Oleh April Setiawan*
Baru-baru ini kita dihebohkan
dengan tindakan yang dilakukan oleh pemuda yang beragama Islam asal Chechnya,
Abdoullakh Anzorov (18) yang memenggal kepala
Samuel Paty seorang guru yang dianggap melecehkan Nabi Muhammad SAW.[1] Tahun lalu juga ada aksi penembakan masal di
masjid New Zealand (15/03) yang
menewaskan 50 orang oleh Brenton Tarrant yang beragama Katolik.[2]
Dua aksi di atas adalah sebagian contoh
aksi yang kita kenal dengan sebutan radikalisme. Tindakannya dapat berupa:
kekerasan, tindakan teror, perombakan, dan sebagainya. Ada juga yang mengatakan
radikalisme adalah paham anti Pancasila dan berupaya mengubahnya menjadi sistem
khilafah, mudah menghukumi dan menghakimi kelompok lain yang tidak sepaham.[3]
Tindakan tersebut tidak bisa
dilekatkan pada agama. Sebagaimana ditegaskan oleh dosen antropologi
Universitas Khairan, Yanuardi Syukur dalam ib.times.id (29/10).
“Tindakan Anzorov yang beragama
Islam itu tidak bisa dilekatkan pada ajaran Nabi Muhammad SAW., sebagaimana
juga tindakan Brenton tidak bisa dilekatkan pada ajaran Kristus. Di sini sudah
terang bahwa tindakan teror, baik itu yang dilakukan Anvorov, Tarrant, sampai
9/11 itu tidak bisa dilekatkan pada agama karena agama mengajarkan rahmat bagi
semua orang, bukan kematian bagi semua orang.”
Radikalisme yang diambil dari kata
radikal juga bermakna positif, di antaranya: secara mendasar (sampai kepada
hal-hal yang prinsip), maju dalam berpikir atau bertindak. Radikal dalam
konteks beragama berarti benar-benar utuh
memahami agama sampai ke akar-akarnya, tidak setengah-setengah, tidak
asal comot-mencomot saja. Kalaulah itu radikal yang kita pahami dalam beragama,
maka tak mungkin ada tindakan-tindakan yang menyalahi syariat seperti
ekstremisme, sebab ekstremisme bukanlah ajaran Islam.
Memang penggunaan diksi radikalisme
menjadi perdebatan, ada yang setuju dengan diksi itu, dan ada juga yang tidak
setuju. Kepala BNPT, Suhardi Alius, pernah mengusulkan untuk mengubah diksi
radikalisme menjadi ‘violent exstremism’
atau kekerasan ekstremis.[4]
Sejalan dengan itu Dai Muda, Ustaz
Daniel Barkah, S.Sy. dalam webinar nasional yang diselenggarakan oleh PPI SUDAN
pada Jumat, 16 Oktober 2020 lalu juga mengungkapkan.
“Ekstremisme
adalah diksi yang pas untuk menggambarkan paham yang sangat keras tersebut,
bukan radikalisme. Padanan kata radikalisme untuk makna tersebut dalam Al-Quran
tidak kita temukan, tapi kalau sikap ekstremisme ada banyak ayat Quran dan Hadits
yang menjelaskannya. Sikap ekstremisme bukan dari agama mana pun, apalagi
Islam.”
Terlepas dari perbedaan penggunaan diksi tersebut yang terpenting adalah sejauh mana peran kita sebagai mahasiswa andil dalam mengatasi hal itu (radikalisme). Menjadi mahasiswa tentu punya tanggung jawab lebih dalam bermasyarakat. Kita sama-sama tahu Tri Dharma perguruan tinggi. Pertama, pendidikan dan pengajaran. Kedua, penelitian dan pengembangan. Ketiga, pengabdian kepada masyarakat. Tri Dharma itu salah satu tujuan yang harus dicapai oleh perguruan tinggi.[5]
Hemat saya di antara bentuk
pengabdian kita kepada masyarakat ialah ikut andil berperan dalam menuntaskan
persoalan-persoalan yang ada di tengah
kita. Masalah radikalisme misalnya yang tengah gencar-gencarnya saat ini. Kita
bisa berperan sesuai dengan kemampuan dan ranah kita masing-masing.
