Oleh Suprianto
Apa itu feminisme? Feminisme adalah sebuah gerakan perempuan yang menuntut kesetaraan dan keadilan hak dengan laki-laki. Kata feminisme berasal dari bahasa latin Femina yang berarti perempuan. Feminisme terdiri dari dua kata, Femine (perempuan) dan Ism (paham).
Apa itu emansipasi? Emansipasi adalah hak yang sepatutnya diberikan kepada orang di mana hak tersebut sebelumnya dirampas atau diabaikan dari mereka. Seperti halnya refleksi emansipasi yang digagas oleh Raden Ajeng Kartini dalam memperjuangkan pendidikan bagi perempuan ataupun kaum pribumi yang mana pada saat itu dianggap sebagai sesuatu yang tabu dan sangat susah dicapai.
Feminisme dan emansipasi merupakan 2 hal yang berbeda. feminisme merupakan kesetaraan gender dengan ‘persamaan kodrat’ dari perempuan dan laki-laki atau keadilan hak dengan laki-laki. Sedangkan emansipasi merupakan pemberian seluruh hak dasar manusia (Human Right) kepada perempuan. Misalnya hak berbicara, hak hidup dan lain-lain. Tetapi, ‘perempuan harus tetap berada pada kodratnya’.
Gerakan feminisme dimulai sejak akhir abad ke-18 dan berkembang pesat sepanjang abad ke-20. Hal ini diikuti dengan penyuaraan persamaan hak politik bagi perempuan. Kritikan berupa produk akademik yang ditulis oleh filsuf Inggris Mary Wollstonecraft yang berjudul “A Vindication of the right of Woman (1792)” dianggap sebagai tulisan feminis awal yang mengkritik Revolusi Prancis di mana pada waktu itu hanya berlaku bagi kaum laki-laki saja. Di sisi lain buah karya Wollstonecraft ini dianggap sama sekali tidak menggunakan istilah feminisme, tetapi merupakan kesadaran tentang ketidakadilan yang menimpa perempuan. Biasa diterjemahkan sebagai gerakan perempuan (women’s movement). Karena sebagai sebuah istilah, feminisme justru baru muncul pada tahun 1808. Istilah itu digunakan filsuf Prancis Charles Fourier untuk menggambarkan sosialisme utopis. Kala sekat perempuan dan laki-laki hilang dalam relasi sosial.
Musuh terbesar feminisme adalah ‘budaya’ dan ‘patriarki’. Patriarki adalah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran sosial, politik, dan ekonomi.
Sering kita mendengar bahwa perempuan itu sifatnya keibuan, emosional, sangat subjektif, dan tidak suka logika. Sedangkan laki-laki sifatnya agresif, objektif, dan sangat suka logika. Ini merupakan perbedaan gender yang dipahami dan telah mengakar di dalam paradigma masyarakat. Klaim-klaim seperti itulah yang menjadikan perempuan dianggap kurang tepat kalau diberikan peran dalam berbagai macam aspek kehidupan. Dari hal kecil seperti ini budaya patriarki semakin terpupuk dan akan terus berkembang. Gerakan feminisme bukan hanya menuntut hak sosial, politik, dan ekonomi dalam masyarakat, tetapi juga menuntut dihilangkannya penindasan secara fisik seperti eksploitasi seks, pemerkosaan, atau pelecehan seksual.
Semua feminis berangkat dari kesadaran bahwa telah terjadinya diskriminasi terhadap perempuan dalam berbagai aspek kehidupan. Namun, alasan mereka terhadap situasi ini berbeda-beda berdasarkan persoalan dan perspektif masing-masing. Sehingga strategi untuk mengatasinya juga bermacam-macam.
Feminisme sendiri memiliki banyak aliran. Ada feminisme liberal, feminisme marxis, feminisme radikal, feminisme sosialis, feminisme kultural, feminisme pascastrukturalis, dan banyak lagi yang lainnya.
Jauh sebelum lahirnya gerakan feminisme, Islam telah menitikberatkan perhatiannya terhadap perempuan. Seperti yang diketahui dari lembaran-lembaran buku sejarah bahwa sebelum datangnya Islam perempuan dianggap sebagai makhluk yang tidak berharga, sekadar pemuas nafsu, dan tidak mempunyai hak bersuara atas kebijakan-kebijakan yang ada dalam masyarakat. Namun setelah datangnya Islam hak-hak perempuan dikembalikan sebagai manusia yang merdeka dan mengangkat derajatnya sebagai makhluk yang memilki kehormatan.
