![]() |
Cermin
Aku menatap diriku sendiri dalam cermin.
Dia begitu lusuh, wajahnya kumal dibedaki polusi ibu kota. Rambutnya semrawut,
kering tak beraturan. Dari
tatapan matanya, dia terlihat begitu lelah. Lelah dengan semuanya. Aku pun mulai membungkuk di depan meja
cermin. Menangisi keadaan yang selalu tak adil, seakan tak pernah berpihak
sedikitpun padaku, entah mungkin karena aku yang begitu lelah, capek, dan
sebagainya. Aku merasa ada
yang mengusap-usap kepalaku. Usapannya begitu lembut hingga aku lupa akan tangisku, lalu kemudian ku terlelap di depan cermin.
Suara azan subuh mulai memasuki kamarku
tanpa izin, entah dari mana datangnya, ia selalu begitu, masuk ke dalam tanpa
mengetuk lalu membangunkanku. Sepertinya aku ketiduran di depan meja cerminku
lagi. Aku bergegas menuju kamar
mandi lalu mengambil wuhu kemudian
sembahyang. Aku sudah terbiasa
sendiri di rumah yang tidak terlalu besar ini. Orang tuaku keduanya sudah tiada, adik dan kakak juga aku tak punya.
Hari ini hari minggu, aku libur tidak
bekerja. Rasanya ingin bermalas-malasan saja seharian, tapi kenapa hari-hariku
begitu-begitu saja. Waktu benar-benar berlalu terburu-buru, saat bermalas-malasanku sudah selesai. Aku
yang seharian hanya scroll down laman media sosial mulai sadar, kalau
sekarang sudah lewat isya! “Sial!”, keluhku. “Besok udah harus bergelut dengan
rutinitas bodoh itu lagi! Sial! Sial!”
Aku menatap cermin lagi. Wajahku tetap
saja lusuh seperti tak terawat. Padahal hari ini aku tak pergi ke mana-mana.
Meski hari minggu, aku tetap mandi seperti biasa, tapi tetap saja lalat-lalat
betah beterbangan di sekitarku, memangnya aku bangkai? Aku masih hidup!
“Lalat-lalat sialan! Kalian ga bayar sewa di sini, pergi kalian!”,
hardikku. Argh, aku kesal sekali. Kenapa aku menjadi sekesal ini? Ku lihat lagi diriku di cermin, mengapa aku menitikkan
air mata? Mengapa aku menangis? Aku kenapa? Aku pun membungkuk, menangis di
depan cermin. Untuk kesekian kalinya, ada tangan yang mengusapku. Lembut sekali, semakin lama tangan itu
mengusap, semakin jadi juga tangisanku. Lalu aku pun terlelap kebali di depan cermin seperti halnya kemarin.
***
Memang semua ini mulai berubah menjadi
kacau sejak virus tolol itu menjangkiti bumi ini. Semuanya jadi serba susah.
Padahal sebelum pandemi hidup sudah melarat, sekarang? Malah jadi sekarat.
Untuk mereka yang sudah kaya dari zaman kakeknya mungkin tidak akan terlalu
pusing, tapi bagi kami yang sejak lahir sudah susah, harus dengan serapah apa
lagi yang kami sumpahi untuk hidup ini? Kantorku mengabari akan adanya PHK
massal dan pesangon yang kemungkinan akan dibayarkan agak terlambat. Ah! Kenapa
hidupku semakin tidak masuk akal? Tuhan, sebenarnya Engkau itu ada atau tidak?
Aku dapat informasi tersebut dari obrolan
teman kantorku pagi tadi. Suasana kantor saat itu menjadi begitu gaduh. Ada
yang tiba-tiba mengeluh pusing karena cicilan rumahnya belum selesai, cicilan
motornya tinggal beberapa bulan tapi takut mandeg kalau-kalau dipecat,
ada juga yang mengeluh nanti membeli susu anaknya pakai apa? Tapi, masih saja
ada manusia tolol bin bodoh yang tidak punya empati dan simpati yang dengan entengnya berucap, “kalian sih, ga
nyiapin planning financial, untung aku sudah menyiapkan.” Semua orang
pun langsung melototinya, tapi dia dengan wajah tanpa dosa berlalu begitu
saja, seperti tidak terjadi apa-apa.
Aku yakin, yang diucapkan di setiap benak orang saat itu adalah, doa dan
harapan bagi si tolol bin bodoh ini agar cuma dia saja yang dipecat. Tentu
saja, aku mengamini yang seperti itu.
Aku yang saat ini duduk di depan cermin
merenungi kejadian hari ini. “Besok pengumuman PHK.” Ucapku kepada bayangan di cermin. Kejadian ajaib
apalagi yang bakal terjadi esok hari? Kepongahan mana lagi yang akan
ditunjukkan oleh takdir kepada para makhluk lemah seperti aku ini? Atau sebenarnya takdir itu bisa disogok oleh
orang-orang kaya, sehingga dia hanya berpihak kepada mereka-mereka yang beruang
saja? “Nasib emang nasib, maaf-maaf saja kalau aku kerjanya cuma ngeluh dan
menyalahkan keadaan.” Lanjutku pada bayangan di cermin, lalu aku bergegas menuju kasur, malam ini aku tak mau tertidur di depan cermin itu lagi.
