![]() |
Dari ajakan Al-Qur’an agar manusia membaca dan mengkaji, akan diperoleh
suatu kesimpulan mengenai berbagai pandangan Al-Qur’an
tentang filsafat sejarah. Filsafat sejarah dalam Al-Qur’an yang
dengannya menggiring kita untuk bertafakur mengenai berbagai peristiwa di alam
ini, lebih tepatnya mengarahkan hingga pada suatu penalaran yang tidak memaksa.
Jika berbagai peristiwa di alam ini adalah sia-sia dan terjadinya
secara kebetulan saja, maka dalam meneliti sejarah masa lalu dengan masa kini, tidak akan
didapatkan suatu hubungan apa pun karena semua peristiwa itu terjadi secara
kebetulan (tidak sengaja). Al-Qur’an menolak terjadinya semua itu secara
kebetulan saja, mengakui, dan menjelaskan adanya suatu ketentuan yang berlaku.
Jika sejarah memiliki ketentuan, tetapi ketentuan tersebut berada di luar
kehendak manusia, maka berarti manusia sama sekali tidak memiliki suatu peran apa
pun (suatu perkara yang sifatnya kepastian murni), di mana manusia tidak
memiliki pengaruh terhadap berbagai perubahan yang ada, dan juga tidak ada
manfaatnya mengambil pelajaran dari sejarah, karena berbagai perubahan sejarah
merupakan suatu perkara yang terjadi secara pasti (jabr). Baik kita
menginginkannya ataupun tidak, kita berkehendak ataupun
tidak, hal itu tidak memberikan pengaruh sama sekali.
Sebagaimana perputaran bumi mengelilingi matahari atau perputaran bumi pada
porosnya. Setiap 31.536.000 detik bumi berputar mengelilingi matahari sebanyak
satu putaran, baik kita menginginkan hal itu ataupun tidak, ketentuan jelas
berada di luar kehendak kita. Tidak ada artinya bagi kita mengetahui semua itu
karena bagaimanapun juga kita tidak dapat mempercepat atau memperlambatnya.
Dengan demikian, maka jelas bahwa manusia pasti memiliki pengaruh dan
mampu memberikan pengaruh (terhadap berbagai perubahan sejarah). Jika faktor
yang berpengaruh dalam sejarah itu hanya kejahatan atau berbagai faktor
kefasadan, misalnya faktor yang berpengaruh dalam sejarah itu adalah
penindasan. Selain itu
tidak ada faktor lain yang berpengaruh dalam sejarah, atau bisa kita sebut faktor
yang berpengaruh dalam sejarah hanya penindasan, uang dan ekonomi. Jika
demikian, maka sejarah merupakan guru bagi manusia, tetapi sebagai guru yang
buruk. Kenapa demikian? Karena mengatakan kepada manusia, bahwa tidak
ada satu pun yang berpengaruh dalam sejarah, melainkan hawa nafsu, wanita,
uang, serta penindasan.
Jika demikian, lebih baik manusia tidak membaca sejarah karena jika membaca sejarah
dan berhasil menyingkap rahasia sejarah, maka ia akan mengetahui pendapat
sebagian orang yang mengatakan, “Kebenaran sama sekali tidak memiliki pengaruh dalam alam ini, kecuali
kebenaran akan fakta yang buruk. Penindasan adalah sebenar-benarnya akhlak. Akhlak
ialah penindasan dan penindasan,” yakni akhlak dan berbagai pengaruhnya yang terangkum
dalam alam ini tidak ada yang lain selain itu.
Adapun jika sejarah tidak terjadi secara kebetulan, itu berarti
suatu sunah (ketentuan); jika sunah sejarah bukan berupa suatu kepastian murni,
manusia dapat berpengaruh di dalamnya, dan jika faktor-faktor yang ada dalam
manusia tidak terbatas pada faktor fasad saja, tetapi lebih kuat dari itu, yang dalam hal ini adalah faktor kebaikan, ketakwaan, kesucian, kebenaran, keimanan,
maka sejarah merupakan seorang guru yang baik.