Sejarah telah mencatat dengan jelas bagaimana perempuan pada masa-masa Islam mendapat penghargaan terutama dari Nabi Muhammad SAW yang merupakan figur panutan bagi seluruh umat Islam. Perempuan telah memainkan peranan yang strategis pada masa awal perkembangan Islam dalam berbagai aspek. Itu terbukti melalui peranan perempuan yang telah berkontribusi membantu perjuangan Nabi Muhammad SAW. Seperti halnya Sayyidatuna Khadijah istri Nabi yang sangat setia dan telah memberikan harta kekayaannya demi kepentingan dakwah serta perjuangan Islam. Dan masih banyak lagi perempuan tangguh lainnya yang sengaja tidak disebutkan dalam tulisan ini.
Islam telah memberikan status yang mulia bagi perempuan sehingga tidak perlu merasa kurang berharga dengan harus membuktikan diri dalam kesetaraan dengan mengusung konsep persamaan gender dengan laki-laki, karena pada hakikatnya konsep keadilan hak dalam Islam adalah penempatan yang bijaksana di antara keduanya. Keadilan dan kebijaksanaan yang bagaimana? Dengan menempatkan perempuan dan laki-laki sesuai porsi dan kapasitasnya masing-masing. Perempuan dan laki-laki memiliki keunggulan serta kelemahannya masing-masing, sebab itu keduanya saling membutuhkan satu sama lain. Saling melengkapi. Tidak dengan mengetahui laki-laki diskusi atau belajar jauh di luar rumah hingga tengah malam karena adanya sebuah kepentingan dalam keilmuan, perempuan juga akan demikian. Itu lebih banyak mudharatnya bagi perempuan meskipun tujuannya baik. Kenapa? Apa? Bayangkan saja jika perempuan diskusi atau belajar sampai tengah malam tanpa adanya pengawasan, kemudian baru pulang ke rumah di tengah malam tersebut. Apa yang akan terjadi? Tidak menutup kemungkinan akan terjadi pelecehan seksual di tengah jalan. Begitu pun pergaulan bebas yang kemungkinan akan berujung dilecehkan. Lalu apa lagi yang akan terjadi setelahnya? Barulah mereka berkoar-koar menuntut bahwa ini pelecehan seksual, ‘my body is mine’. Di mana letak keadilannya? "Iya tahu, ‘your body is yours’, tapi ya tetap salah, siapa suruh diskusi atau belajar sampai tengah malam di luar rumah tanpa ada pengawasan. Harus diketahui bahwa pada setiap hal akan banyak kemungkinan-kemungkinan yang terjadi dan tidak menutup kemungkinan akan mengarah kepada merugikan diri sendiri. Dan yang harus digaris bawahi bahwa enggak semua laki-laki itu baik. Maka sebagai upaya pencegahan, seyogyanya di setiap tindakan harus ada rem dan pertimbangan yang matang sebelum memulai.” Hal inilah yang seharusnya dijadikan sandaran bagi para kaum feminis.
Victoria Arkhipenko dalam ‘Reconsidering The Conventional Private/Public Dichotomy: Examining The Arendtian Lens of The Social’ melihat contoh nyata dari feminisme radikal ditunjukkan oleh organisasi FEMEN. Organisasi feminis asal Ukraina yang menggugat struktur sosial dengan cara bertelanjang dada. Cara yang cukup ekstrem itu dilakukan FEMEN demi meruntuhkan budaya patriarki. Feminisme yang dicontohkan FEMEN adalah sebagai bentuk kebebasan mutlak. Hal itu dilakukan sebagai penegasan bahwa tubuh perempuan adalah milik perempuan itu sendiri.
“Yaa, itu kan feminisme radikal sedangkan aliran feminsme itu bermacam-macam.” Oke, selanjutnya akan dipaparkan feminisme garis non-radikal atau mungkin garis lucu.
Sering ditemui sebuah perkataan bahwa perempuan itu kalau enggak sumur, dapur, ya kasur, tidak lebih. Kalau dikritisi justru itu adalah pemahaman yang keliru. Seperti yang telah dijelaskan pada paragraf keenam dalam tulisan ini, bahwa feminisme menuntut hak sosial, politik, dan ekonomi dalam masyarakat. Perlu diketahui bahwa Al-Qur’an sendiri tidak melarang perempuan untuk bekerja, adapun anjuran untuk tinggal di rumah bertujuan untuk melindungi dan lebih kepada persoalan preventif (pencegahan). Al-Qur’an memberikan hak perempuan untuk bekerja, baik dalam arti beramal saleh maupun mencari nafkah untuk diri dan keluarga. Tapi dalam tanda kutip bagi yang sudah menikah harus atas seizin suami, serta sesuai dengan porsi dan batasannya dengan tidak meninggalkan kewajiban sebagai ibu rumah tangga. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an yang artinya:
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. (karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sungguh Allah maha mengetahui segala urusan.” (QS. An-Nisa': 32)
Salah satu ayat yang banyak digugat oleh kaum feminis adalah masalah kepemimpinan dalam rumah tangga sebagaimana yang tertulis dalam Al-Qur’an yang artinya:
“Kamu laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka perempuan yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkan di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. AN-Nisa': 34)
Mereka menolak jika ayat tersebut diartikan sebagai suatu keharusan bagi laki-laki sebagai pemimpin dalam rumah tangga. Menurut mereka, penempatan wanita sebagai yang terpimpin dalam rumah tangga adalah konsep budaya, bukan suatu hal yang kodrati. Intinya, meskipun suami sebagai pemimpin dalam rumah tangga, ya pastinya menyadari bahwa berumah tangga tidak seluruhnya pekerjaan rumah dibebankan kepada istri. Berumah tangga itu ya survive dan saling menguatkan.
