Kartini yang Sesungguhnya



 


Oleh: Rif’an Ali Hafidz

Tanggal 21 April setiap tahunnya, ramai-ramai surat kabar, sosial media dan meja diskusi nasional kompak mengangkat dan merayakan tahun kelahiran seorang tokoh wanita Indonesia bahkan dijadikan momen kebangkitan wanita Indonesia. Tidak lain dan tidak bukan ialah Raden Adjeng Kartini (R. A. Kartini)

Seringkali penulis tanyakan pada beberapa orang yang ikut serta dalam hegemoni perayaan Hari Kartini tentang apa sumbangsing Kartini sehingga namanya diabadikan sebagai pahlawan dan dijadikan sebagai satu hari khusus pada perayaan hari-hari nasional. Kompak mereka menjawab karena ide, gagasan dan pemikirannya yang kala itu menerobos batas-batas kelaziman yang seorang perempuan Jawa dapatkan. Atau singkatnya Kartini adalah salah satu tokoh pahlawan emansipasi wanita.

Lalu ketika penulis mencoba untuk melanjutkan pertanyaan tentang apa sih yang dimaksud dengan emansipasi wanita? Beberapa dari mereka mengatakan bahwa itu adalah penyamarataan status wanita dengan laki-laki yang banyak diusung oleh para pemikir barat. Namun apakah makna dan esensi dari kata emansipasi itu sudah tepat? Lalu bagaimana sehingga tersematkan pada sosok Kartini?

Menurut Wikipedia, emansipasi wanita adalah proses pelepasan diri para wanita dari kedudukan sosial ekonomi yang rendah atau dari pengekangan hukum yang membatasi kemungkinan seorang wanita untuk berkembang dan maju di segala bidang dalam kehidupan masyarakat. Emansipasi wanita bertujuan menuntut persamaan hak kaum wanita terhadap hak kaum pria dan memberi wanita kesempatan bekerja, belajar, serta berkarya seimbang dengan kemampuannya seperti layaknya para pria. 

Gerakan emansipasi ini lahir berdasarkan anggapan dan fakta bahwa wanita hampir mengalami ketertinggalan di segala sektor kehidupan, mulai dari pendidikan dengan banyaknya wanita yang buta huruf, kemiskinan, serta ketidak mampuannya dalam berperan secara aktif di lingkungan publik, yang justru keberadaan mereka lebih menitik beratkan pada aspek profesionalitas di bidang tertentu.


Sejarah 

Raden Adjeng Kartini atau sesudah menikah dikenal dengan Raden Ayu Kartini sebagaimana dilansir oleh Wikipedia, adalah seorang tokoh Jawa dan pahlawan nasional Indonesia yang lahir di Jepara, Hindia Belanda pada 21 April 1879 dan meninggal di Rembang, Hindia Belanda pada 17 September 1904 di usia 25 tahun. Kartini muda dinilai sukses menjadi pelopor kebangkitan perempuan pribumi-nusantara hingga saat ini.

Hidup dan tumbuh di lingkungan Jawa yang kental, membuat Kartini harus patuh pada adat istiadat yang berlaku kala itu. Meski besar dan tumbuh di keluarga priyayi (bangsawan), Kartini mengungkapkan bahwa perempuan di kalangan bangsawan tetap sulit mendapatkan hak atas pendidikan tinggi. Sebab adat dan tradisi yang tidak membolehkan seorang perempuan yang sudah aqil baligh untuk keluar rumah, termasuk ke sekolah. Kartini pun merasa sangat terasingkan dan tak mempunyai banyak pilihan dalam hidupnya kala itu. 

Tepat di usia 12 tahun, Kartini terpaksa untuk tinggal dan terkurung di dalam rumahnya karena terikat oleh tradisi, di mana seorang perempuan dilarang untuk berkeliaran setelah usia 12 tahun karena sudah bisa dipingit.

Memilki kemahiran berbahasa Belanda, ia pun mulai mendalami bahasa Belanda secara otodidak dan saling berkirim surat kepada teman-teman korespondesinya yang berasal dari Belanda. Salah satunya ialah Rosa Abendanon, seorang wanita berkewarganegaraan Belanda yang sering kali mendukung ide, gagasan dan pemikiran Kartini.

Ide, gagasan dan pemikiran Kartini sendiri banyak dipengaruhi oleh tulisan-tulisan yang dimuat di surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh oleh Pieter Brooshooft. Juga beberapa majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup berat seperti majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie. Sehingga Kartini mulai menunjukan ketertarikannya pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Serta mulai timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi, karena ia melihat bahwa perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah.

Setelah kepergian Kartini pada tahun 1904. Jacques Abendanon, suami Rosa Abendanon berinisiatif untuk membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan Kartini pada teman-temannya di Eropa. Lantas buku itu diberi judul Door Duisternis tot Licht yang arti harfiahnya "Dari Kegelapan Menuju Cahaya," yang diterbitkan pada tahun 1911. Buku ini dicetak sebanyak lima kali, dan yang mana pada cetakan terakhir terdapat tambahan surat Kartini.

