![]() |
Oleh M. Ismail
“Allahuakbar…Allahuakbar… Allahuakbar… Laaa Illahaa.. Illallaaahu… Allahuakbaar.. Allahuakbar.. Walillaahilhamd…” Gemuruh takbir, tahlil, dan tahmid bernaung seantero pesantren di malam Idulfitri tahun ini. Para ustaz dan santri siswa akhir berkumpul bersama di aula pertemuan untuk mendengarkan wejangan malam takbiran dari bapak pimpinan pondok. Pasti setiap sebelum perkumpulan diadakan, kami para anggota CID mengecek suara mik di panggung sebelum salat Isya agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan nantinya. Saat berjalan acara tidak semua anggota CID duduk di dalam aula seperti teman-teman yang lain, sebagian dari kami menjaga mixer[1] di samping jendela aula yang terbuka.
‘NNGGGGIIIINNGGG!’ suara menjekik tajam kuat seperti gesekan yang merobek gendang telinga berasal dari sound yang kami sebut feedback. Jika terdengar suara itu saat pertemuan, ratusan mata seketika akan langsung mamandang sinis ke arah jendela depan tempat teman-teman CID bersarang. Dan kami pun langsung merasa panik keteteran. Untungnya malam ini acaranya berjalan lancar tanpa ada satupun komentar buruk dari ustaz ataupun pimpinan pondok.
Kemeja putih dan celana hitam lekas ku lepas, ku gantungkan di pintu lemari, dan menggantinya dengan kaos santai juga celana training. Anam sudah berpesan saat kembali dari aula, malam ini kami akan membuat gerobak takbiran untuk besok pagi. Panji, Farhat, Furqon dan Husein juga sudah membawa 6 horn[2] toa, power amplifier, dan kabel-kabel putih yang amburadul terlilit menjadi gumpalan tak beraturan. Disusul Revo yang mengambil gerobak untuk besok pagi.
Aku cukup membantu merapikan kabel putihnya, meluruskanya agar mudah diambil dan dipotong menjadi ukuran yang diinginkan, yang lainya ada yang membongkar isi horn dan memperbaikinya, ada yang mencoba kabel ke amplifier, ada juga yang hanya duduk mengobrol santai di atas sofa. Tri tak jarang memberikan lelucon-lelucon lucu sembari bergaya menaiki sepeda ontel pinjaman dari bagian lain. Tenaga kami habis terkuras oleh tawa-tawa receh darinya. Sehingga tak kuat lagi kami menahan beratnya kelopak mata, aku pun terhampar lepas di ruang tamu dan terlelap seperti yang lainya. Sebagaian dari kami masih sibuk menyelesaikan pekerjaan sampai tengah malam.
“QUM! QUM! QUM![3]” Sesosok paruh baya dengan kacamata dan rambut ubannya yang tertupi pecinya, menyiram kami dengan air dari gayung. Aku tebangun seketika, tercengang Ustaz Abadi yang langsung membangunkan kami di ruang tamu. Beliau ustaz suyuh kok sampai turun tangan bagungin CID. Jangan-jangan ustaz pengasuhan dan qori dari kelas enam juga terlambat bangun. Benar saja, untuk pertama kalinya saat pagi Idulfitri, azan subuh terlambat lima menit dikumandangkan. Aku berjalan keluar bergegas ke masjid, terlihat siap gerobak takbiran dengan corong-corong pengeras suara terikat kuat di dalamnya, dan dua buah mik dengan kabel panjang tersedia di atas ampliefiernya.
Hari ini untuk pertama kalinya aku dan teman-teman siswa akhir pondok merayakan salat Idulfitri di pondok pesantren. Nafi beberapa hari yang lalu berhasil bernegosiasi dengan bagian koperasi untuk menyiapkan satu set baju untuk CID. Meski subuh tadi terasa janggal dibangunkan oleh ustaz suyuh, namun kami amat gembira menyambut hari raya dengan gerobak takbiran dan koko putih baru dengan kompak dikenakan kawan-kawan Qismul I’lam. Santri-santri kelas enam sudah siap rapi berkumpul di depan gedung Tunisia, bagian pengasuhan santri. Ratusan-ratusan manusia yang bermukim tahun ini di pondok berbaris lurus ke belakang untuk takbiran keliling kampung.
