Lari

 


Oleh: Hilman Abdullah

“Ummi, aku mohon, Ummi, Ummi harus jalan duluan sama Adik. Hamza biar di sini dulu menahan tentara-tentara itu," pintaku penuh harap.

Ummi terdiam berkaca-kaca menatapku. Tas ransel berisi keperluan seaadanya terselempang di pundaknya. Tangan kiri menggenggam erat Dik Fatimah yang juga menatapku penuh harap.

Pandanganku beralih ke Thamer, adik laki-lakiku yang sedang mengintai pergerakan musuh dari lubang kecil di dinding rumah.

“Bagaimana perkembangan terbaru mereka Thamer?” Tanyaku cepat.

“Informasi dari handy talky, mereka sudah mencapai pintu masuk kota, Bang. Dari intaianku kepulan asap dari kejauhan juga sudah mulai tampak.”

Aku berhitung cepat dengan situasi. Berarti ummi dan adik-adikku tinggal memiliki kira-kira 15 menit waktu untuk menuju gerbang perbatasan.

“Thamer!” Panggilku.

“Siap, Bang!”

“Kamu pergi kawal Ummi dan Dik Fatimah menuju ke perbatasan. Aku biar tetap di sini bersembunyi dan menahan mereka sebisa mungkin. Semoga masih bisa memberi tambahan waktu barang 5 menit!”

“Siap, bang!” Jawab Thamer cepat. Tangannya langsung mengambil AK-47 di dinding sembari bergeser ke sebelah Ummi dan Dek Fatimah.

“Ummi berangkat dulu ya, Mi, relakan Hamza, Insyaallah kalau Allah mengizinkan, Hamza Akan menyusul Ummi dan Adik ke perbatasan." Pintaku terakhir kalinya penuh harap. 

Ummi hanya mengangguk berat. Segera kutatap Thamer memberikan kode untuk segera bergerak.

Thamer langsung berjalan cepat menuju pintu belakang disusul Ummi dan Fatimah. Ummi kulihat menangis dan mulutnya komat kamit tak henti berdoa. Kulepas mereka hingga hilang ditelan sela-sela bangunan kosong yang sudah ditinggal penghuninya.

“Ahh.. kau harus teguh Hamza! Kau diperintahkan Abi untuk menjaga ummi dan adik-adik sepenuh jiwa!” Pekikku dalam hati menguatkan diri.

Kalashnikov milikku kuraih kembali. 2 buah granat tangan kupasang di kantong rompi. Tinggal itu saja senjataku. Berikut ketapel batu yang selalu setia di kantong celana.

Aku segera pindah ke tempat Thamer mengintai tadi. Kalashnikov kuposisikan siap menembak. Aku mengintai lewat lubang kecil tadi sembari menunggu kabar dari handy talky kawan-kawan mujahidin seperjuangan.

Suasana sunyi. Hewan-hewan pun tak berani menampakkan diri. Kesendirian ini membuatku flashback dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya.

Keadaan kota tempatku tinggal saat itu, Dara'a, sekilas terlihat aman dan tenteram. Begitu juga dengan kota-kota lainnya, tidak ada peperangan dan keluargaku masih lengkap.

Tapi tahukah kau kawan, kota memang terlihat tenang-tenang saja. Kita bisa makan, dan tidur dengan aman. Tetapi sebenarnya penuh tekanan. Kami hanya aman dari segi 'kehewanannya' saja.

Jika ada di antara penduduk yang mengadakan kegiatan atau gerakan Islam, atau memiliki perbedaan pendapat, tangan besi pemerintah akan mencari siapa dia, dan bisa dipastikan keesokan harinya dia akan hilang entah ke mana.

Oleh sebab itulah, Abi dan kawan-kawannya sesama mujahid sembunyi-sembunyi merencanakan perlawanan. Tidak terima dengan pemerintah Syi'ah La'natullah yang selalu mengusik kehidupan kaum Muslimin.

Puncaknya, pada suatu malam Abi pamit kepada Ummi dan diriku.

