![]() |
Waktu berlalu sangat cepat, tak terasa banyak kejadian yang
berkelibat. Sudah dua tahun aku bernafas di negeri ini, menikmati jingga senja
dari balik jendela, berjuang
melawan terik matahari yang kadang tak lagi sehati, atau bahkan memeluk udara berdebu di pinggiran kota. Rasa rindu akan
rumah terkadang sering meluap seiring kepulan asap teko teh yang menguap.
Begitu pula Ramadan kali ini, seperti tahun lalu aku tak lagi bisa bertemu,
berpisah dalam untaian kisah, dan memendam rindu dalam kalbu.
Sayup-sayup terdengar lantunan murotal dari handphone temanku di
depan kamar, aku harap murotal itu bisa menenangkan hatiku yang sedang
gelisah tanpa arah. Lama sekali aku duduk termenung di depan pisang goreng itu,
pikiranku tenggelam dalam kasmaran yang tak bertuan, bodoh sekali aku yang merindu
kepada seseorang hanya dalam sekali bertemu, dan berharap kepada sesosok insan
yang bahkan aku tak mengetahui dirinya, sajak-sajak melodi berbaris
menggambarkan bayangmu di balik jendela itu.
***
Sepiring tempe goreng dengan sambal matah dan es buah itu telah
tersusun rapi di meja makan. Lima menit lagi sebelum azan magrib berkumandang,
segera aku duduk bersama teman-teman kosku. Menjalani ibadah puasa di rantauan
bukanlah suatu hal yang mudah, apalagi di Sudan, suhu Sudan yang panas dengan
durasi puasa yang cukup panjang.
“Ayo berdoa, waktu
mustajab nih!” kata Iqbal. Dia adalah orang paling alim di antara kami, ia
sering kali mengingatkan kami saat kami lalai.
“Nitip doa gua cuy,”
sahutku. Kami memang sering saling menitip doa, karena kita tak pernah tahu doa
mana yang cepat menembus langit.
“Gua boking tempe
goreng tiga loh!” kata Ilyas. Entah kenapa pikirannya selalu berputar
tentang urusan perut.
“Eh, ntar pada
tarawih di mana cuy? Ke masjid samping Durah Yaman aja yuk! Masjidnya
dingin plus suara imamnya enak,” ajakku kepada teman-teman.
“Hayuklah, gas!” kata teman-temanku.
Kumandang azan magrib menghentikan percakapan kami, seteguk air es yang
segar membangkitkan gelora agar kembali tegar. Ku ambil tempe goreng, lalu
teringat akan rasa rindu berbuka dengan keluarga yang setidaknya terobati
karenanya. Secepatnya kami berbuaka, karena tak memiliki banyak waktu sampai iqamat
tanda berdirinya salat ditegakkan.
Asap hangat dari Coto Makassar buatan Ilyas terlihat menggoda yang
mana ia bertugas piket masak hari ini. Seusai salat magrib biasa kami baru
memulai makan makanan berat. Jangan ditanya Coto Makassar kali ini sungguh jauh
dari kata tidak enak, alias enak banget!
“Yas, besok kamu piket
masak terus aja ya, habis makananmu enak mulu dah,” kata Iqbal.
“Ya zuul, kalamuka
khatiir! Enak aja, gak mau lah,” kata Ilyas menimpali Iqbal.
“Yas, kamu pakai
jampi-jampi ya waktu masak? Kok masakanmu enak banget,” kataku.
“Harap maklum gaes,
Chef Juna pun angkat tangan sama gua, hahahaha,” sahut Ilyas berbangga
diri.
“Hayuk buruan
makannya katanya kita mau tarawih di Durah Yaman,” kata Iqbal.
Tak perlu waktu lama untuk menghabiskan hidangan makan malam itu,
setelah makan kami bersiap untuk pergi tarawih. Salah satu nikmat Ramadan di
Sudan adalah tarawih keliling masjid, biasanya kami akan berpindah masjid dari
malam satu ke malam yang lainnya, merasakan atmosfir perbedaan dari setiap masjid. Setiap masjid memiliki keunikan
tersendiri misalnya, masjid di samping Durah Yaman kali ini yang bermazhab
Syafi’i sehingga ada jeda untuk salat ba’diyah isya sebelum tarawih dan
adanya kunut ketika witir.
