Oleh Nailul Rohmatul Muwafaqoh
Namaku Rinai. Ah, aku rasa tidak penting untuk tahu aku dari mana. Aku hanya ingin bercerita, tentang pertemanan luar biasa, antara tiga orang anak manusia. Na, Ra, dan Al.
Mereka sebaya, berasal dari pondok pesantren yang sama. Na, gadis humble, kata orang-orang demikian, berasal dari Kota Gresik, dekat pesisir pantai perbatasan dengan Kota Lamongan. Ra, gadis paling bijaksana di antara mereka, rumahnya di Malang, kota pemilik julukan Kota Apel. Satu lagi, namanya Al, dia laki-laki, sosok bijaksana setelah Ra, pemilik suara emas yang mampu menyihir siapapun yang mendengar lantunan ngajinya, berasal dari Kota Sidoarjo, kota pemilik makanan khasnya, Lontong Kupang.
Entahlah, ini bisa disebut sebagai pertemanan atau tidak, karena kupikir hubungan mereka terlalu remeh kalau hanya disebut sebagai teman.
Baiklah, akan kuceritakan kisah hebat mereka.
Saat itu, di pondok pesantren dekat kaki Gunung Penanggungan, saat mentari masih malu-malu menyapa, saat pak satpam masih sibuk memoles motor kesayangannya, saat para santri berhamburan keluar dari tempat halaqoh-halaqohnya, saat ibu-ibu dari desa tetangga berderet, berjalan di pematang sawah, ingin menuju lahan-lahan mereka. Dua anak manusia, Ra dan Al, tengah sibuk menyiapkan barang-barang bawaannya. Sementara Na masih duduk di bangku taman, mengawini sepi, mengingat-ingat apa saja yang harus dibawa olehnya.
“Na, kamu gak siap-siap?” Suara teman Na memecah keheningan.
“Eh, aku harus bawa apa lagi ya?” Na setengah terkejut menjawab pertanyaan temannya.
“Udahlah, bawa yang sekiranya penting dan yang gak memberatkan, sini aku bantu.”
Siangnya, saat matahari bertengger santun di atas kepala, mereka bertiga siap-siap. Ah iya, aku belum bilang ya, mereka akan bersiap untuk melanjutkan pendidikan di negeri seberang, Negeri Seribu Darwisy, julukannya.
Mereka berpamitan, menyapa teman, tetangga, menyalimi guru-guru yang mengajar di sana. Pesan dan nasihat tidak lelah mereka dengar, beriring tangis dan pelukan hangat.
Mereka menuju Stasiun Gubeng, Surabaya, bertolak ke Jakarta, karena mereka mulai berangkat dari Jakarta bersama rombongan lainnya yang sudah membuat janji di sana.
Ah, aku rasa pengalaman paling membekas mereka ada di sana, saat di stasiun, perjalanan menuju Jakarta.
Saat itu, mereka bersama keluarga yang mengantar tiba di stasiun setengah jam sebelum kereta berangkat, tapi ya seperti biasa, sebelum ada perpisahan sementara, pasti ada sesi foto-foto dan pelukan hangat bersama keluarga, pelukan yang sengaja membuat bekas yang sampai saat ini masih tersisa.
“Teng teng teng teng... Perhatian-perhatian, kereta api jurusan Pasar Senen, Jakarta, akan segera berangkat, dimohon untuk seluruh penumpang bersiap diri dan menempatkan diri pada posisi yang nyaman. Terima kasih.” Suara merdu mbak-mbak menggema lembut di langit-langit stasiun.
Mereka bertiga saling bersitatap.
Salah satu menyeru, “Hei, kita belum check in.”
Tanpa diberi aba-aba mereka langsung berlari, sesi berpelukan dan foto-foto pun otomatis terhenti.