“Ummi, Hamza, Abi pamit. Izinkan Abi berjuang meraih rida Allah Ta’ala dan memperjuangkan hak-hak kaum Muslimin. Dan kau Hamza, kau sudah besar, Abi titip Ummi dan Thamer. Jaga baik-baik. Insyaallah kita akan berjumpa kembali di Jannah-Nya”. 

Setelah mengatakan hal itu, Abi langsung mencium Ummi, aku, dan Thamer, seraya bergegas tanpa menoleh lagi sambil terisak. Saat itu umurku 10 tahun, dan Thamer masih 7 tahun. Fatimah masih dalam kandungan.

Keesokan harinya sebuah berita menyebar begitu cepat ke penjuru Syria. Hama, tempat tujuan Abi semalam, tergenang darah. Tentara-tentara Syi'ah La'natullah membantai kaum Muslimin di sana. Abi pun dikabarkan syahid.

Seketika, Ummi setelah mendengar kabar tersebut langsung bertakbir dan menangis sesenggukan. Setelah peristiwa itu kehidupan kaum Muslimin semakin sulit. Pembunuhan dan penculikan terjadi di mana-mana hingga saat ini.

“Hamza monitor. Hamza monitor..”. Terdengar suara dari handy talky.

“Masuk, ter-copy" Jawabku cepat. Pikiranku langsung fokus dengan keadaan.

“Hamza, berbahagialah engkau Hamza.. Ana Abdurrahman, pos persembunyian dekat gerbang." Terdengar suara tercekat di ujung sana.

“Iya ada apa, Wahai Abdurrahman?” Pikiranku berkecamuk memikirkan Ummi dan adik yang sedang melintasi perbatasan.

“Ummi dan adik-adik antum tewas oleh tentara-tentara Syi'ah La'natullah. Insyaallah syahid. Jannah menunggu mereka". Suara Abdurrahman tertahan-tahan oleh tangis.

“Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Innalillahi wa Innailaihi Raajiuun”. Pekikku terisak.

“Bagaimana bisa, Wahai Abdurrahman?” Tanyaku bingung. Karena tentara-tentara itu baru mau mendekati pertengahan kota.

“Sebenarnya keluarga antum sudah lolos pemeriksaan petugas-petugas boneka itu. Senjata Thamer pun sudah dititipkan di pos persembunyian kita sebelumnya. Akan tetapi ternyata dari bangunan-bangunan kejauhan sudah menunggu sniper-sniper Syi'ah La'natullah. Yang tidak kita ketahui kapan kemunculan mereka di sana. Begitu keluarga antum lolos pemeriksaan bersama salah satu keluarga rombongan terakhir lainnya, kau tau Hamza? Sniper-sniper itu “have for fun" menembaki mereka. Layaknya sasaran-sasaran latihan”.

 Suara Abdurrahman terhenti, berganti dengan tangis tak tertahankan. Aku hanya terdiam sendu.

Tiba-tiba dari kejauhan mulai terdengar desingan-desingan peluru dan nampak kepulan asap semakin mendekat. Menyadari hal itu aku segera meraih handy talky dan mengaktifkan saluran untuk seluruh pos-pos mujahid.

Ikhwati fillah rahimani wa rahimakumullah, sebagaimana antum ketahui  kota kita sudah terkepung. Tidak ada lagi kesempatan bagi kita untuk lari. Mari kita luruskan niat dan  teguhkan hati. Walaupun kita kalah dalam hal jumlah dan persenjataan, tapi ana tahu, antum adalah singa-singa Allah. Mari kita jemput salah satu dari dua kemenangan. Hidup Mulia atau mati syahid!, Jannah-Nya menunggu kita sekalian Insyaallah, ALLAHU AKBAR!!” Pekikku menutup pesan terakhir.

Dari sudut-sudut pos terdengar pekikan takbir saling menyambut bergema. Aku tersenyum memejamkan mata. Sore menjelang Magrib ini akan menjadi waktu terindah dalam hidupku.

Insyaallah. 


Tamat.


Sumber gambar : cnnindonesia.com



Posting Komentar

0 Comments

Formulir Kontak