Sekapur Sirih Perpisahan

Oleh Abdullah Azam

Allah 'Azza wa Jalla berfirman,

وَأَصۡبَحَ فُؤَادُ أُمِّ مُوسَىٰ فَـٰرِغًاۖ إِن كَادَتۡ لَتُبۡدِی بِهِۦلَوۡلَاۤ أَن رَّبَطۡنَا عَلَىٰ قَلۡبِهَا لِتَكُونَ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِینَ

(Surat Al-Qashash: 10)

Kesedihan selalu hadir sebagaimana kebahagiaan pernah berkunjung. Dahulu Ummi Musa pernah bersedih ketika harus berpisah dengan bayi yang baru saja ia lahirkan. Bayi yang ia kandung berbulan-bulan letih, dengan berat hati harus dilepas bersama aliran sungai. Sebuah kesedihan yang membuat hati ibu Musa menjadi hampa sebagaimana Allah kisahkan dalam Al-Quran.

Dahulu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pernah bersedih ketika ditinggal oleh paman yang dari kecil merawatnya, ternyata harus meninggal di atas kekufuran. Tak lama tiga hari setelah itu disusul kepergian istri kesayangan beliau, Khadijah, yang telah setia menemani lebih dari dua puluh tahun. Mendampingi beliau dari awal kenabian ketika beliau didustakan, Ia adalah orang pertama yang beriman. Ketika beliau ketakutan Ia adalah orang pertama meyakinkan, menguatkan, memberinya rasa aman. Sampai dikenal tahun itu sebagai 'Aam Huzn (tahun kesedihan). Lalu Allah hibur beliau dengan Isra’ dan Mi’raj berjumpa dengan para nabi-nabi sebelum beliau. Mengingatkan akan perjuangan beliau tak seberapa jauh dari yang ditempuh pendahulunya, para nabi.

Dahulu Rasulullah juga pernah bersedih bahkan menangis ketika ditinggal oleh putra kesayangannya, Ibrahim, yang belum genap tiga tahun, masih lucu-lucunya. Abdurrahman bin Auf bertanya mengapa pipi beliau Shallallahu 'aaihi Wa Sallam basah air mata padahal beliau adalah seorang nabi, seorang kepala negara, seorang komandan perang. Jawabnya, “Wahai, Ibna Auf, ia adalah rahmat (kasih sayang).” Kemudian beliau melanjutkan, “Sesungguhnya mata ini mengalirkan air mata, dan hati ini bersedih, dan kami tidak akan mengatakan kecuali yang diridhoi Rabb kami. Dan sungguh kami bersedih atas perpisahan denganmu, Ibrahim.”

Dahulu Umar bin Khattab juga pernah bersedih ketika mendengar kabar wafatnya Rasulullah, bahkan bersumpah akan memenggal siapa saja yang berani datang membawa kabar tersebut. Namun terpaksa terjatuh tergugu ketika dibacakan kepadanya sebuah ayat melalui lisan Abu Bakar Ash-Shiddiq, “Dan Muhammad hanyalah seorang Rasul; sebelumnya telah berlalu beberapa rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa berbalik ke belakang, maka ia tidak akan merugikan Allah sedikit pun. Allah akan memberi balasan kepada orang yang bersyukur.” Barang siapa yang menyembah Muhammad maka sungguh Muhammad telah wafat, dan siapa yang menyembah Allah maka sungguh Allah selalu hidup tidak akan mati.” Sebagaimana yang dikisahkan Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya.

Bahkan Anas bin Malik yang mengatakan, “Aku menyaksikan hari ketika Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam masuk Madinah, maka aku tidak pernah melihat hari sebaik dan secerah ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam datang menemui kami. Dan aku juga menyaksikan hari ketika Rasulullah wafat, dan saya tidak pernah mendapati hari terburuk dan sesuram hari kematian Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.(HR. Darimi)

Dunia tempat dua sisa berlawanan, kesedihan dan kebahagiaan. Keduanya hadir saling melengkapi. Sebagaimana kita pernah bahagia berjumpa pun harus siap bersedih ketika berpisah.

Beberapa hari yang lalu beberapa ustaz kami pulang ke Indonesia. Seperti biasa kami ikut mengantar melepas kepergian mereka. Setelah senja hari sebelumnya menjelang berbuka mendengar beberapa patah kata pengantar.

Ada yang berkisah singkat perjalanan belajar selama empat tahun. Ada yang berwasiat tentang takwa, ada juga tentang metode belajar, atau tentang berteman dengan orang saleh.

Duduk bersama teman-teman dalam majelis ilmu selalu membawa rindu. Di dunia ini sulit mencari teman saleh yang hasratnya terpatri untuk berjuang dan berkorban demi agama. Yang dengan melihatnya saja kita menjadi segan berbuat lalai. Ingat malam hari ketika kami terpaksa harus berlindung dari ghubar (badai pasir) saat membaca beberapa hadis Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam di atas terpal yang digelar di bawah temaram lampu jalan.

Ingat ketika bersama-sama begadang masak makanan menyiapkan hidangan sahur untuk saudara-saudara kami di asrama yang ketika itu jumlah mereka tak kurang dari seratus lima puluh orang.