Mahasiswa Indonesia di Timur Tengah
(Timteng) yang tengah tafakuh fiddin (mendalami ilmu agama) tentu
memiliki peran lebih dalam berbagai persoalan agama, termasuk radikalisme yang
sering dilekatkan pada agama. Apa sajakah peran kita sebagai mahasiswa Timteng
dalam mengatasi propaganda radikalisme itu? Setidaknya ada empat hal yang bisa
kita lakukan dalam mengatasi propaganda radikalisme era millenial ini.
Sebagaimana telah dijelaskan oleh
Ustaz Daniel Barkah, S.Sy. via Zoom pada saat mengisi webinar nasional
yang di hadiri para pelajar Timteng, terutama mahasiswa di Sudan. Setidaknya
ada empat peran mahasiswa Timteng dalam mengatasi propaganda era millenial ini.
Pertama,
kesadaran sebagai WNI (Warga Negara Indonesia). Kedua, memberikan
edukasi. Ketiga, menjadi teladan. Keempat, menjadi solusi.
Kesadaran Sebagai WNI
Luar negeri (Timteng) hanya tempat
persinggahan untuk beberapa tahun saja dalam rangka menuntut ilmu dan memperluas
wawasan, serta relasi. Kendati demikian kita tetaplah WNI yang akan mengabdikan
diri ke tanah air kita Indonesia. Membawa amunisi-amunisi yang kita dapatkan
untuk kejayaan dan kemakmuran tanah air kita.
Kesadaran sebagai WNI ini akan
memperkuat jiwa nasionalisme dan patriotisme. Kita jaga tanah air ini
sebagaimana para pendahulu kita (tokoh agama) memperjuangkan NKRI dari kecaman
para penjajah dan “penghianat bangsa". Pembelaan yang kita lakukan agar
tanah air kita tetap aman dan agar kita tetap nyaman dalam beribadah ataupun
beraktivitas sosial keagamaan lainnya.
Mulailah dengan melihat keadaan
daerah kita. Sejauh mana mereka memahami dan mengamalkan ajaran Islam. Lihat
sejauh mana kepekaan mereka terhadap tokoh-tokoh agama. Lihat juga apa sajakah
ancamam-ancaman yang dapat dan atau mulai merusak kedamaian dan ketenteraman
dalam masyarakat. Ambillah satu dua langkah yang dapat kita lakukan, misalnya
dalam perkuliahan kita ambil disiplin ilmu yang sesuai dengan kebutuhan daerah
kita.
Mengedukasi
Penting sekali menjadi pencerah,
memberikan edukasi kepada masyarakat. Supaya masyarakat bisa mendapatkan
informasi yang benar dan bisa tercerahkan terutama masalah keagamaan, syariat
Islam. Mahasiswa Timteng selalu ditunggu-tunggu kehadirannya dalam tatanan
masyarakat, masih punya kepercayaan besar dalam masyarakat untuk menyampaikan
berbagai persoalan agama.
Kita berikan pemahaman-pemahaman
yang benar tentang syariat, yang mungkin selama ini belum sampai kepada mereka.
Kita khawatir yang mereka pahami adalah sebaliknya, paham yang tidak benar.
Jangan kalah dengan mereka yang
giat melakukan berbagai propaganda di media sosial. Mereka yang berani terjun
langsung di lapangan, berani korban harta dan tenaga untuk misi-misi yang tidak
benar.
Indonesia butuh manusia-manusia
yang kuat yang mau menginfakkan dirinya untuk agama Allah. Manusia yang mampu
mendidik generasi-generasi yang akan datang dengan dengan tulus ikhlas.
Mengedukasi masyarakat dengan sentuhan ruh keimanan yang kuat. Hemat saya mahasiswa
Timteng tentulah mampu melakukan hal ini.
