Ricuhnya Berbuka

Sumber : iStock


Bulan ramadan adalah bulan yang sangat ditunggu bagi seluruh umat
Islam, dimana mereka saling berlomba dalam kebaikan. Momen yang paling ditunggu adalah saat berbuka puasa bersama keluarga, salat terawih bersama kawan, tadarus di masjid setiap sore dan dibangunkan sahur sama takmir musala.

Sahurrr, sahurrr, bapak ibu sahurrr. Pak Joko bangun pak mau imsak. Bu Tejo bangun bu keburu imsak. Sahurr, sahurr.

Suara pengeras suara musala yang membuat siapa saja terbangun saat sahur tiba. Ditambah anak-anak yang berkeliling kampung membawa panci, botol , sendok dan lain sebagainya.  

“Sahurr, sahurr”

Mereka berteriak yang padahal masih jam satu pagi. Alhasil kena marah pak Rt.

“Pulang-pulang! Masih jam satu ganggu orang tidur saja”

Dengan serempak mengambil seribu langkah untuk segera pulang ke rumah masing-masing. Tidur sampai jam tujuh pagi. Dibangunkan untuk sahur pun tak berkutik sama sekali. Kebiasaan yang terus berulang seperti radio rusak. Kebiasaan yang selalu memberikan rasa rindu tersendiri bagi setiap orang. Tak terkecuali dengan keluargaku. Keluarga kecil tapi banyak orangnya. Keluarga dengan sembilan bersudara dan dua orang tua. Hampir sama dengan Keuarga Gen Halilitar, heheh.

“Mi, nanti siang Kak Mustaq pulang kan?”

“Iya Aisy.

Yeayy berati nanti sore kita buka di pantai yaaaaaa.

Umi mengangguk. Sudah menjadi peraturan yang tak tertulis untuk berbuka puasa di Widuri. Menikmati senja sambil melihat kepiting-kepiting yang masuk ke lubang. Mendengar suara deburan ombak dan menikmati makanan berbuka.

“Nisa eh Rufai, eh Mila eh Mustaq eh siapa aja lah sini bantu Umi masak”

“Siapa Mi siapa jadinya?”  Tanyaku.

“Siapa aja yang mau dapat pahala”

Ya, begitulah umiku, memanggil semua nama anaknya. Maklumlah yang cuma dua anak saja sering tertukar menyebut nama, apalagi sembilan. Akhirnya aku melangkah maju.

“Apa Mi?”

Tuh potongin bawang. Angkat tempenya. Kalian tuh anak perempuan harus bisa masak”

Aku hanya mengangguk,

“Iyalah masa anak cewe gak bisa masak”

Abi ikut nimbrung.

“Mana Nisa sama Rufai? Panggil kesini Mil”

Aku lalu pergi menuju kamar.

“Dipanggil Umi kak”

“Bohong. Paling juga kamu yang disuruh kan.” Kak Nisa menyahut.

“Ish gak percaya. Itu kata Abi suruh bantu Umi masakkkk! Tau ah”

“Beneran?”

“Iya...”

Kami memang sudah di atas umur tujuh belas tahun dan berantem pun masih ada. Rumah selalu ramai, apalagi kalau semua anggota keluarga sudah berkumpul di rumah. Akan ada suara tangis, teriakan, tawa, dan marah yang semuanya menjadi satu.

“Kak Mila, dipanggil Umi tuh. Ditunggu tempenya gosong.” Adikku menghampiriku.

“Milaaaa, masak tempe kok ditinggal. Gosong nih

“Tadi disuruh manggil kakak kan Mi”

“Sudahlah. Sana bawa piring, gelas sama termosnya ke mobil.”

Tanpa banyak kata, aku pergi mengambil piring. Melangkah membuka pintu rumah. Saat itu becak berhenti tepat di depan rumah. Tiga adik laki-lakiku sudah datang.

“Kak, ada uang gak?

“Minta Umi di dalam”

Yeeay, Kak Mustaq, Kak Firdaus, Kak Ahmad pulangg,” Si bungsu berseru sambil lari keluar rumah menabrakku dan praaang! Piring pecah tiga.

Oi, Taqwa. Siniiii!!”

“Kak Mila siih di situ. Kan Taqwa mau keluar”

Kak Nisa dan Kak Rufai keluar membawa gelas dan termos.

“Kok pecah sih?Kak Rufai bertanya.

“Adek kamu lah yang mecahin. Nabrak orang bawa piring”

“Enggak, bukan aku. Kak Mila sih di tengah jalan.”

Tabiat anak bungsu yang tak salah dan tak mau disalahkan. Sudah menjadi resiko seorang kakak yang selalu kena marah walau adik yang salah dan resiko menjadi adik selalu kena suruh kakaknya, lalu posisiku sebagai anak tengah yang dipaksa untuk mengalah dan dipaksa untuk bersikap dewasa.

“Awas kaki! Udahlah pada masuk biar aku aja yang beresin. Mil ambil serok sama sapu. Fai ambil piring pengganti”

Kak Nisa mengambil alih. Aku hanya mengangguk, kelima adikku memang belum bisa diandalkan. Bikin rusuh, bikin berisik, bikin kotor. Seperti itulah.

Setelah kerusuhan itu, tiba saatnya giliran untuk mandi. Umi menyuruh kami mandi, seperti menyuruh kucing mandi. Ganas.

“Mandii cepeeet katanya mau ke Widuri” Umi mengomando.

“Aku ketiga aja” Aku mem-booking antrian, tidak mau di awal dan juga tidak mau di akhir.

“Itu kalian bertiga gih mandi. Baru sampai mandi sono” Kak Nisa menyahut.

Sudahlah seberapa keras kau menyuruh butuh lima belas menit baru mereka melangkah. Setelah itu butuh lima belas menit lagi untuk antrian selanjutnya, dan alhasil tidak semuanya mandi, yeayy.

Mobil kami bukanlah mobil besar, hanya mobil avanza. Tapi, ajaibnya kami semua bisa masuk. Menekuk jok depan dan belakang, menggelar tikar di situ dan menekukkan kaki. Tadaaa dan muat! Untung perjalanannya hanya membutuhkan waktu lima belas menit.

Tidak menunggu waktu lama, ketika mobil berhenti dan langsung dibukakan pintu, lalu kami keluar satu per satu dari mobil. Kak Tholib membantu menurunkan semua barang. Kelima adikku sudah kabur menuju laut. Menunggu waktu berbuka adalah momen yang paling ditunggu. Menatap mentari yang mulai tenggelam adalah hal yang paling indah. Tapi, bersama keluarga adalah hal yang paling membuatku rindu.

Aku tersadar kalau itu hanya kenangan. Kenangan yang selalu membuatku rindu dengan keluargaku di kampung halaman. Jarak yang terlalu jauh tak bisa dengan seenak hati memutuskan untuk pulang. Biaya yang tak sedikit membuatku bertahan berada di negeri orang dan dengan cita-citalah yang masih membuatku bersabar.

Masih ada mimpi yang dititipkan padaku. Ramadan kali ini memberikan suasana yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Tapi, aku percaya inilah langkah awal untuk pertemuan yang lebih bermakna.

 

Oleh : Kuni Abida Kamila

Posting Komentar

0 Comments

Formulir Kontak