Sebagaimana dilansir oleh Wikipedia, pada tahun 1922 Balai Pustaka menerbitkannya dalam bahasa Melayu dengan judul yang diterjemahkan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran, yang merupakan terjemahan oleh Empat Saudara. Kemudian tahun 1938, keluarlah judul Habis Gelap Terbitlah Terang versi Armijn Pane sastrawan pujangga baru. Armijn membagi buku tersebut menjadi lima bab pembahasan yang bertujuan untuk menunjukkan perubahan cara berpikir Kartini sepanjang waktu korespondensinya. Versi ini sempat dicetak sebanyak sebelas kali yang mana surat-surat Kartini diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh Agnes L. Symmers. Selain itu, surat-surat Kartini juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Jawa dan Sunda.

Hal inilah yang nantinya mengubah pandangan masyarakat Belanda terhadap perempuan pribumi di Jawa, juga membawa perubahan besar sudut pandang kaum bangsawan dan pribumi, serta menjadi sumber inspirasi tokoh-tokoh kebangkitan nasional Indonesia lainnya. Sehingga akhirnya tersematkan pada diri Kartini sebagai pahlawan emansipasi wanita.

Emansipasi Masa Kini

Dewasa ini, kata emansipasi nampaknya telah mengalami pergeseran arti dan makna sebagaimana mestinya. Menyuarakan hak kebebasan seluruhnya dan memprotes habis-habisan segala bentuk ketidaksamaan perempuan dan laki-laki yang kini malah terjadi. Nampaknya kebanyakan wanita masih belum paham dan mengerti akan apa makna sebenarnya dari emansipasi itu sendiri. Dimana sekat-sekat perbedaan akan selalu ada dan tak mungkin bisa terganti.

Logika jernih kita pun akan berkata bahwa tidak mungkin perempuan dan laki-laki itu bisa disamaratakan mutlak pada setiap aspeknya. Perempuan tercipta dengan apa-apa yang tidak dimiliki yang mana itu dapat dilakukan oleh laki-laki dan begitu pula sebaliknya. Maka penyamarataan hak pada laki-laki dan perempuan secara keseluruhan adalah angan-angan semu yang tak mungkin pernah akan tercapai. 

Perubahan pola pikir adalah buah dari emansipasi yang dibanggakan, berdampak pada perubahan dasar hak dan kewajiban yang tidak pada tempatnya. Perempuan bekerja siang dan malam mencari nafkah sedang laki-laki berdiam diri dalam rumah mengurusi urusan rumah tangga. 

Menjamurnya bisnis jasa penitipan anak dan baby sitter pada lingkungan perkotaan merupakan dampak dari maraknya fenomena wanita karir yang merubah fungsi dan peran keluarga sebagai tempat belajar dan menumbuhkan kasih sayang orang tua pada anak. Sementara para suai bingung dan gelisah dengan istrinya yang tak bisa memasak dan lebih memilih menikmati hidangan di luar rumah, yang mana ini dapat menggeser fungsi dan peran dari adanya rumah itu sendiri. 

Faktanya, emansipasi yang Kartini perjuangkan adalah sebuah bentuk gerakan memajukan dan meningkatkan kualitas para wanita pribumi tanpa melupakan fitrahnya sebagai seorang perempuan. Hal ini terbukti dari perubahan pola pikir Kartini pada akhir hayatnya, di mana dia menurunkan idealismenya akan emansipasi dengan menerima pinangan dan menikah dengan seorang Bupati demi kebermanfaatan, dampak dan pengaruhnya yang lebih besar bagi sekitar. 

Emansipasi yang diupayakan oleh Kartini juga menyuarakan kesetaraan hak dan kewajiban dalam keluarga. Di mana perempuan tidak hanya berperan sebagai seorang ibu, tetapi sekaligus sebagai seorang pendidik generasi bangsa. Inilah emansipasi yang Kartini perjuangkan. Di mana hak perempuan dalam mendapatkan pendidikan tak hanya berhenti pada kasta dasar. Namun berlanjut pada kasta tertinggi dalam pendidikan dengan tidak melupakan kodratnya sebagai perempuan. 

Tidak hanya sukses untuk dirinya sendiri, tetapi juga sukses mendidik anak-anaknya. Jangan sampai kita punya banyak ilmu tetapi anak tidak, karena ini adalah kewajiban utama seorang perempuan sebagai ibu yang merupakan madrasah pertama untuk anak. Emansipasi dalam karir boleh, tapi jangan sampai lupa pada kewajiban di keluarga, serta jangan lupa untuk berbagi ilmu dan pengetahuan pada perempuan lainnya, karena ini adalah tolak ukur yang utama kesuksesan seorang perempuan. 


Posting Komentar

1 Comments

  1. MaasyaAllah, tabaarakarrahmaan.

    Maaf izin bertanya, penggunaan kata "menurunkan" dalam kalimat "di mana dia menurunkan idealismenya akan emansipasi dengan menikah dan dimadu oleh seorang Bupati demi kebermanfaatan" (paragraf ketiga sebelum terakhir). Bukan kah penggunaan kata ini cenderung mereduksi makna idealisme kartini?? Dimana tertulis pada kalimat selanjutanya, bahwa langkah yang beliau ambil ini—berpoligami—adalah untuk kebermanfaatan juga pengaruh yang lebih besar bagi sekitar.

    BalasHapus

Posting Komentar

Formulir Kontak