Matahari yang membangunkanku pagi ini.
Aneh, kenapa bukan azan subuh yang membangunkanku? Mungkin marbot masjid
lupa jadwal salat? Atau
memang telingaku yang tersumbat mimpi? Sudah pasti yang kedua. Hari ini adalah
hari pengumuman PHK dari kantor. Aku berharap nama si idiot itulah yang
satu-satunya di PHK. Sesampai di kantor, katanya surat pemutusan kerja akan
dikirimkan melalui email setiap pegawai kantor. Selalu menjadi
pertanyaan di benakku, apakah orang
itu akan dipecat atau tetap lanjut bekerja tetapi dengan beberapa catatan? Sampai pukul 10 pagi, belum ada email yang masuk,
“elu udah dapet emailnya?” Tanya salah seorang temanku. “Belum.” Jawabku
singkat.
Sampai menjelang sore pun kami masi belum
mendapatkan kepastian. Semua orang sudah mulai resah dan gelisah menunggu keputusan apa yang
akan mereka terima masing-masing.
Ada yang terbengong, ada yang menggaruk-garuk kepala dan ada yang bermain solitaire.
“Tring!” Suara handphone berdering.
Kemudian sejenak suasana sekitar menjadi
sangat senyap, disusul dering dari setiap handphone yang ada di ruangan ini. Semuanya saling
memandang satu sama lain. Cemas, penuh harap, tapi sudah terlanjur putus asa.
Terlihat ikhlas, tapi tetap berat menerima keadaan yang akan terjadi. “Argh!”
Teriak seseorang, kemudian dia menangis tersungkur memukul-mukul bumi.
“Anak-istriku bakal makan apa? Aku dipecat juga tak diberi pesangon. Aku sudah
lama padahal kerja di sini.” Teriaknya sedih. Lalu setiap orang mulai
memberanikan diri untuk melihat gawai mereka maaing-masing.
Si ibu yang kemarin mengeluhkan susu
anaknya, aku lihat ia terjatuh lemas. Sendi-sendinya seperti dicopoti. Aku bisa
menebak, pasti dia mendapat email yang tidak dia harapkan. Bapak yang kemarin
mengeluhkan cicilan rumahnya pun ikut lesu terduduk lemas di atas kursinya. Ia tertunduk memegang
kepalanya, mengusap-usap wajahnya, menarik nafas panjang, lalu menatap kosong.
Ia bernasib sama dengan si ibu tadi. Lalu aku pun membuka gawaiku sendiri. Yap, aku juga bernasib sama dengan orang-orang yang
aku ceritakan sebelumnya. Aku putus kerja tanpa diberi pesangon, kku pun bingung harus berekspresi seperti
apa.
“Asik! Aku masih bekerja di sini! Padahal
kalau dipecat pun aku masih
bisa bertahan empat bulan. Haha!” Teriak si idiot. Si Idiot ini berhasil
membuat seisi ruangan menjadi semakin emosional. “Anjing! Diam kau bangsat!”.
Teriak seseorang. “Suruh siapa kerja ga rapih, ga cekatan? Bos
tau kalo kerja gue bagus, makanya gue dipertahanin.” Balas si
Idiot, lalu dia pergi begitu saja. Semua orang di situ menenangkan superhero
yang berteriak tadi. “Sabar pak, sabar. Janga terlalu emosi, dia memang orangnya seperti itu.” Tentu aku
pun kesal, mengapa dia menjadi salah satu orang yang tidak dipecat? Aku menganga keheranan dan sorot mata setiap orang di kantor ini pun
seakan bertanya, “kenapa dia ga dipecat aja? Atau dipecat
sekalian oleh Tuhan dari hidup ini?” Aku tak habis pikir, ternyata dunia memang segila ini. Lalu
aku bergegas pulang, sumpah serapah,
caci makian, aku teriakkan
keras-keras dalam hati selama perjalanan pulang.
Sesampainya di kamar, aku membanting tubuhku ke atas kasur. Kemudian aku duduk merenung.
Sebenarnya apa yang dunia mau dari keadaanku seperti ini? Aku mulai menangis tanpa
sebab, karena aku tidak peduli kalaupun aku dipecat atau tidak dan aku sudah
tidak ambil pusing lagi dengan semua urusan kantor. Yang aku pusingkan adalah,
kenapa kejadian buruk selalu saja
menimpaku. Apa mereka tidak
lelah mendatangiku terus-menerus? Apa mereka tidak bosan menyapaku setiap waktu? Belum lagi kalau ingat si
idiot itu. Sepertinya roda kehidupan sudah berhenti, dunia sudah mulai
pilih-pilih, atau dunia itu sebenernya buta?