“Allahuakbar…Allahuakbar… Allahuakbar… Laaa Illahaa.. Illallaaahu… Allahuakbaar.. Allahuakbar.. Walillaahilhamd…” Semarak hari raya mewarnai perkampungan di sekitar pondok, para qori memegang mik dan ashabul CID [4] mengawali di sekitarnya. Ustaz Tio juga berjalan paling depan sebagai pembimbing angkatan kami. Sorak-sorak takbir mengitari sejuknya bumi pagi, sampailah satu putaran penuh mengelilingi kampung, dan berhenti kembali di depan masjid.
Salat Idulfitri dengan khusyu diimamkan bapak pimpinan pondok. Semangat menggebu-gebu keluar dari khutbah Pak kiai, diumurnya yang sudah berkepala tujuh tidak membuatnya lemah justru tetap bugar dan menjadi teladan para santri. Beliaulah contoh seorang pemimpin yang dincintai dan ditiru kami semua. Sembari mendengarkan khutbah, beberapa teman-teman pengurus masjid membagikan selembaran uang THR dari bapak pimpinan. Uang kertas itu menjadi hal yang sangat spesial bagi kami semua, bahkan sampai ada yang melaminatingnya ke tempat photocopy agar tahan lama sampai bertahun-tahun.
Selesai bapak pimpinan menyapaikan khutbah, dilanjutkan dengan salam-salaman santri, ustaz-ustaz, dan para bapak pimpinan. Hari itu penuh rasa maaf dan tak ada lagi salah menyalahkan. Lebih-lebih ustaz riayah tidak memperdulikan baju-baju kompak yang kami kenakan, yang biasanya dilarang dan akan disita. Selepas saling salam, kami mengadakan perfotoan bersama di depan masjid. Ratusan siswa akhir berdiri memenuhi anak tangga masjid. Sedangkan para ustaz dan bapak-bapak pimpinan berjejer di bawah dengan background memanjang dari triplek bertuliskan “Hari Raya Idulfitri.”
Tak selesai sampai di situ saja, kelas enam kembali kumpul di dalam masjid. Para ketua angkatan maju berdiri mengambil peran di depan; Khalifah, Qasmal, dan Alief. Ustaz Tio pun sudah memegang mik di tanganya. Hari peresmian lambang, warna, dan nama angkatan akhirnya tiba. Walaupun kemarin sempat menjadi perdebatan apakah namanya ‘Revival,'[5] ataukah ‘Survival’.[6] Awalnya nak-anak dominan berharap nama angkatanya Revival, karena terdengar keren, jarang disebut dimana-mana, dan kami pikir cocok. Ustaz Tio mengambil secarik kertas dan membacakanya.
“Bismillahirrahmanirrahim.. Assalamualaikumwarahmatullahi wabarakaatuh..”
“Walaikumsalam warahmatullahi wabarakaatuh.” Gemuruh suara kelas 6 menjawab.
“Hari ini ustaz akan membacakan nama angkatan alumni tahun 2017, nama ini pemberian dari Bapak Kiai harus disyukuri karena ada doa para kiai di dalamnya.
Ustaz Tio mulai membuka selembar kertas, memegangnya erat dengan kedua tanganya.
“Siswa angkatan 2017, SURVIVAL GENERATION!”
“WOOOOOOOH.” Riuh suara kagum menggelegar memanaskan suasana.
“Survival pee,” Aku berbisik tak menyangka akan itu namanya.
“Survival Generation, generasi yang hidup kekal dengan penuh perjuangan. Bahwasanya pondok yang hidup lebih dari 90 tahun, telah merasakan pahit manisnya perjuangan, menghadapi gesekan, benturan, dan menerima puja dan puji. Di era awal 90 tahun umur pondok. Akan tercetak generasi yang bisa bertahan hidup dengan segala pengorbanan, kuat serta tahan banting.
“Tegak, tegas tapi tidak ‘jamid’ atau ‘mabni’. Bangkit, hancur, jaya kita tetap hidup. Survival kita tetap hidup!” Tegas ustas Tio menyampaikan ugkapan pesan dari Bapak Pimpinan.
‘PROOK-PRROK-PROK’ semua siswa kelas enam bertepuk tangan terkagum-kagum.
“WEH! di masjid jangan tepuk tangan!” Tegur ustaz Tio.