Mereka berlari, sempoyongan membawa barang bawaan mereka, Ra membawa dua koper, Na membawa 2 koper, dan Al, dia membawa satu koper dan satu tas tenteng besar. Saat itu mereka tidak membawa barang milik masing-masing, mereka saling membantu, asal-asalan ambil tas, berlari mengejar kereta yang sudah hampir mau berangkat.
“Eh eh.. aduh gimana, nih?”
Koper yang dibawa Ra terbalik, sangat berat.
“TUUUUUUTT.”
Bunyi peluit masinis melenguh panjang, Na menyapu penglihatan, reflek berteriak sambil menjulurkan tangan, “Eh, sebentar, pak, tunggu..”
Tanpa basa-basi Na membalik badan, membantu Ra, satpam yang berjaga pun sigap membantu. Jangan tanya di mana Al, dia sudah lebih dulu naik kereta, kerepotan mengangkat tas tenteng besar, jadi dia memutuskan berjalan duluan.
Mereka berhasil masuk saat kereta mulai berjalan lambat, Al dari tadi berdiri takzim menunggu Ra dan Na, membantu mengangkat barang di perbatasan gerbong kereta.
“3A, 3B, 3C.. Eh, Na, kamu duduk sama aku.” Suara Ra mengejutkan.
“Oke siap, aku duduk dekat jendela ya, haha.” Na menyahut.
“Al, kamu duduk di mana?” Na bertanya.
“Ini, di sini.” Yang ditanya sudah lebih dulu duduk di bangku 3F, bersandar dengan melipat tangan di depan dada, menjulurkan kaki di kursi depannya yang belum bertuan, lagaknya sudah macam bos besar.
Ra dan Na menjatuhkan tubuh di kursi yang tak seberapa empuk, menghitung jam. Gorden jendela kereta dibuka lebar-lebar, pemandangannya berhasil memanjakan penglihatan, hamparan sawah dan kerbau-kerbau yang tengah sibuk bekerja bersama tuannya.
“Eh.. eh.. lihat yang di depan kita, Ra.” Na menyenggol Ra, memberi isyarat agar cepat-cepat mengikuti perkataannya.
Ra dan Na saling bersitatap, kemudian tertawa, Ra tahu maksud Na.
Seorang lelaki paruh baya berbaju biru kotak-kotak tertidur sambil ngowo, kebiasaan Na memang, suka menertawakan sesuatu yang dianggap lucu olehnya walaupun itu di tempat umum sekalipun.
Al menutup mata, sambil memasang headset di telinganya, sesekali mengunyah jajan yang dibawa Ra, sepertinya dia lebih memilih mengistirahatkan diri setelah mengangkat barang bawaan sambil berlarian mengejar kereta. Hari esok masih harus bekerja, anggapnya.
Malam hari, saat awan memutuskan bergumul membentuk temaram membalut rembulan, sekitar jam 11.00 WIB mereka tiba di Stasiun Pasar Senen, Jakarta. Stasiun Pasar Senen memiliki banyak anak tangga karena letaknya di dasar, mereka harus mengangkat barangnya. Ra dan Na saling tatap kebingungan, seakan memberi isyarat, ‘Bagaimana caranya ngangkat barang ke atas?’
“Sini aku saja yang bawa, kalian bagi tugas, satu menjaga barang di bawah sebelum kuangkat, satu menunggu di atas menjaga barang yang sudah kuangkat.” Al tiba-tiba berkata, seakan tahu maksud tatapan Na dan Ra barusan.
***
Al menghela nafas panjang, kelelahan setelah mengangkat koper dan barang bawaan naik turun tangga. Na berbisik, ‘Ra, Al baik banget, ya.’ Ra hanya menatap Al, seakan memberi apresiasi, berterima kasih.
Di sana mereka disambut ayah Ra, kebetulan ayah Ra bekerja di Jakarta. Mereka menuju hotel, mengistirahatkan diri, take off masih besok sore.