Ingat ketika mengambil nasi di qoah, lalu makan dengan lauk seadanya. Boleh jadi hanya garam, royco, atau sambal. Mungkin kalau makan sendirian sulit tertelan, namun bersama mereka nyatanya bisa dan kita masih sehat sampai sekarang.

Ingat ketika kami membaca satu persatu biografi perawi hadis, seperti kisah Abdurrahman bin Usailah Ash-Shunabihi yang datang jauh-jauh dari Damaskus untuk menuntut ilmu, mengambil hadis dari lisan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, namun terpaksa menelan kecewa ketika mendengar beliau wafat sedang dia sudah sampai di Juhfah (sebuah daerah dekat kota Madinah). Dan banyak kisah semisal itu dari kitab “Hasarot”.

Atau kisah Abdullah bin Maslamah Al-Qo’nabi yang bertobat di tangan Imam Syu’bah bin Hajjaj yang bergelar “Amirul Mukminin” dalam bidang hadis dan di kemudian hari menjadi muridnya Imam Malik seorang ahli fikih dan hadis masyhur. Yang mana banyak riwayat Imam Bukhari dari jalur Imam Malik diambil dari beliau.

Ingat bagaimana seorang Abu Muawiyah Ad-Dhorir yang buta menimba ilmu dari gurunya Al-A’masy Amir bin Syarahil bin Abd selama dua puluh tahun, sampai menjadi salah satu murid terbaik beliau meskipun buta. Sama halnya dengan Nuaim Al-Mujmir seorang tabi’in yang berguru kepada Abu Hurairah selama dua puluh tahun, dll. Kata beliau ilmu diambil dengan talaqqi dengan duduk langsung di majelis ulama, tidak cukup hanya empat tahun. Apalagi kalau banyak ghoflah (lalai) dan main-main.

Menelusuri biografi dan jejak perjalanan Imam Al-Bukhari yang berguru kepada seribu delapan puluh orang masyayikh berkeliling dunia untuk mengumpulkan hadis-hadis Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi wa Sallam. Mereka adalah sosok teladan untuk generasi setelahnya. Mereka sudah berjuang, berkorban apapun demi agama Allah, maka Allah pun mengangkat derajat mereka, seakan hari ini mereka masih hidup di antara kita.

Kata salah seorang ustaz kami, Handika, beliau berkata, “Bagi para pejuang sejati tidak ada kata mundur. Mereka hanya akan berhenti untuk beristirahat sejenak, atau bergeser ke tepian untuk memberi jalan yang lain maju ke depan.”

Teman mempunyai pengaruh besar membentuk karakter seseorang. Membantunya menatap dunia dengan kaca mata berbeda dari kebanyakan manusia. Malas sesaat itu wajar, dengan mudah bisa kembali semangat ketika melihat teman yang lain ternyata sedang belajar. Timbul rasa mau, lalu sadar.

Kalau kita sadar bukan orang baik dan taat. Setidaknya kita punya teman yang tak segan  mengingatkan hendak berbuat maksiat. Minimal mereka mengingat nama kita pernah hadir dalam hidup mereka, walaupun ingatannya sebatas kita sering tertidur dalam majelis ilmu dan kebetulan duduk di samping dia.

Kadang kita merasa sempit, bosan, ingin seperti kebanyakan orang. Maka berbagi duka dengan teman bisa menjadi camilan berharga. Berbagi kisah yang diturunkan dari mulut ke mulut bagaimana kisah masyayikh mau tidak mau membuat kita merasa begitu kerdil tanpa makna.

Kata Abu Ishaq Al-Syirazi dalam sebuah syairnya:

إذا طال عليك الطريق يوما * فليس دواؤه إلا الرفيق

تحدثه و تشكو ما تلاقي * ويقرب بالحديث لك الطريق

“Jika suatu ketika kau merasa perjalanan itu begitu jauh, maka tak ada lagi obat kecuali seorang sahabat. Ungkapkan dan keluhkan apa yang kau temui, maka perjalananmu akan terasa lebih dekat.”

Ustaz Juma atau yang biasa disapa dengan Abu Hamzah, beliau pernah berpesan saat khutbah wada’:

قد نحتاج إلى الفراق لنعرف روعة الاجتماع

“Terkadang kita butuh perpisahan untuk sekedar tahu harga dari sebuah pertemuan.”

“Perpisahan sejati bukanlah di dunia. Tapi di akhirat kelak ketika sebagian manusia digiring menuju neraka dan sebagian yang lain dibawa menuju surga.”

Semoga tulisan ini bisa membuat mereka yang sedang lupa menjadi ingat, mereka yang sedang malas kembali semangat, mereka yang bersedih mau lagi tersenyum hangat.

Membantu kita mengingatnya kembali dua, tiga, atau sepuluh tahun ke depan saat ingatan mulai lapuk dimakan usia. Semoga kita dipertemukan kembali di dunia, kalau tidak, semoga kelak dipertemukan di surga-Nya. Berbeda satu dua hal biasa, asal semangat kita tetap sama berkorban untuk tegaknya agama Allah.

Posting Komentar

0 Comments

Formulir Kontak