“TAKBIR! ALLAHUAKBAR!” Qasmal sang ketua angkatan langsung tanggap membakar jiwa.
“AAALLLLLAAAHUUUAKKKBAR!”
“Oke, Sekarang juga kita akan menunjukan warna angkatan 2017, Survival Generation! Ayo masuk.”
Segerombolan orang memopong kotak di atas meja yang tertutupi kain putih dari samping kanan pintu masjid, dan menaruhnya tepat di depan Ustaz Tio.
“Kita buka bersama-sama, ayo hitung!”
‘WAAAHIID, ISNAAANIII. TSALATSAH’.
WUSSSH~ , kain putih dibuka dengan cepat dengan Ustaz Tio. Seketika anak-anak mengangkat tinggi alis mereka, tercengang. Mengapa warnanya ‘putih’?
“Yah, kok putih sih?”
“WAAAHH USTAZ”
“KEFA HADZA[7]?!”
Masjid ramai dengan sahutan-sahutan keluh kelas enam.
“Afwan al-akh, afwan.” Robongan susulan memotong barisan tengah membawa meja dan kotak kedua, dan kali ini kotaknya dilapisi kaca.
Sampai tepat benda itu di depan mimbar, ustaz Tio juga sambil tersenyum mulai mendekatinya.
“Afwan, yang tadi bercanda. Sekarang yang benar, kemeja angkatan alumni 2017.”
WUSSSHH~ Terpancar warna biru langit yang cerah. Seolah-olah memberikan warna harapan untuk pondok tahun ini. Senyum-senyum kami akhirnya bermekaran, warna yang diharapkan akhirnya terwujudkan.
Usai meresmikan warna, Ustaz Tio dan para ketua angkatan juga meresmikan lambang angkatan 2017. Hati-hati kami terasa diangkat tinggi oleh pondok, karena bukan hal yang mudah untuk bisa sampai disini. Ya, bisa bertahan untuk berjuang hingga kelas enam tidak semuanya bisa merasakanya. Banyak dari teman-temanku dulu yang harus gugur karena berbagai alasan sebelum merasakan lezatnya kebersamaan dalam satu lambang. Syukurku kepada Allah yang Maha Kuasa telah memberi kami kesempatan yang indah ini.
Bukan lebaran namanya kalau setelah salat id tidak menyantap lontong dan opor ayam. Antrian panjang berderet dari depan gedung Syria sampai ke perempatan Gedung Saudi. Ustaz-ustaz pembimbing juga asyik membagikan lauk dan piring sterofoam. Meski tak berjumpa keluarga lebaran kali ini, tak apa masih banyak teman-teman yang memawarnai hati. Beberapa bagian juga membuka ‘open house’ di kamarnya masing-masing, termasuk Qismul I’lam. Agilatul beberapa hari yang lalu dijenguk oleh pamannya, ia diberikan banyak kue-kue untuk lebaran maka makanannya lah yang jadi pajangan di ruang tamu kami. Karena makanannya ketahuan sebelum tamu-tamu datang, Alvis, Bunyan, Raka, Tri dan yang lainnya sudah mengetahui letak kuenya. Habis sudah sebagian besar makanan-makanan yang ingin disajikan sebelum kawan-kawan datang.
Rasa rindu orang tua memang begitu terasa, apalagi melihat teman-teman yang dijenguk di gedung penerimaan tamu. Adapun yang bertukar kabar dengan gawai di wartel pondok, sedangkan aku memilih mengurung diri di kamar lalu tidur, berharap hari-hari kosong ini cepat selesai dan para santri segera sampai di pondok. Beberapa anak-anak CID juga sibuk menjaga sound di stand-stand open house rumah bapak pimpinan, dan ada juga yang sibuk di gudang mengecek dan meperbaiki alat-alat. Bagaimanapun juga pondok terus bergerak, seperti apa yang bapak pimpinan kami pesanakan.
“Taharrak fainna fil harokah barokah.”
“Bergeraklah! Sesungguhnya dalam pergerakan ada keberkahan.”
[1] Alat untuk mengatur volume dan efek suara dalam beberapa sumber suara.
[2] Sound berbentuk corong yang terletak di atas masjid.
[3] Bangun-bangun-bangun
[4] Teman-teman
[5] Kebangkitan
[6] Terus bertahan dan hidup
[7] Gimana nih
(ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi)
0 Comments
Posting Komentar