![]() |
Oleh: Fuad Azzam Jundana Harahap
Pertama kalinya aku masuk ke pondok Madrasah Aliyah (MA), aku pernah dinasehati oleh kakak kelasku yang dulunya satu almamater denganku semasa Sekolah Menengah Pertama (SMP) dulu, "lu kalo di sini gabut (nganggur), kagak ikut organisasi apa-apa, yakin dah lu bakal jadi sampah!" Nasehat yang sungguh menampar sekaligus memotivasiku untuk lebih aktif di pondok dalam mengikuti dunia organisasi. Pada lain kesempatan, kakak kelasku pernah menasehatiku kembali, "kelas 1 aliyah tuh banyak bet organisasinya, kalo lu mau ditarik banyak organisasi, ya kuncinya lu harus keliatan aktif sama kakak kelas," tapi salah satu kekuranganku adalah melalui proses adaptasi di setiap pondok yang kujalani, dari mulai Sekolah Dasar (SD) sampai MA sekarang aku memiliki perasaan malu yang tinggi dan itu menghalangiku untuk terlihat lebih aktif dalam berbagai kegiatan sekolah yang diadakan.
***
Kujalani 1 tahun masa awal MA dengan sewajarnya, tidak dibuat-buat untuk menarik perhatian orang lain, atau kata temanku biasa disebut dengan istilah "ngalir aja ngalir". Tetapi anehnya, ketika sikapku biasa saja, aku malah ditarik menjadi salah satu anggota Majelis Perwakilan Santri (MPS) yang mana biasanya perekrutan anggota dari anak baru itu terbilang cukup sedikit, hanya sekitar 3 orang.
Aku bersyukur alhamdulillah, tetapi sebenarnya organisasi yang sangat kuimpikan saat itu adalah bisa bergabung dalam organisasi bergengsi di pondokku, yaitu menjadi salah satu pengajar Taman Pendidikan Anak (TPA), sangat disayangkan aku tidak mempunyai relasi ‘orang dalam’ untuk menjadi pengajar pada TPA tersebut. Sedangkan kebanyakan teman-temanku yang berstatus anak baru atau santri baru yang masuk pondok ketika aliyah dan bukan merupakan lulusan tsanawiyah, mereka direkrut untuk menjadi pengajar di TPA tersebut, karena memiliki relasi ‘orang dalam’ yang merupakan kakak kelas mereka ketika SMP. Sedangkan aku, kebanyakan kakak kelas SMP-ku dahulu sama sekali tidak ada yang menjadi pengajar di TPA tersebut. Lalu aku bergumam dalam hati, " mungkin MPS adalah yang terbaik untukku".
***
Tibalah hari pelantikan pengurus MPS baru di pondokku dan aku sama sekali belum diminta menjadi pengajar apapun saat itu. Hari pelantikan yang bertepatan pada hari Jumat yang biasanya pengajar berjalan turun ke pondok, karena posisi pondokku yang terletak di daerah atas desa, sedangkan tempat kami mengajar kebanyakan berada di daerah bawah desa.
Kujalani pelantikan itu sambil terus berprasangka baik dan yakin aku akan ditarik sebagai pengajar. Selesai pelantikan, aku langsung menuju kantor wali asrama untuk menelepon umiku dan memberitahunya bahwa aku tidak diangkat menjadi pengajar, melainkan diangkat menjadi pengurus MPS saja. Seketika setelah menelepon, temanku yang dari bandung juga, menemuiku tepat di depan kantor wali asrama, kemudian berkata, "Ad, mau jadi pengajar ga? Ngajarnya di desa Jalaksana, dekat kok dari sini, kalua kamu mau, langsung aja siap-siap kita turun bareng sebelum jumat, ditunggu ya di depan RKB (Ruang Kelas Baru)." Seketika aku kaget tak percaya, sesingkat ini kah penarikan pengajar? Padahal kata teman yang lain, kalua ingin menjadi pengajar itu harus melalui beberapa tes. Sedangkan aku, penerimaanku semudah membalikkan telapak tangan.
Hikmah dari cerita di atas adalah ketika kita memiliki impian, selalu yakin sama Allah akan impian kita tersebut. Allah pernah berkata dalam firman-Nya, "Aku sesuai dengan prasangkaan hamba pada-Ku." Terus yakin dan jangan pernah ragu, bagimana Allah akan memberi jikalau kita saja tidak yakin dengan impian itu.
0 Comments
Posting Komentar