Abraham Accord, Perjanjian Khayalan yang Melukai Palestina


 

Kebrutalan Israel yang dilancarkan kepada Palestina sejak 10 Mei menjadi isu besar diseluruh dunia. Diawali dengan penyerangan yang terjadi di masjid Al-Aqsha dan juga di area Syekh Jarrah pada Ramadan lalu, hingga saling balas serangan antara Israel-Hamas di jalur Gaza, memancing kemarahan umat muslim di berbagai negara. Demonstrasi terjadi hampir di seluruh negara, tak terkecuali negara minoritas muslim, seperti Amerika Serikat (AS) dan negara-negara Eropa. Hingga pada akhirnya, Israel mengajukan genjatan senjata terhadap Hamas pada Kamis, 20 Mei lalu.

Mekipun banyak pemimpin negara dunia yang menentang dan mengecam kebiadaban Israel, nampaknya negara yang baru berdiri tahun 1948 tersebut belum juga menghentikan penjarahannya terhadap hak-hak Palestina dan warganya. Apalagi sokongan berupa dana dari AS yang membuat Israel semakin percaya diri untuk terus merenggut kebebasan Palestina, karena seperti yang kita ketahui, AS merupakan sekutu terbesar Israel. AS pada era Joe Biden, sepertinya tidak berbeda dengan era Donald Trump. Biden tidak memperlihatkan keberpihakan sedikit pun terhadap Palestina semenjak dia menjabat sebagai Presiden AS.

Negara-negara Arab pun tak serius menanggulangi pencederaan hak-hak kemanusiaan terhadap Palestina. Tahun lalu, pada 15 September 2020, UEA, Bahrain, Israel, dan Amerika bersepakat menandatangani Perjanjian Abraham (Abraham Accord) guna menawarkan normalisasi negara-negara Timur Tengah supaya menunda aneksasi Israel terhadap Tepi Barat, dengan dalih kebaikan dan perdamaian bagi Palestina dan Israel. Alih-alih membatalkan, ternyata Israel hanya menunda aneksasi tersebut, dan malah melakukan agresi di masjid Al-Aqsa pada 10 Mei lalu, ketika muslimin Palestina sedang melaksanakan ibadah Ramadan. Ini menandakan, bahwa normalisasi tidak memberikan dampak positif sedikit pun di kawasan. Bahkan terkesan merugikan Palestina dan hanya menguntungkan Israel.

Terlebih kebijakan dan keputusan UEA sebagai negara terkaya kedua di daratan Arab, sama sekali belum berpihak kepada Palestina. Bahkan, Giorgio Cafeiro (Kontributor TRT World) menyatakan bahwa, “Normalisasi hubungan UEA-Israel yang seharusnya bisa bertujuan memberikan dampak positif bagi Palestina, para petinggi Emirat malah membedakan perjuangan rakyat Palestina yang berjuang meraih kebebasan dan Hamas sebagai gerakan islamis yang dianggap sebagai tangan kanan Iran.” Anggapan pemimpin-pemimpin UEA ini jelas bertentangan dengan fakta perjuangan Hamas di Palestina.

“UEA melihat Hamas sebagai jaringan Ikhwanul Muslimin, yang mana UEA sendiri mengakui kelompok tersebut sebagai organisasi teroris,” lanjut Cafeiro. Bahkan, UEA mengecam Hamas karena aksinya yang meluncurkan roket-roket ke Tel Aviv. Padahal aksi Hamas tersebut merupakan reaksi atas agresi Israel yang menyerang jalur Gaza hingga merenggut banyak korban.

Terkait Perjanjian Abraham Accord, Khalil Jahshan selaku Direktur Eksekutif Arab Center yang berpusat di Washington DC memaparkan,Perjanjian Abraham Record tersebut secara fatal sangat gagal jika dalam fenomena politik.

Perlawanan besar-besaran yang ditunjukkan dunia terhadap Israel, mulai dari Maroko ke Qatar dan dari Tunisia ke Iraq merupakan resiko politik bagi negara-negara Arab yang memiliki “kemesraan hubungan” dengan Israel. Terlebih didukung dengan simpati para demonstran akan banyaknya korban jiwa yang terus bertambah di Palestina karena ulah Zionis.

Jika UEA berani memutus atau paling tidak melemahkan hubungannya dengan Israel, yang berpeluang untuk dapat memberikan pukulan terhadap warisan kebijakan AS pada era Trump, maka Perjanjian Abraham benar-benar menemui babak baru bagi perdamaian Palestina. Karena sekali lagi, perjanjian tersebut tidak memberikan jaminan perdamaian dan keamanan bagi Palestina dengan alasan, perjanjian politik UEA-Israel cenderung mengabaikan isu-isu terkait warga Palestina yang kehilangan kewarganegaraannya dan dirampas hak-haknya sebagai warga yang terjajah.

Uni Emirat harus tegas dalam menyikapi konflik yang terjadi di Timur Tengah, terutama terhadap isu Palestina. Karena para pengamat mulai melihat gerak-gerik UEA dalam memposisikan dirinya di antara negara teluk. Itu jika UEA tidak ingin dilabeli sebagai “Budak Amerika”.

Sumber : trtworld

Sumber gambar : klove

Oleh : Albanna

*Mahasiswa Zaim Azhary Sudan

Posting Komentar

0 Comments

Formulir Kontak