Mereka juga mengatasnamakan Ahmad sebagai lulusan Timur-Tengah yang terpengaruh oleh gagasan cendekiawan asal Mesir, Muhammad Abduh. Mereka memaparkan bahwa Muhammad Abduh yang dikenal sebagai salah satu akademis feminis pertama yang mengadopsi konsep-konsep feminisme dalam fatwa-fatwanya, antara lain dengan mutlak melarang poligami dan menyatakan dukungannya terhadap pembagian waris antara perempuan dan laki-laki yang harus sama rata. Jelas ini bertolak belakang, tidak valid berdasarkan data dari hasil observasi teks mengenai Muhammad Abduh yang ketika itu menafsirkan ayat ke-3 surat An-Nisa menggunakan cara pandang Al-Qur’an dengan membatasi praktik poligami yang sebelumnya tidak dibatasi dalam masyarakat Arab Jahiliyah. Muhammad Abduh membantah bahwa pemilihan wawu dalam potongan ayat 'dua' dan 'tiga' dan 'empat' bukanlah untuk menjustifikasi bolehnya melipatgandakan jumlah yang sudah ada dalam ayat. Banyak yang mengklaim bahwa pemilihan wawu (dan) dibanding aw (atau) mengindikasikan bolehnya memiliki sembilan istri (wawu di sini dimaknai “dan, atau ditambahkan”, jadi 2+3+4=9). Muhammad Abduh membantah klaim tersebut dengan mengatakan bahwa kata-kata seperti ‘dua’ dan ‘tiga’ dan ‘empat’ merupakan kata yang ma’dul (perubahan kata). Kata ma’dul ini digunakan untuk meringkas sehingga menyasar kepada orang yang menginginkan bentuk jamak (plural) dari masing-masing mukhatab (yang diajak bicara). Muhammad Abduh juga menukil pendapat Al-Zamakhsari dalam tafsirnya Al-Kassyaf yang melakukan analisis leksikal dalam membedah makna-makna ayat Al-Qur’an. Sudah jelas dalam hal ini Muhammad Abduh hanya membatasi poligami tidak boleh lebih dari empat, bukan melarang poligami secara mutlak. Perlu digaris bawahi bahwa boleh-boleh saja berpoligami, namun syarat dan ketentuan berlaku. Di sisi lain sudah dijelaskan pula dalam Al-Qur’an surah An-Nisa ayat 11 mengenai pembagian waris yang tepat.
Dari penjabaran di atas dapat disimpulkan bahwa kaum feminisme berupaya mengubah cara pandang terhadap perempuan dengan menuntut kesamaan (equality) antara laki-laki dan perempuan. Dari cara berfikir kaum feminis ini maka akhir dari semuanya adalah untuk mengeluarkan ijtihad hukum yang tidak merujuk kepada pendapat ulama (Ijma’) atau dari hasil penetapan hukum syari’ah (Istinbath Al-Ahkam).
Dengan itu hukum yang akan dicapai ialah menghalalkan perkawinan beda agama, mengharamkan poligami, talak tidak hanya dijatuhkan oleh pihak laki-laki tetapi boleh juga dari pihak perempuan, pernikahan dapat dilakukan tanpa wali, serta bagian waris anak laki-laki dan perempuan disamaratakan. Jika ditelaah lebih dalam lagi maka akan lebih banyak ditemukan penyimpangan-penyimpangan nilai, baik itu norma sosial maupun agama yang berujung pada kemungkinan akan hancurnya sebuah peradaban umat manusia.
Inti dari artikel ini adalah betapa pentingnya pemahaman agama Islam yang lebih mendalam dengan mulai menanamkannya sedini mungkin.
Keterangan: Dalam pemahaman penulis (saya), tulisan ini sudah sejalan berdasarkan validitas data, kebenaran logika dan wahyu. Tetapi disarankan bagi para pembaca untuk mengkritisi tulisan ini. Dan alangkah lebih baiknya dengan membaca buku atau referensi dari berbagai sumber terkait feminisme sebagai tujuan menguji informasi yang telah disajikan dalam tulisan ini. Apakah sudah benar-benar sejalan berdasarkan validitas data, kebenaran logika dan wahyu? Semoga Bermanfaat.
Wallahu a’lam bishawab.
0 Comments
Posting Komentar