Pesantren Sebagai Sentra Kaderisasi Dai dan Digitalisasi Dakwah

Oleh Suprianto

Tidak terlepas dari spirit keberadaan pesantren itu sendiri, pesantren adalah produk dari dialektika budaya yang khas dan memiliki konsep dakwah yang berbeda dari lembaga pendidikan lain. Harus kita pahami terlebih dahulu agar tidak terlepas dari nilai-nilai kepesantrenan dalam menentukan konsep dakwah.

Pesantren itu sendiri terlahir dari masyarakat dan kebutuhan peradaban. Bukan dilahirkan atas suatu kepentingan sosial politik jangka pendek. Dari hal ini pesantren mempunyai ciri khas sebagai tempat untuk belajar yang melahirkan para ulama, dan tidak sedikit pula dari pengusaha, politisi, diplomat, dan lain-lain.

Produk-produk pesantren tersebut berdasarkan pada basis Kitab-kitab dan Al-Qur’an. Setiap pesantren memiliki keilmuan yang khas dengan sebuah metode yang ditonjolkannya. Pesantren memiliki peradaban ilmu yang telah diwariskan dari dulu hingga turun-temurun sampai saat ini. Dari segi budaya, relasi antara kiai dengan santri, dan masyarakat dengan budaya yang unik. Di mana kiai menjadi simbol otoritas kuasa tertinggi secara sosial. Posisi kiai ini sangat strategis dan independen dalam menentukan berbagai kebijakan pesantren yang tidak dapat dipengaruhi oleh siapapun. Keberadaan sosok kiai secara sosial harus dapat dipahami pada saat ingin menentukan kaderisasi dai di pesantren tersebut.

Dalam kaderisasi dai harus kita pahami relasi pesantren dengan masyarakat agar tetap mempertahankan idealitas dan peran konkret masyarakat.

Calon-calon pengganti dipersiapkan dengan jalan membekali mereka dengan pengalaman dan nilai-nilai yang mencerminkan agama islam. Sementara itu bagaimana proses yang ditempuh adalah tergantung pada karakteristik masing-masing lembaga. Tujuan kaderisasi secara umum merupakan nilai atau hasil yang diharapkan dari usaha pengkaderan tersebut.

Lebih rincinya tujuan pengkaderan antara lain:

- Terbentuknya pribadi  yang menghayati dan mengamalkan ajaran Islam.

- Terbentuknya pribadi yang mempunyai kesanggupan dalam memimpin.

- Terbentuknya pribadi yang berbudi luhur sesuai dengan syari’at Islam.

-Terbentuknya pribadi yang menguasai ilmu dan kecakapan dalam suatu bidang.

Perlu kita perhatikan bahwa dalam memahami spirit yang selama ini dijadikan sebagai pedoman pesantren yaitu,

المحافظة على القديم الصالح والاخذ بالجديد الاصلح

“Memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik."

Kita tidak boleh keluar dari konteks ini, karena kita ingin membedakan antara pesantren dengan lembaga-lembaga pendidikan lain.

Otoritas figur kiai yang memiliki kekuatan simbol budaya harus mampu ditransformasikan secara utuh sebagai sosok tangguh yang menguasai peradaban ilmu yang mana nantinya dapat mengkaderisasikan santri-santri dalam pengembangan dai yang progresif. Ditransformasikan di dalam dunia modern khususnya pada dunia digital yang memiliki peradaban ilmu.

Dalam pengkaderisasian dai, tentu perlu diperhatikan atas tuntutan masyarakat  modern saat ini dengan mobilitas tinggi menuntut segala sesuatu bisa diraih dengan cepat dan bahkan instan. Informasi bisa diakses di manapun dan kapan pun karena didukung teknologi internet yang semakin cepat.

Dunia akan terus maju dengan digitalisasi dan tidak akan mudur ke belakang. maka siapapun yang tidak mengikuti perkembangan dunia, maka akan tergilas betapapun kuat eksistensinya. Tidak ada yang abadi kecuali perubahan itu sendiri.

Pada dasarnya berdakwah bukan hanya ketika adanya sebuah perkumpulan dalam suatu majelis, namun berdakwah dapat juga melalui sekumpulan video, dan deretan artikel atau blog. Dalam hal apapun dakwah berada dalam ruang lingkup yang luas.

Ini merupakan bagian penting yang memang patut diperhitungkan dan dirancang sedemikian rapi untuk menanamkan kepada calon-calon dai dalam mengembangkan dan menata kembali metode dakwah yang akan diterapkan.

Dalam hal ini tentu harus mampu menyebarluaskan pola keunggulan pembelajaran pesantren yang telah dimodifikasi secara modern. Seperti metode dalam mengembangkan dan menyebarluaskan keilmuan dalam bidang kitab. Jika selama ini di pesantren minimal 3-6 tahun agar bisa mengerti atau memahami tentang baca dan makna yang terkandung dalam sebuah kitab. Namun sekarang bagaimana kita didorong untuk bisa menciptakan metode-metode baru untuk memahami kitab dengan cepat. Kalau dahulu butuh 3-6 tahun, maka cukup 6 bulan sudah bisa baca kitab.

Demikian juga mengupas produk-produk agama dalam bentuk konsep digital. Dalam istilahnya digitalisasi ajaran agama. Sebagai contoh semisal persoalan waris. Dalam waris, kita akan belajar cara menghitung berapa bagian masing-masing anggota keluarga yang ditinggal. Jika manual seperti ini mungkin akan sangat lama. Namun jika diciptakan aplikasi atau mendigitalisasi ajaran agama yang mudah dipahami dan ditransformasikan, ini menjadi model dakwah yang luar biasa dan mungkin ini telah direalisasikan oleh beberapa pesantren atau mungkin oleh beberapa individu termasuk yang telah dilakukan oleh Dr. Ahmad Luthfi Fathullah yaitu Sirah Nabawiyah dalam suatu sistem aplikasi yang mudah dipahami. Ketika kita ingin membaca Sirah Nabawiyah yang biasa dibaca di pesantren, kita tidak perlu membaca keseluruhan. Hanya dengan cukup membuat aplikasi dan masyarakat akan dengan mudah untuk memahami secara komprehensif tentang kehidupan nabi dan para sahabat. Ini merupakan alternatif dakwah yang cukup praktis.

Di sisi lain kita dapat mendigitalisasi produk-produk pesantren lebih intensif melalui dunia maya dengan menggelar ngaji online ala pesantren dengan membuat channel website berdasarkan disiplin keilmuan.

Dapat kita bayangkan bagaimana jika semisal produk-produk pesantren ngaji online dapat dikomplikasikan dan diberikan level-level tertentu. Semisal ilmu fikih, tafsir, dan lain-lain yang kemudian dikelompokkan dalam satu bagian berdasarkan bidang keilmuannya yang mana dapat diakses oleh siapapun.

Posting Komentar

0 Comments

Formulir Kontak