Ketika Al-Qur’an menyatakan bahwa sejarah merupakan suatu pelajaran adalah
berdasarkan pada semua itu (faktor ketakwaan dan kesucian). Menurut pandangan Al-Qur’an,
kebaikan memiliki pengaruh dalam sejarah, ketakwaan dan keikhlasan, bahkan menjadi pengaruh
terakhir, dan kemenangan terakhir senantiasa ada pada kebenaran akan fakta
yang baik, bukan pembenaran. Adapun penjelasan yang menjelaskan mengenai
pengaruh dan kemenangan pada kebenaran telah tertuang dalam Al-Qur’an surah
Al-Mujadilah:
“Allah telah
menetapkan: Aku dan Rasul-rasul-Ku pasti menang,” (QS. Al-Mujadilah: 21).
Merupakan Sunah
Ilahi yang pasti, di mana kemenangan terakhir ada pada-Ku, yakni pada
hukum-hukum-Ku dan hukum-hukum para nabi-Ku. Di
sini menjelaskan bahwa bukan berarti Allah termasuk dalam
arena peperangan.
“Dan
sesungguhnya tentara Kami itulah yang pasti menang,” (QS. Ash-Shafat: 173).
Artinya adalah
seperti itu juga. Jika demikian, maka menurut Al-Qur’an, salah
satu sumber pengetahuan adalah “sejarah”, dan Al-Qur’an dalam hal ini mengakui bahwa
sejarah adalah sumber pengetahuan berlandaskan pada berbagai ketentuan dan syarat yang telah disebutkan.
Semua itu tergambar juga ketika Ali bin Abu Thalib dalam surat
wasiatnya yang ditujukan kepada putranya Hasan. Surat itu
tercantum dalam Nahj Al-Balaghah, berisikan
ungkapan amat agung yang dapat menambah keimanan manusia. Ali bin Abi Thalib
yang merupakan generasi Islam pertama memberikan sebuah perintah kepada Hasan,
“Wahai anakku! Perhatikanlah secara teliti berbagai perubahan sejarah yang ada
dalam berbagai masyarakat dan bangsa, jadikanlah semua itu sebagai suatu
pelajaran!”
Dalam suratnya
berisikan:
“Wahai anakku, sekalipun
saya tidak mencapai usia yang dicapai orang-orang sebelum saya, tetapi saya
melihat ke dalam perilaku-perilaku mereka dan memikirkan peristiwa-peristiwa
dari kehidupan mereka. Saya berjalan di antara reruntuhan mereka, seakan saya
menjadi salah satu dari mereka. Sesungguhnya, karena urusan-urusan mereka telah
saya ketahui, seakan-akan saya telah hidup dengan mereka. Begitu dekatnya saya
dengan mereka, seakan-akan saya hidup bersama dengan masyarakat itu.”
Orang-orang yang mendalami sejarah bagaikan hidup berkali-kali
lipat tahun lamanya, bahkan hidup sejak awal dunia diciptakan sampai
akhirnya hidup bersama seluruh masyarakat. Jika seseorang
hidup dalam suatu masyarakat tidak membaca sejarah dan tidak mengamati bagaimana peradaban di zaman sebelumnya, maka ia hanya akan
mengetahui keadaan dan kondisi masyarakat itu saja (masyarakat di sekelilingnya
selama ia hidup).
Membaca sejarah dan memikirkan berbagai perubahan yang terjadi pada berbagai masyarakat, sehingga dapat menjadi suatu sumber yang berisikan berbagai informasi peristiwa yang terjadi sejak awal sampai dunia berakhir. Suguhan filsafat sejarah dalam Al-Qur’an dan menurut pandangan Al-Qur’an (dan berbagai riwayat) bahwa sejarah itu merupakan sumber pengetahuan.
Sumber gambar : Quora
Oleh :
Suprianto
Mahasiswa :
IUA
0 Comments
Posting Komentar