Dalam bergaul dengan orang banyak tentunya kita selalu menjaga penampilan dan kesopanan. Termasuk menjaga kebersihan diri. Bagi orang yang menjaga kebersihan terkadang memandang orang-orang yang kebersihannya dianggap kurang dengan sebelah mata. Hal inilah yang menjadikan Syekh Abu Hamid Al-Ghazali sangat perlu untuk menjelaskan rahasia bersuci yang beliau tulis di kitab Ihya’ Ulumuddin.
Ada begitu banyak ayat Al-Qur’an dan Hadis yang menjadi dasar setiap orang Muslim melakukan kebersihan. Namun banyak orang yang belum mengetahui makna bersuci yang sebenarnya. Ketidak tahuan tersebut mengakibatkan banyak orang yang merasa paling bersih dan bahkan meremehkan orang yang dianggap kumuh. Lebih parah lagi jika mereka tak sudi bergaul dan makan bersama orang yang dianggap kumuh.
Jika kita mengkaji hadis Nabi Muhammad SAW yang berbunyi “kebersihan itu adalah setengah dari iman” tidak hanya memiliki makna berupa keharusan membersihkan badan dari kotoran dan najis saja, melainkan mengandung makna berupa keharusan membersihkan hati dari perbuatan-perbuatan dosa.
kebersihan yang dimaksud adalah kebersihan lahiriyah dan kebersihan bathiniyah. Keduanya harus dilakukan secara bersamaan. Tidak mungkin seorang Muslim melakukan kebersihan lahiriyah namun mengabaikan kebersihan bathiniyah, seperti pandangan para Ahli Bashirah (orang-orang yang jernih hati dan akalnya) yang menyadari bahwa maksud dari ayat-ayat dan hadis yang menjadi pedoman keharusan bersuci adakah menyucikan hati (bathiniyah).
Praktik yang dilakukan para sahabat pun tidak berlebihan dalam perkara kebersihan. Para sahabat sering berjalan di atas tanah tanpa alas kaki, biasa duduk di tanah, dan salat di tanah depan masjid tanpa sajadah. Bahkan Umar bin Khattab berkata “Di zaman Rasulullah kami tidak mengenal kain lap. Sapu tangan kami adalah telapak kaki kami. Setiap usai memakan makanan berminyak, kami mengusap tangan kami ke telapak kaki kami.” Ini artinya para sahabat mencurahkan seluruh perhatiannya terhadap kesucian batin.
Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin bahwa bersuci memiliki empat tingkatan, yaitu:
- Menyucikan jasmani dari segala hadas, noda, dan kotoran.
- Menyucikan anggota badan dari perbuatan jahat dan dosa.
- Menyucikan kalbu dari sifat-sifat tercela dan kehinaan yang dibenci.
- Menyucikan sirr (rahasia hati) dari sesuatu selain Allah. Tingkatan keempat ini merupakan kesucian yang dimiliki para nabi dan shiddiqin (orang-orang yang teguh membenarkan agama di tengah banyak orang yang mendustakannya).
Nah kesimpulannya adalah tidak dibenarkan jika kita melakukan kebersihan secara lahiriyah namun mengabaikan kebersihan yang paling utama, yaitu kebersihan bathiniyah. Takabur, berbangga diri, riya, menghina, dan lain sebagainya harus kita bersihkan dari hati kita sebagai bentuk kebersihan bathiniyyah. Maka dari itu seharusnya kita perlu memperhatikan kebersihan lahiriyah dan bathiniyah secara bersamaan.
Sumber: Ihya’ Ulumuddin karya Abu Hamid Al-Ghazali
Oleh Lukman Al Khakim
0 Comments
Posting Komentar