Malam ini cerah, bercak gemerlap
bintang dan cahaya rembulan menghias langit indah. Tarawih di masjid ini
lumayan singkat, delapan rakaat dengan tiga witir dan bacaan surah setengah
halaman di setiap rakaatnya. Seusai tarawih aku menunggu Ilyas, Iqbal, Kiki, dan Rafel
di depan masjid karena aku keluar masjid lebih dahulu sebelum mereka.
Tak disangka tatapanku jatuh kepada seorang
mahasisiwi dari balik jendela, mahasiswi itu sedang turun dari tangga masjid
lantai dua setelah tarawih, tatapan pertama yang sungguh dalam seolah dunia
berhenti sekian detik. Oh Tuhan, aku dan dia bertemu dalam tatapan tak sengaja,
tatapan yang belum pernah aku rasakan sebelumnya, ia menggunakan kerudung
abu-abu tua, anggun dan sejuk sekali parasnya. Matanya sipit, kulit putih
langsat dengan lesung pipi menghiasi
wajahnya.
Aku kembali sadar, segera ku palingkan wajahku darinya. Entah
tatapan kali ini berbeda, ada rasa kagum akan dirinya, astaghfirullah
kataku dalam hati. Iqbal, Ilyas, Rafel, dan Kiki muncul dari dalam masjid berjalan
mendekatiku untuk pulang ke rumah. Malam yang merubahku menjadi sosok yang
berbeda, sebelumnya aku bukan orang yang cuek dan tidak mudah untuk mengagumi
seseorang apalagi dalam sekali pertemuan.
Dalam perjalanan, aku berusaha menghilangkan bayangnya dalam
benakku tapi semakin ku coba hilangkan semakin kuat ia muncul. Bahkan saat aku
berbaring untuk tidur pada malam itu juga bayangnya muncul, menari dalam
sanubari,
“Heh, berdoa
sebelum tidur! Bengong mulu dari tadi,” kata Iqbal menyadarkanku dari lamunan.
“Hmm, aku mau tanya
sesuatu boleh Bal?” kataku.
“Bolehlah, tafadhol!”
kata Iqbal mempersilahkan aku untuk bertanya.
“Kalau suka sama seseorang
itu bolehkah? Terus gimana cara buat menahan rasa kagum pada seseorang?” kataku.
“Wah, suka sama
seseorang itu wajar, itu manusiawi dan itu boleh kok, yang gak boleh itu
jika kekaguman mu diutarakan kepada seseorang itu di tempat yang salah,
istilahnya pacaran gitu, kalau kamu benar suka bilang sama bapaknya,” kata
Iqbal.
“Makasih ya Bal nasehatnya,
doain aku biar tetap istikamah,” sahutku mengakhiri pembicaraan.
Temaram malam, ku matikan lampu kamar lalu ku tarik selimutku, memejamkan
mata, berharap agar mimpi membawa bayangnya pergi, menghanyutkan rasa kagum
dalam hati.
***
Aku masih duduk di depan pisang goreng itu, sepanjang hari
bayangannya masih menari di sanubari. Berulang kali aku mencoba melupakannya,
berulang kali pula sosoknya muncul di kepala. Rasa ini terlalu kejam, mengoyak
hati dengan tajam, aku mencintaimu dalam diam.
Lantunan murotal dari depan kamar itu sedikit demi sedikit
menyadarkanku yang kalah dari rasa buta tanpa arah. Rasa tak pernah salah jika
lisan tak berulah. Cinta tak pernah buta
asalkan ada hukum yang tertata. Begitu
pula hati, tak pernah menyakiti jika ada ikatan pasti.
Ini bukanlah suatu hal yang mudah, tetapi aku berusaha untuk berubah.
Jika kamu membaca ini, aku harap kamu mengerti bahwa aku mencintaimu. Namun, aku
harus memendamnya hingga nanti waktu yang tepat, saat aku dan kamu telah
menjadi insan yang lebih hebat. Aku dan kamu memperbaiki diri dan juga menjaga
hati. Hai, asal kamu tahu aku masih menunggumu hingga nanti waktu bertemu.
(Cerita ini hanyalah fiksi belaka, jika ada kesamaan kejadian, nama, waktu, dan tempat hanyalah kebetulan semata.)
Sumber gambar : kompasiana.com
Oleh: Syuhada Abdi Ra’uuf
0 Comments
Posting Komentar