Oleh Fransiska Rivana Devi
Namaku Aqilla Humairah, biasanya kebanyakan orang menyapaku dengan nama Aira. Aku adalah gadis hujan, bagiku hujan selalu memiliki cara menyembunyikan setiap air mata pada setiap orang. Saat ini aku duduk di bangku Sekolah Menengah Akhir dan mengambil jurusan IPA. Jika berbicara tentang jurusan, maka hari itu aku sangat dilema. Sebab hatiku sebenarnya ingin sekali mengambil jurusan IPS, hanya saja setelah melewati berbagai pertimbangan akhirnya aku lebih memilih IPA. Dua tahun mengambil jurusan ini, rupanya tidak semudah yang dipikirkan, meskipun banyak orang-orang yang beranggapan bahwasanya anak IPA itu pintar. Kemana pun aku pergi orang-orang selalu mengatakan hal tersebut. Namun kenyataan justru berbanding terbalik denganku. Bisa dikatakan aku bukanlah anak sepintar yang orang-orang katakan. Bisa dikategorikan aku sebagai anak yang biasa-biasa saja.
Entah mengapa, sedari duduk di bangku sekolah dasar aku selalu beranggapan bahwasanya mendapat peringat ataupun juara adalah bonus. Sekolah bagiku bukan hanya tentang nilai di atas kertas putih, namun lebih dari itu. Sekolah menurutku sebenarnya melatih pribadi seseorang tentang bagaimana melatih sejak dini sikap jujur, bertanggungjawab, menemukan teman dan menemukan jati diri. Bukan aku tak peduli nilai, hanya saja aku tidak terlampau memprioritaskannya. Namun bukan berarti pasrah begitu saja. Aku juga masih tetap belajar hingga akhirnya nilaiku setiap semester selalu naik. Jika pada saat pembagian raport sudah biasa bagiku menerima omelan bunda yang selalu berbicara mengenai nilai.
"Aira, kalau nilai kamu begini terus, gimana kamu bisa masuk universitas negeri?" ucap Bunda.
"Bunda tenang aja, Aira bakalan masuk perguruan tinggi nanti," balasku santai.
"Bagimana bisa kamu bicara seperti itu, coba lihat nilaimu ini," kata Bunda dengan kesal.
"Nilai Aira nggak jelek-jelek banget kok, Bunda, justru nilai Aira setiap semester naik. Jadi Bunda tenang aja, Aira pasti bisa masuk Universitas Negeri, malah Aira bisa pastikan kalau Aira akan jadi mahasiswi undangan," ucapku penuh keyakinan.
"Mana bisa, Aira, kalau nilaimu begini terus."
"Bisa, Bunda, Bismillah. Insyaallah Aira pasti masuk universitas negeri," ucapku terus meyakinkan Bunda.
Akhirnya Bunda pun luluh dan tak membahas lagi perihal nilai-nilaiku. Wali kelasku juga sebenarnya sudah mengatakan perihal nilaiku yang terus meningkat meskipun tak mendapat juara, namun aku mengerti perasaan Bunda. Tapi aku akan bertekad terus belajar hingga akhirnya dapat masuk universitas negeri seperti yang diinginkan Bunda. Hari berlalu begitu cepat. Setelah kurang lebih dua minggu libur semester akhirnya kembali lagi dengan rutinitas baru dan harapan-harapan baru tentunya. Semester ini akan menjadi semester terpadat sebab akan ada jam tambahan untuk les menjelang ujian nasional. Namun, di sini juga aku harus berpisah dengan Bunda. Sebab ia harus dirawat di rumah sakit. Hari-hari kujalani tanpa Bunda. Teringat saat semester lalu aku kerap meminta Bunda untuk membawakanku dua kotak bekal ketika aku mulai les. Kini jangankan dua buah kotak bekal ditanganku, satu kotak bekal pun tak ada kugenggam. Hanya mengandalkan kantin Pak Mamat untuk mengganjal perutku sampai jam les habis.
Hampir setiap hari aku selalu bangun tidur tanpa ada suara Bunda dan Ayah. Sebab Ayah merawat Bunda yang saat itu dirujuk ke luar kota. Rasa rindu kerap kali menghampiri ditengah kesepian, tak ada gurauan, tak ada suara Bunda yang selalu memenuhi sudut ruangan karena mengomeliku. Dan begitulah hari-hariku selanjutnya hingga akhirnya seluruh siswa mendapatkan informasi bahwa ujian nasional akan dipercepat. Malam harinya aku pun menelepon Bunda, entah ada dorongan apa aku meminta restu padanya. Padahal ujian nasional masih ada sekitar empat bulan lagi. Bunda pun memberikan doa restunya padaku. Hingga sebulan setelah aku meminta doa restu. Pukul 03.00 dini hari ponselku bergetar. Aku pun meraba-raba nakas dan menekan tombol tanpa menerima. Kudengar suara Ayah, memintaku untuk bersiap-siap sebab Ayah akan menjemputku. Aku pun segera bangkit dari tidurku dan menyiapkan beberapa pakaian yang akan kubawa. Pukul 06.00 Ayah sudah di depan rumah, ternyata tidak hanya aku melainkan sudah ada Mbak Sarah, Mbok Darmi, dan Mbak Diana yang turut ikut bersamaku dan Ayah.
