Sahabat Terbaik

 




Oleh : Wipa Raziq Shihab Habibi*

Alfan, seorang mahasiswa tahun ke dua yang berkuliah di salah satu kampus terbaik di Sudan. Kesehariannya hanya ia isi dengan kuliah dan belajar di luar kampus bersama syekh-syekh yang ada di Sudan untuk belajar ilmu agama. Semangat belajarnya tidak bisa diragukan lagi. Ia selalu tidur larut malam hanya untuk mengulang-ulang hafalannya lalu bangun lebih cepat dari yang lainnya.

Susah mendapatkan air, panas terik cuaca di Sudan yang kadang sampai pada 47°, ditambah lagi tiap hari selalu ada pemadaman listrik bergilir. Namun, semua itu tak membuatnya menyerah untuk tetap bertahan hidup di asrama demi mendapatkan lingkungan belajar terbaik. “Alhamdulillah, saya sangat betah bisa tinggal di asrama. Walau tergolong susah, tapi aku mendapatkan teman yang sama-sama semangat untuk belajar,” ucapnya saat ditawari salah satu temannya untuk tinggal bersama di rumah.

Sore itu, setelah pulang dari kampus ia kayuh pedal sepedanya untuk pergi belajar ke salah satu masjid untuk belajar dengan syekh. Sebelum datang belajar ia meluangkan waktunya untuk membaca materi yang akan disampaikan syekh hari ini dan, tak lupa mengulang pelajaran yang telah lalu. Sehingga, ketika ia datang ke majelis ia sudah lebih memahami pelajaran di banding teman yang lain.

Menjelang Magrib, setelah ia menyelesaikan pelajarannya, ia kembali ke asrama. Namun, di tengah perjalanan ponselnya berdering. Awalnya ia tak mengabaikan ponselnya tersebut. Tapi, ponselnya terus berdering beberapa kali. Akhirnya, ia mengalah dan turun menepi sejenak di bawah pohon. Ia rogoh kantong celananya mengambil ponsel. Tertulis pemberitahuan di sisi atas ponselnya, “Lima panggilan tak terjawab,” ibunya memanggilnya lima kali. Ia buru-buru menghubungi ibunya lagi. Berdering, hanya beberapa saat suara ibu langsung terdengar, “Assalamualaikum, Nak,” suaranya parau sesenggukan menahan tangis.

“Waalaikumsalam warohmatullah wabarokatuh, Bu. Ibu ada apa? Kenapa menangis?” Tanya Alfan penasaran serta khawatir dengan ibunya. Namun, ibunya sama sekali tak berbicara. Hanya tangis kencang yang menjadi jawaban atas pertanyaan Alfan. “Ibu kenapa?” tanya Alfan sekali lagi. Hatinya berdegup kencang khawatir ada hal yang buruk terjadi. 

Alfan memilih diam mendengar tangisan ibunya. Setelah beberapa saat, ibunya mulai berbicara lagi dengan berusaha menguatkan diri untuk bisa menahan tangis. “Nak, ibu mau bilang ke kamu sesuatu,” Alfan fokus mendengarkan.

Ibunya diam sejenak dan menarik nafas panjang, lalu melanjutkan pembicaraan, “Ayah kamu baru saja meninggal, Alfan,” ibu kembali menangis tak tertahan. Alfan yang mendengar itu seperti tersambar petir di siang hari yang cerah. Badannya yang kuat, besar, dan tinggi seketika berubah lemas tak berdaya. Ia terduduk diam, menatap langit kosong. Menarik nafas panjang lalu memejamkan mata, berharap bahwa apa yang keluar dari mulut ibunya hanya bercanda. Tapi, apa boleh buat takdir sudah berkata dan tak ada yang bisa menolaknya.

Ibunya kembali berbicara, “Kamu enggak usah pulang ya, Nak. Di Sudan saja. Ibu enggak punya uang untuk memulangkan kamu ke sini. Ibu tahu kamu kuat, kamu yang sabar ya di sana. Tetap menjadi anak saleh untuk ayah dan ibu dengan caramu terus berdoa mendoakan kami,” ucap ibu lirih.

Tanpa ia sadar, setetes air menggelayut di ujung matanya lalu disusul dengan tetesan yang lain. Pipinya basah dan matanya bengkak. Setelah ibunya selesai berbicara ia menutup ponselnya dan bergegas kembali ke asrama tanpa menceritakan hal tersebut kepada siapapun.

Setelah salat Magrib ia hanya merebahkan dirinya di atas kasur. Ponselnya terus berdering, teman-teman dan sanak saudaranya yang ada di Indonesia ramai mengucapkan duka dan belasungkawa. 

Keesokan harinya, jam masuk kelas sudah dimulai. Namun, ia tetap tak beranjak dari kasurnya hingga jam belajar selesai. Beberapa teman dekatnya mendatanginya ke kamar. Melihat Alfan yang hanya rebahan sambil mengusap-usap layar ponsel, mereka duduk di kasurnya lalu bertanya, “Kamu kenapa tadi enggak masuk kuliah, Fan? Kamu sakit?” Tanya mereka. Alfan hanya menjawab dengan menggelengkan kepalanya. 

“Ada apa kamu sebenarnya? Alfan yang selama ini aku kenal enggak seperti ini. Selaku semangat dan enggak pernah begini. Kamu kenapa? Coba sini cerita ke kami. Kita kan teman, fungsi teman ya harus saling membantu ketika teman yang lain ada masalah,” ucap Ardhi.

Barulah di situ Alfan menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Teman-teman yang mendengar juga ikut berlinang air mata. Semua teman-temannya memberikan semangat serta motivasi untuknya. “Terima kasih teman-teman. Berkat kalian, sekarang perasaanku sudah mulai membaik,” ucap Alfan saat teman-temannya hendak pergi meninggalkan kamar. Mereka memeluk Alfan sebelum pergi.

Sempat beberapa kali ia kembali rindu akan ayahnya, membuat dirinya malas untuk berbuat apa-apa. Namun, teman-temannya tak pernah lelah untuk memberikan perhatian untuknya. Kembali menyemangati, mengencangkan kembali semangatnya yang mulai kendor, memperjelas apa yang mulai buram. Itulah guna bersahabat dengan orang yang baik dan saleh. Bagaimanapun keadaannya, baik senang maupun susah maka akan selalu bersama di jalan menuju Allah SWT.


*Mahasiswa International University of Africa


Sumber gambar : Brilio.net


Posting Komentar

1 Comments

Posting Komentar

Formulir Kontak