“Dan sungguh, telah Kami mudahkan Al-Qur’an untuk peringatan, maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran?” (QS. Al-Qamar : 17, 22, 32 dan 40). Tafsir dari ayat ini adalah, Kami jadikan Al-Qur’an itu mudah bacaan (lafaznya), dan Kami mudahkan pula pengertiannya bagi orang yang menginginkannya agar dia memberikan peringatan kepada manusia.
Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna ayat ini yaitu mudah
untuk dibaca. As-Saddi mengatakan, maknanya yaitu Kami mudahkan bacaannya bagi
semua lisan (bahasa). Ad-Dahhak telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa
seandainya Allah tidak memudahkan Al-Qur’an bagi lisan manusia, niscaya tiada
seorang makhluk pun yang mampu berbicara dengan kalam Allah. Intinya, Baarakallahu
fiina. Lalu, adakah orang yang mengambil pelajaran dan peringatan dari Al-Qur’an
ini yang telah dimudahkan untuk dihafal dan dipahami maknanya? Adakah orang
yang menimba ilmu darinya dan menjadikan Al-Qur’an sebagai penolong yang
membimbingnya?
Ketika seseorang
berniat belajar atau menuntut ilmu dan belum pernah belajar sebelumnya dari
sebuah ilmu, maka dipastikan dia dalam keadaan nol. Kosong tanpa ilmu. Yang
membedakan ialah proses belajar atau perjalanan untuk mulai bergerak menyeriusi
sebuah ilmu. Yang perlu digarisbawahi ialah ilmu itu harus dijemput, didatangi,
dijaga, diamalkan, kemudian
disebarkan. Jadi ilmu bukan perkara faktor kaya atau cukup, tampan atau cantik
serta faktor lainnya, namun sejatinya ilmu ialah faktor kesungguhan, kerja
keras, upaya maksimal dan diliputi dengan doa.
Allah Subhaanahu
wa Ta’aala berfirman, “Apakah
sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang-orang yang tidak
mengetahui?” (QS. Az-Zumar : 9). Salah satu penjelasan dari ayat ini ialah
apakah sama orang yang berilmu atau tidak? Apakah sama orang yang mengambil
pelajaran sehingga dia menjadi mengetahui ataukah sebaliknya? Landasan berpikir
seperti ini dahulu yang semestinya harus diubah sebagai paradigma (titik dasar)
atau mindset dari kebanyakan konsep berpikir yang keliru. Karena konsep
keliru itu sering terjadi bahwa yang bukan lulusan pondok, bukan lulusan agama,
serta banyak bukan yang lainnya, dalam artian orang umum tidak lebih baik dari
orang-orang pondok. Ini adalah sebuah titik fikir atau
keyakinan dari kepribadian yang memiliki mental blok atau menutup diri. Tenang
saja. Menuntut ilmu dalam ruang lingkup menghafal Al-Qur’an tidak butuh hal-hal
yang ribet, titel, pangkat, usia dan lainnya. Hanya butuh kesungguhan.
Sebenarnya hal apa
saja bagian terpenting ketika menghafal Al-Qur’an yang terkait keberhasilan
bukan milik sebagian golongan melainkan milik semua insan? Kita selalu
mengatakan istiqamah itu sulit, susah, menyerah. Akhirnya tertanam dibenak kita
bahwa istiqamah itu sulit, susah dan mau tidak mau menjadi menyerah. Seharusnya
istiqamah itu harus ditanamkan mudah. Agar mudah dilakukan termasuk menghafal
Al-Qur’an. Ketahuilah bahwa hal yang paling sulit itu bukan istiqamah, tetapi
tidak istiqamah. Berhasil istiqamah sepadan. Berhasil tidak istiqamah itu yang
nihil.
Ada beberapa hal
penting yang dilakukan selain istiqamah ketika ingin menghafal Al-Qur’an. Untuk
mencapai hasil yang maksimal maka yang pertama diseriusi ialah tahsin atau
perbaikan bacaan. Tidak masalah bila masih belum bagus. Terus dibarengi
perbaikan ilmu tahsinnya sembari tahfizhnya jalan bersamaan. Yang terpenting
tetap secure atau kokoh. Bukan insecure atau tidak kokoh bahkan
minder. Kemudian hal berikutnya ialah psikologis. Penghafal Al-Qur’an itu
kompleks dengan sifat baiknya. Apabila ada hal yang kurang baik dari penghafal
Al-Qur’an, maka kurang pula berkahnya. Sebab sejatinya seorang penghafal Al-Qur’an
bukan hanya menjaga hafalannya, namun juga menjaga akhlaknya.