***
Di Negeri Seribu Darwisy, Sudan. Saat itu pukul 2 siang, mereka sampai di Bandara Khartoum, dan lagi-lagi Al yang bekerja, mencari bagasi, mengangkat barang, mencarikan trolley. Ah, dia baik sekali, padahal belum lama Al mengenal Ra dan Na.
Hidup di negeri orang, mereka saling membantu, memberi semangat, tak henti-hentinya saling mengingatkan. Sungguh, hubungan mereka sangat terlalu remeh kalau hanya disebut sebagai teman.
Suatu hari, ketika Ra berada di puncak ketenaran, anggap saja begitu. Jutaan pasang mata melirik Ra, menunjuk Ra untuk mengisi kajian-kajian dan pelatihan-pelatihan.
“Masyaallah, Barakallah, Ra, semangat, ya.” Pesan dari Al tiba-tiba masuk di grup WA mereka.
Na tersenyum, ikut mengetik pesan, memberi selamat pada Ra.
“Terima kasih. Minta nasihatnya dari kalian.” Ra mengirim pesan.
“Ya Allah ini semua ujian, aku butuh nasihat dari kalian.” Ra melanjutkan pembicaraan.
“Ingat, Ra, ujian gak melulu tentang kesusahan dan kesulitan, ujian juga bisa berupa tentang kenikmatan, Allah ingin mendapatimu kamu termasuk hamba yang bersyukur atau tidak.” Al memberi nasihat.
Tanpa sadar Na menitikkan air mata. Baginya teman-temannya sungguh luar biasa, nasihatnya tidak akan berhenti untuk selalu menghujani.
“Saat ini Allah mengujimu, Ra, karena Dia tahu hanya kamu yang mampu menjalaninya. Kamu juga harus selalu ingat, Ra, semuanya itu dari Allah. Semua kehebatan dan kelebihan sempurna dari Allah, usahamu hanya akan seperti debu tertiup angin kalau bukan Dia yang memudahkannya. Maka dari itu, Ra, jangan kau berhenti untuk selalu bersyukur dan jangan lupa untuk selalu berlindung kepada-Nya, agar Dia melindungimu dari sifat-sifat yang membuat-Nya murka.”
“Na, Ra, kita ini teman, tak peduli seberapa lama kita mulai mengenal, bilang saja kalau memang ada yang diperlukan. Aku pun sama, masih sangat memerlukan nasehat, jangan lelah untuk saling menasihati, dan jangan lelah berbuat kebaikan, taburkan dia di mana pun, berikan yang terbaik karena yang terbaik akan kembali kepada kalian.”
“Na, Ra, kita di sini untuk belajar, jangan lupa untuk selalu perbaiki niat.” Al menutup nasehatnya.
“Masyaallah, Jazakallah khair, ya, Al. Iya, ini semua ujian, doakan aku, ya, agar aku mampu menjalaninya. Kalian jangan bosen buat saling menasihati. Aku sangat bersyukur banget punya kalian, terima kasih udah mau nerima aku yang masih banyak banget kurangnya.” Ra membalas pesan Al.
“Semangat terus ya, Na, Al, gantung mimpi kalian setinggi langit agar ketika jatuh masih berada di bintang-bintang, selalu langitkan doa kepada-Nya.” Ra melanjutkan balasan.
Na hanya menyimak, sesekali mengusap air mata.
Ra juga demikian, dia menangis membaca nasihat Al barusan. Seringkali dia mengirim pesan pada mereka berdua, berterima kasih karena sudah dipertemukan oleh Allah.
Begitulah secuil cerita mereka. Kisah hebat pertemanan tiga anak manusia. Ah, itu bukan pertemanan, itu lebih dari pertemanan.
Sampai sekarang mereka masi berada di Sudan, merajut usaha menyempurnakan harapan. Impian mereka sangat luas, bak samudera yang menjadi sekat antar benua di lautan lepas.
0 Comments
Posting Komentar