Cukuplah Nyawaku Saja


Oleh M. Ismail

Jika musim dingin telah tiba, maka kejahatan di daerah-daerah mulai merajalela. Pernyataan itu ternyata bukan hanya sekedar mitos semata. Tiga hari yang lalu baru saja terjadi pencurian di rumah Hadi, temanku. Peristiwanya tepat pukul dua dini hari saat segala pintu rumah dan gerbang sudah terkunci. Namun, ada satu celah di jendela belakang mengarah ke arah dapur yang terbuka karena memang sudah lama bolong besi-besinya. Dengan celah yang kecil itu, sepasang pencuri berkulit hitam legam berhasil masuk dan menyapu bersih setiap HP yang ada di sekitar rumah. Mereka hanya meninggalkan jejak sepasang sandal putih yang sudah kotor dan semua baru tersadar ketika terbangun jam empat pagi. Musibah itu cukup membekas di hatiku sebagai teman dekatnya dan membuatku yang tinggal di asrama kampus lebih berhati-hati.

“Anton! Jangan sibuk main HP terus,” tegas Jaka mempertingatiku dari belakang. “Iya-iya, santai aja sih,” kataku sambil memasukkan gawaiku ke dalam tas. ”Nanti kalau udah diambil aja HP-nya baru tau rasa ente!” Kata remaja berkulit coklat sawo dengan tinggi 165 cm itu sambil berjalan menghampiriku. Aku memang sering sekali menggunakan HP di manapun dan kapanpun, saat berjalan sambil memeriksa Instagram, sebelum tidur sibuk membaca Telegram, siang setelah pulang dari kampus menghabiskan waktu menonton YouTube. Dan lebih lagi hal yang pasti ku lakukan setelah menyelesaikan shalat untuk mengecek WhatsApp. Walaupun begitu juga, aku selalu menggunakan media sosial untuk hal yang bermanfaat seperti; mendengarkan kajian, berdiskusi dengan teman, dan menjalankan organisasi lintas benua.

Teman-teman dari organisasi mahasiswa seringkali memberi surat peringatan agar tidak berjalan sendirian di sekitar kota. Aku yang membacanya tidak terlalu menghiraukan itu, lagi pula aku sudah setahun lebih merantau jauh ke negeri ini, jadi tenang saja. Jika aku hitung kembali kasus-kasus yang terjadi dengan total jumlah mahasiswa yang ada, hanya 5-10% saja mahasiswa yang terkena musibah seperti itu. Dengan kecilnya persentasi kemungkinan terjadinya hal-hal yang buruk, untuk apa aku merisaukannya secara berlebihan.

“Ayo siapa yang mau makan-makan tempe bareng di rumah ane, sini ditunggu!” Hadi mengirim surel ke grup WhatsApp. Kabar itu terdengar menarik, apa lagi di negeri ini tidak mudah mendapatkan tempe seperti di daerah asalku. Jum'at siang itu pun aku tidak shalat di masjid kampus melainkan di masjid yang tak jauh dari rumah Hadi ataupun asrama. Khutbah panjang dan shalat Jum'at selesai sudah aku tunaikan, lalu aku pun segera keluar dari masjid. Tiba-tiba saat di luar masjid aku merasa lebih baik kembali ke asrama dari pada ke rumah Hadi karena teman-teman yang lain tidak ada satupun yang berangkat kesana.

Tanpa ditemani siapapun, aku berjalan sendiri menyusuri pinggiran jalan dengan membawa tas selempang berwarna biru. Di tengah-tengah perjalanan ada seseorang berkulit hitam berkepala botak memberhentikan motornya tak jauh di depanku. ‘Pok’ seuntai tangan menepuk pundak kananku dan aku pun spontan melirik ke belakang. Belum sempat kepalaku menoleh dengan sempurna, sepasang lengan hitam legam mencekik leher dan kepalaku dengan cepat. Aku mencoba memberontak dengan kedua tanganku, akan tetapi ada manusia berbaju merah dengan mata yang melotot seolah ingin keluar dari kelopaknya menahan kedua tanganku dengan satu cengkraman besar telapak tanganya. Jantungku berdenyut dengan sangat kencang, paru-paruku memompa nafas tanpa henti, dan muncrat keluar darah dari mulutku. Ketika itu hatiku hanya berharap kepada Allah, agar diberikan kesempatan untuk hidup. Biarkanlah mereka merampas barang-barang dan uangku, tapi jangan sampai mereka merebut nyawaku. Hanya dengan waktu lima menit saja mereka berhasil mendapatkan segalanya dariku dan kabur bertiga dengan temanya yang sudah siap dengan motornya.

Aku benar-benar takut dan trauma kala itu. Hatiku tidak bisa tenang terus dipenuhi rasa gelisah kehilangan semuanya termasuk data-data penting dalam HP-ku. Namun aku benar-benar bersyukur kepada Allah SWT karena masih memberikan kesempatan hidup untukku. Kakiku menompa raga dan jiwaku yang rapuh akibat kejadian itu, menyeret sandal hitamku kembali ke asrama.

Kamar Jaka menjadi tempat pertamaku mendarat di asrama. Dia yang mendengar kabar dariku segera menyebarkan berita dan himbauan ke mana-mana melalui pesan WhatsApp. Segelas air putih diberikan remaja berambut gondrong dengan kumis tipis dan jenggot berhamburan di sekitar dagunya. Aku meminumnya dengan perlahan sambil memikirkan berbagai hal dalam pikiranku. Hadi menelfon Jaka saat itu karena mengetahui HP-ku sudah tidak ada, dia menawarkan HP miliknya yang tak terpakai agar ku gunakan. Akan tetapi aku menolaknya karena aku juga memiliki HP cadangan walaupun dengan kamera yang rusak. Aku lebih banyak mengisi waktuku dengan diam dan berfikir merenungkan semua kesalahanku.

Aku sadar setelah berhari-hari mengisolasi diri di ranjangku dengan ditutupi kain biru. Bahwasanya mungkin kejadian ini adalah teguran dari Allah SWT kepadaku yang sering kali lalai akibat HP yang kugunakan selama ini. Lebih sering memikirkan dunia dari pada bersujud mengharap kepada-Nya. Aku merasa beruntung karena Allah masih mengingatkan ku dengan musibah, dan tidak meninggalkan ku dalam nikmat yang sementara. Teringat pesan almarhum kyai pondokku KH. Abdullah Syukri Zarkasyi, “Allah mboten Sare.” Allah tidak tidur dan selalu memperhatikan kita dengan apapun yang kita perbuat.

Posting Komentar

0 Comments

Formulir Kontak