Aku sudah tidak mampu menahannya lagi, aku
depresi, aku menangis sesenggukan, tersedak rasa pahit kehidupan. Dadaku sakit, nafasku sempit, pikiranku
berlarian tak tahu arah. Aku tertelungkup di atas kasur menghadap cermin dan
berkata dalam hati, “Tuhan, jika Engkau memang ada, sudahi saja semua ini atau
sudahi saja hidupku. Tapi, jika Engkau hanya fiksi, lalu selama ini aku berharap
kepada siapa? Lalu setelah ini aku berdoa kepada siapa?”
Lalu, tangan lembut itu hadir lagi
mengusap kepalaku yang tertunduk. Aku penasaran, tangan siapakah itu? Apakah
ini nyata atau hanya halusinasiku? Aku pun terkaget saat melihat wujud
sebenarnya dari tangan tersebut. Wajah pemilik tangan tersebut tersenyum, itu
aku! Tapi aku tetap bertanya, “kamu siapa?” Dia tak menjawab dan hanya
tersenyum. “Kamu siapa?” Aku ulang pertanyaanku lagi. “Aku akan menjawab
pertanyaan lainnya, karena jawaban pertanyaan barusan sudah jelas aku adalah
kamu.”
“Sini!” Katanya sambil menunjukkan pangkuannya padaku. “Ayo, tidak usah malu-malu. Malam-malam
sebelumnya pun sama seperti ini kan. Kau terlelap di pangkuanku.” Aku pun
keheranan, masih bingung
antara nyata atau tidak. Lalu
aku pun melihat ke cermin dan bayanganku tak terpantul. Aku memandangnya, lalu dia hanya tersenyum. Kami saling diam dalam pandang, duduk berhadapan di atas kasur. Aku pun
tertunduk lagi. Lalu, ia maju dan memelukku yang tertunduk.
“Aku punya semua jawaban yang kau
tanyakan.” Katanya tanpa aku bertanya.
“Untuk saat ini, menangislah. Tidak apa-apa. Keluarkan semua
emosimu. Luapkan semua yang
ada dalam hatimu. Menangis
bukan berarti lemah. Kamu hebat, sudah bertahan sampai sejauh ini. Tapi,
setelah selesai nanti, simpan baik-baik tangismu, ya? Karena masih ada momen-momen
baik, masih ada momen-momen
bahagia yang perlu tangismu.” Katanya sambil mengusap-usap kepalaku.
“Dunia memang bodoh, dunia memang buta,
dia selalu seenaknya menindas kita, lalu menertawakan kita. Tapi, Tuhan
ciptakan dunia ini jauh dari
kata asal. Setiap sudut ceritanya telah Tuhan tulis sedemikian sempurnanya.
Nasib baik pasti akan datang, meski kita tidak tahu sampai kapan harus bersabar, aku percaya kamu
bisa dan kuat mempercayainya.” Lanjutnya lagi. “Ingatlah, meski hidup mu
begitu-begitu saja bahkan terpuruk, bukan berarti Tuhan sedang menganggur dan
tidak bekerja. Percayalah, selama kamu percaya dan selalu mengimani Nya, nasib
baik pasti Tuhan kirimkan di waktu yang tepat.” Katanya yang akhirnya
menenangkanku dan membuatku terlelap. Aku pun tertidur.
***
6 bulan lamanya sudah berlalu sejak kejadian
PHK massal di kantorku. Aku bekerja di tempat baru yang lebih
layak dengan lingkungan yang
tidak membosankan seperti sebelumnya. Aku belajar banyak hal setelah
malam itu. Berat memang, wajar manusia, selain harus belajar ikhlas, juga harus belajar menerima ketidak
pastian. Aku penasaran kabar sekarang tentang si ibu yang mengeluhkan susu
anaknya, terakhir aku berkabar dengannya, katanya suaminya mendapatkan proyek
yang cukup besar selama pandemi ini dan dia tidak perlu lagi bekerja.
Lalu kabar bapak yang pusing karena
cicilan rumah, sekarang ia sedang merintis usaha dan bisa menutupi cicilan
rumahnya. Aku senang, ternyata prasangkaku selama ini dan kebingunganku sebelumnya adalah salah. Tuhan benar
ada, lalu selama ini aku
pun berharap dan berdoa kepada
tempat yang tepat. Adapun kabar tentang si ‘orang sembrono’ yang waktu itu, aku
tidak tahu, yang aku tahu, kabarnya perusahaan tempat aku kerja sebelumnya
telah ditutup karena bangkrut dan tak bisa membayar gaji para pegawainya, tepat
5 bulan setelah kejadian PHK waktu itu.
Yah, dunia memang bodoh, ia memang buta, tapi benar,
ia diciptakan jauh dari kata asal-asalan, semuanya sudah tersusun rapi. Pasti akan
tiba waktunya kita mendapat balasan sesuai
dengan apa yang kita perbuat.
Memang indah jika bersabar, musibah
jika kau menjadi bar-bar. Sempurna.
Mari kita
bercermin lagi,
Faruq Al Quds
Khartoum, 15 Nov 2020
0 Comments
Posting Komentar