Hal yang terpenting berikutnya ialah metode yang membantu. Banyak
dijumpai di manapun menghafal Al-Qur’an hanya jalan sendiri saja atau dengan
model coba-coba. Artinya tanpa metode teruji. Ini salah satu penghambat kelancaran
atau penghambat proses percepatan menghafal Al-Qur’an bila belum lancar atau
belum mutqin (dikuasai) dalam waktu yang terbilang cepat atau tepat
waktu. Hal pamungkas selanjutnya ialah SOP (Standar Operasional Pribadi). Dalam
hal ini banyak orang di luar pengawasan pondok, panitia atau penyelenggara yang
dalam artian orang-orang umum, mau tidak mau harus membuat peraturan kedisiplinan
sendiri. Tinggal mengatur waktu selama 24 jam. Mengurainya dalam waktu yang
tepat. Berapa jam untuk bekerja atau belajar. Berapa jam untuk ishoma,
tidur dan rangkaian rutinitas lainnya.
Seseorang dengan pengawasan pribadi harus bermental yakin dan percaya diri. Bukan bermental blok yang menutup diri dari kemungkinan-kemungkinan positif. Karena mereka sendiri yang mendongkrak kemajuan pada dirinya. Mereka pula yang menjatuhkannya. Sebab orang-orang yang kurang percaya pada dirinya sendiri, sesuai dengan kapasitas perkataannya dan semesta mengaminkannya selalu mengatakan, “Mana mungkin, apa bisa?, sudah tua!, susah murajaahnya!, daya ingat lemah!, mudah lupa!, bukan lulusan pondok!”, serta jutaan alasan lainnya yang mengubur hidup-hidup mimpi mereka menjadi seorang penghafal Al-Qur’an. Dalam dunia psikologi orang-orang tipe ini ialah mereka yang memperdayakan dirinya. Sementara orang-orang yang percaya pada dirinya sendiri, sesuai dengan kapasitas perkataannya dan tentunya semesta juga mengaminkan selalu mengatakan, “Biidznillahi Ta’aala pasti bisa. Insyaallah, Allah bantu atau Allah mudahkan.”
Inilah cerminan diri-diri orang yang memberdayakan. Mereka sesuai yang mereka fikirkan dan niatkan. Menghafal Al-Qur’an itu termasuk ibadah. Jangan karena merasa sulit, berat, lalu menyerah. Inti dari menghafal Al-Qur’an itu memperbanyak tilawah salah satunya. Semakin banyak tilawahnya, semakin mudah menghafal dan akrab dengan Al-Qur’an.
Syaikh Mahir Hasan Al-Munajjid Ad-Dimasyqi mengatakan, “Sebagaimana seseorang tidak akan memberikan rahasianya kepada orang yang baru dikenal, begitu juga dengan Al-Qur’an. Ia tidak akan memperlihatkan rahasianya kecuali kepada mereka yang sudah bersahabat lama dengannya. Rahasia Al-Qur’an tidak akan terputus dan keajaibannya tidak akan sirna.
Demikian yang tergambar dari proses menghafal Al-Qur’an. Berlaku bagi siapa saja. Proses menghafal Al-Qur’an memang benar-benar menuntut kebersamaan dan perhatian yang benar-benar banyak.
Resep suksesnya
kemudian ialah jangan terlalu memikirkan kapan kita dapat menghafalkan
Al-Qur’an dengan baik, namun fikirkanlah sampai kapan kita bisa terus bisa istiqamah
bersama Al-Qur’an dan apabila cita-cita kita, impian dan harapan menjadi
penghafal Al-Qur’an, maka harus berani memurajaahnya atau rutin mengulangnya
seumur hidup.
(Penulis: Ustadz Liandi Prasettyadi, Mahasiswa S1 Science& Technology University Mukalla, Yaman)
Mukalla,
Hadhramaut, Yaman.
Februari,
2021.
0 Comments
Posting Komentar