Bisa mulai mengedukasi orang-orang
terdekat kita: keluarga, tetangga, teman, dan seterusnya. Untuk ruang lingkup
yang lebih besar, mengedukasi bisa lewat lembaga pemerintahan ataupun
nonpemerintahan, ormas-ormas, yayasan-yayasan, komunitas-komunitas, dan sebagainya.
Edukasi di era millenial ini bisa
dengan berbagai wasilah, misalnya mengirimkan pesan-pesan yang bermanfaat via
WhatsApp, tausiah singkat, diskusi virtual, sesuaikan saja dengan kemampuan
kita. Yang terpenting edukasi kita bisa sampai ke mereka dan mereka bisa
mengambil manfaatnya.
Menjadi Teladan
Tampil dengan akhlak terpuji dalam
keseharian. Menjadi teladan dalam berinteraksi atau bermuamalah dengan orang
lain. Santun dalam bertindak dan bijak dalam menyikapi perbedaan, saling
menghargai pendapat, dan lain-lain.
Keteladanan ini sangat berdampak
kepada orang lain. Orang bisa langsung melihat perbuatan kita, bukan hanya kalam
farigh (omong kosong) semata. Betapa banyak orang yang dapat hidayah hanya
dari perbuatan baik orang lain.
Lihat lagi kepribadian Rasulullah SAW.,
para sahabat, para tabi’in, dan imam-imam kita yang patut kita tauladani.
Insyaallah sejauh kita belajar dan tidak menutup diri, tentu kita akan lebih
bijak dan bisa memberikan teladan yang baik.
Menjadi Solusi
Kita berusaha untuk bisa memberikan
solusi. Hadir membawa obor, penerang setapak-setapak jalan yang masih redup.
Hadir menawarkan ide-ide,
gagasan-gagasan yang cemerlang untuk kejayaan dan kemakmuran tanah air kita
Indonesia.
Bukan malah merusak kedamaian dan
keharmonisan yang telah lama tumbuh kembang selama ini. Kita lihat beberapa fenomena
unik “hijrah kekinian” di antaranya: tambah seseorang belajar agama malah
tambah menjadikan sahabat-sahabat lama makin berjauhan, hubungan kekerabatan
makin renggang, bahkan suami isteri jadi bercerai, dan semisalnya. Bukan ini
goal (capaian) yang dimaksudkan dari hijrah yang sebenarnya.
Kita hadir sebagai solusi memang sangat menantang sekali, bisakah kita menghadirkan solusi? Tentu bisa. Kita mulai dari belajar dengan benar. Memperhatikan sanad keilmuan yang kita dapatkan. Pelajari juga fikih dakwah dalam penerapannya ke masyarakat, misalnya di Indonesia kita kenal Fikhu Dakwah karya M. Natsir yang sudah tak asing di telinga para aktivis dakwah kampus.
***
Demikian semoga bermanfaat. Dengan kesadaran sebagai WNI, memberikan edukasi, memberikan tauladan yang baik, dan berusaha memberi solusi. Semoga kita bisa andil dalam mengatasi masalah radikalisme ini.
*Mahasiswa Ma’had
Khartoum
[1] Yanuardi Syukur, Abdoullah Anzorov, Kenapa Jadi Radikal?, dalam ibtimes.id, dikutip pada 29 Oktober 2020.
[2] Wikipedia, Penembakan Masjid Christchurch, dalam id.m.wikipedia.org, dikutip pada 30 Oktober 2020.
[3] Akbar Ridwan, 3 Macam Radikalisme di Indonesia, dalam www.alinea.id, dikutip pada 25 oktober 2020.
[4] Tim Detikcom, Menyoal Ganti Diksi Radikalisme, dari Jokowi Hingga Sekjen PBB, dalam news.detik.com, dikutip pada 24 oktober 2020.
[5] Muhammad Ihsan, Tri Dharma Perguruan Tinggi, Mahasiswa Wajib Tahu Tentang Hal Ini, dalam unjkita.com, dikutip pada 18 oktober 2020.
0 Comments
Posting Komentar