Tidak ada sedikit pun rasa curiga dalam diriku. Kupikir mereka memang hanya ingin melihat keadaan Bunda. Nyatanya hal tersebut salah. Aku dibawa langsung menuju rumah Eyang. Hingga akhirnya suatu kenyataan pahit kuterima hari itu, aku hanya dapat melihat Bunda sudah terbujur kaku. Luruh sudah harapku, tak tahu harus berkata apa selain mengeluarkan bulir-bulir cairan bening dari pelupuk mataku. Setelah Bunda dikebumikan, aku masih terdiam, memori tentang kebersamaan Bunda masih terus berputar dalam kepalaku. Banyak orang yang menghampiriku dan berusaha menenangkanku. Aku masih merasa bahwa ini adalah mimpi dan aku ingin segera terbangun. Aku tidak suka lelucon seperti ini, namun nyatanya ini nyata, bukan rekayasa. Bisa dikatakan bahwa aku bukanlah anak yang terlalu dekat dengan Bunda. Kerap kali jika sudah berdua dengan bunda selalu saja ada cek-cok diantara kami berdua perihal hal-hal kecil. Pikiranku melintas tentang beberapa pesan Bunda dulu. Aku tidak pernah menyangka jika Bunda akan begitu cepat meninggalkanku. Bunda selalu saja berkata aku harus mandiri, seperti saat itu.
“Ra, kamu itu nggak boleh manja terus," ucap bunda.
“Emang kenapa, Bun? Aira manjanya kan sama Bunda," ucapku sembari memeluk bunda.
"Eh, nggak boleh terus-terus manja gini. Suatu saat kamu akan tinggal dengan orang. Mulai sekarang kamu harus tahu kerjaan seorang wanita itu apa saja, harus mulai belajar masak. Oh iya, Bunda juga ingat, kamu itu kan perempuan jadi kalau kerja itu yang halus jangan suara piring gelas bunyi semua, malu, Ra," ucap Bunda berusaha menjelaskan.
"Siapa yang mau tinggal sama orang lain, sampai kapan pun Aira bakal tetap tinggal bareng Bunda!" ucapku tegas.
"Nggak boleh ngomong gitu kamu."
"Tapi, Bun," ucapku memelas pada Bunda.
"Tidak ada tapi-tapi, ayo mulai sekarang pelajari pekerjaan perempuan, sana, kamu nyuci piring dulu," ucap bunda.
"Yah, Bunda," ucapku lesu.
Ya, itu hanya sepenggal ceritaku bersama Bunda. Setelah beberapa hari di rumah Eyang akhirnya aku, Ayah, Mbak Sarah, Mbok Darmi, dan Mbak Diana kembali di rumah. Ternyata bukan hanya diriku yang merasa kehilangan Bunda namun hal itu juga dirasakan oleh teman-temanku yang cukup dekat dengan Bunda. Bunda bukan hanya sebagai seorang ibu yang melahirkanku, namun Bunda juga sebagai sahabatku dan sahabat dari teman-temanku pula. Waktu tidak berhenti begitu saja ketika orang yang kita sayang telah tiada. Hidup terus berlanjut, perjalanan yang ditempuh masih terus harus dijalani hingga akhirnya sebelum ujian nasional diadakan SNMPTN. Awalnya ketika kubicarakan hal ini dengan Ayah, Ayah mengatakan bahwa saat itu belum ada uang untuk kuliahku.
Namun, aku adalah anak yang cukup keras kepala. Kupikir ini adalah kesempatan yang tak akan datang dua kali, lagipula SNMPTN juga gratis. Akhirnya kuputuskan untuk mengikutinya. Siapa sangka ketika pengumuman hasil SNMPTN namaku tertera di universitas negeri. Sungguh hatiku rasanya bercampur aduk. Teringat masa-masa saat berbicara dengan Bunda waktu itu. Dalam hati selalu aku ucapkan syukur dan kebahagiaan ini ku persembahkan untuk Bunda di surganya Allah. Aku yakin Bunda juga melihat dan turut senang dengan kabar baik ini meskipun aku tak dapat melihatnya bahkan memeluknya. Akhirnya aku dapat wujudkan harapan Bunda yakni masuk universitas negeri dengan bonus aku menjadi mahasiswi undangan seperti perkataanku waktu itu. Sejak saat itu semangatku kian membara, melewati fase demi fase yang baru.
♥
0 Comments
Posting Komentar