

Akibat dari ketegasan dan keteguhan pada keyakinannya itu, Imam Hambali harus dicambuk dan mendekam di penjara. Tak lama setelah itu Khalifah Al-Ma’mun meninggal dunia dan digantikan oleh sang anak Abu Ishaq Muhammad bin Harun Ar-Rasyid yang dikenal dengan nama Khalifah Al-Mu’tasim yang masih meneruskan doktrin sang ayah yang membuat Imam Hambali masih harus meringkuk dalam tahanan. Ia hanya bisa salat dan tidur dalam keaadan kaki terbelenggu selama kurang lebih 28 bulan.

Hampir setiap hari Imam Hambali mendapat hukuman demi hukuman. Disebutkan dalam kitab Al-Bidayah wan Nihayah, hukuman yang paling ditakutkan Imam Ahmad bukanlah hukuman mati atau pengurungan penjara, melainkan hukuman cambuk. Hukuman ini dirasa sangat berat, dan beliau khawatir tidak dapat bersabar.

Sampai pada suatu saat sebelum eksekusi cambuk, ia bertemu Abu Haitsam Al-Haddad yang merupakan seorang pencuri, lalu terjadilah percakapan di antara mereka.

“Bukankah kau Ahmad, orang paling alim di zaman ini?” Tanya Abu Haitsam.

“Orang-orang mempercayaiku demikian,” jawab Imam Hambali.

“Sepertinya engkau ragu dan takut untuk menghadapi hukuman ini. Sungguh aneh sikapmu itu,” ucap Abu Haitsam.

“Mengapa aneh?” Tanya Sang Imam.

“Aku mendapat hukuman cambuk sebanyak delapan belas ribu kali, aku bisa bersabar dan tegar akan hal itu, akibat pencurian yang jelas perbuatan ini merupkan hal batil. Bukankah engkau harusnya bisa lebih tegar karena engkau dihukum atas nama kebenaran?” cakap Abu Haitsam.

Mendengar ucapan pencuri tersebut membuat Imam Hambali tersadar dan semakin kuat menjaga keyakinannya.

Melihat Sang Guru yang semakin lemah karena penyiksaan di dalam penjara membuat salah satu muridnya berkata, “Mengapa engkau tidak berbohong saja pada khalifah agar engkau tidak dihukum terus-terusan seperti ini. Bagaimana jika engkau meninggal, umat akan kehilangan sosok panutan dan kehilangan arah, sehingga kematianmu lebih berbahaya bagi Islam daripada kebohongan di hadapan penguasa,” pinta sang murid.

“Tidak, kematian lebih aku pilh daripada menyesatkan umat. Kalau sampai aku mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, berapa banyak orang yang akan tersesat karena mencatat dan mengikuti perkataanku. Begitu pun dengan umat selanjutnya, akan semakin banyak yang tersesat. Maka lebih baik aku yang mati karena kematian seorang Ahmad tak ada artinya dibandingkan dengan kesesatan umat,” jawab Hambali dengan tegas.

Kemudian Al-Watsiq menggantikan posisi ayahnya Al-Mu’thasim dengan melanjutkan pemahaman kakeknya, sehingga ujian bagi Hambali masih terus berlangsung. Selanjutnya setelah Al-Watsiq wafat, kedudukannya digantikan oleh Al-Mutawakkil saudaranya yang mempercayai doktrin Al-Qur’an sama seperti Imam Hambali. Status Sang Imam pun dipulihkan dan diperbolehkan kembali ke majelis ilmunya.

Sampai akhir hayatnya, Imam Ahmad dikaruniai delapan anak. Ia menunaikan haji sebanyak lima kali, yang mana dua diantaranya ditempuh dengan berjalan kaki. Setelah sakit selama sepuluh hari, ia menghembuskan napas terakhirnya pada Rabiulawal 241 H/855 M di Baghdad. Berdasarkan keterangan Adz Ddzahabi dalam Siyar A’lam An Nubala, ia dimakamkan setelah salat Jum’at, dihadiri tak kurang dari delapan ratus ribu orang dari berbagai daerah sebagai penghormatan terakhir atas kontribusi besarnya untuk Islam.

Wallahua’lam

Sumber gambar : Bincang Syariah

Penulis             : Kautsar Ahmad Djalaluddin

Mahasiswa      : University of the Holy Quran and Islamic Science

Posting Komentar

0 Comments

Formulir Kontak