Oleh Faradilla Awwaluna Musyaffa'
“Barusan nonton film pendek Tilik. Fresh, delightful. Setting ceritanya cukup brilian. Sederhana tapi gigit.”
(Cuitan Twitter Joko Anwar tentang film Tilik)
Menembus lebih dari 22 juta viewers di YouTube sejak penayangan perdananya dua minggu silam pada tanggal 17 Agustus 2020 membuat film Tilik sempurna menjadi perbincangan viral di tengah masyarakat. Sebuah situs netray.id memantau ada 7.249 cuitan seputar topik film Tilik di Twitter hanya dalam jangka periode antara 16 Agustus 2020 sampai 24 Agustus 2020. Sementara dengan menggunakan kata kunci dan periode yang sama, netray.id menemukan jumlah postingan di Instagram dengan hashtag #tilik dan #filmtilik mencapai 2.413 total unggahan dengan unggahan pertama terlihat pada tanggal 19 Agustus 2020 atau selang dua hari setelah terlebih dahulu diperbincangkan di Twitter.
Film garapan sutradara Wahyu Agung Prasetya yang didanai oleh Dinas Kebudayaan Yogyakarta ini berhasil memenangkan kategori Film Cerita Pendek Terpilih pada gelaran Piala Maya ke-7 dan menjadi Official Selection Jogja-Netpac Asean Film Festival (JAFF) 2018 dan Official Selection World Cinema Amsterdam 2019. Selain itu komentar positif yang dilayangkan oleh beberapa tokoh tanah air seperti anggota DPR Yoyok Sukawi hingga sutradara top Joko Anwar juga menghiasi keviralan film ini.
Terlepas dari kehebatan itu semua, Tilik juga tak lepas dari kritik-kritik atau komentar-komentar negatif dari beberapa pihak. Gus Baha memberi tanggapan tentang film ini, “Secara konten bagi saya tidak ada faedahnya. Ngrasani orang, nggosip, dan sebagainya. Tapi sisi positifnya film itu adalah deskripsi atau gambaran yang terjadi di masyarakat.”
Film Tilik menuai beberapa kontroversi yang menilai bahwa ia menunjukkan penggambaran perempuan secara tidak pantas. Beberapa kritikus menilai bahwa Tilik menggaungkan stereotip tertentu yakni perempuan senang bergosip dengan kebenaran yang belum diperhatikan, tidak mendidik, nol edukasi, generalisasi perempuan berhijab yang suka gosip, dan akhir dari filmnya pun dinilai menunculkan stigma yang memperkuat kalau perempuan adalah perusak rumah tangga orang lain, serta film ini diklaim bersifat misoginis karena isinya membenci dan berprasangka buruk terhadap perempuan.
Salah seorang kritikus juga mempertanyakan di mana keberpihakan sang sutradara dalam film Tilik sebagaimana ungkapan yang sering dituturkan sutradara dalam beberapa acara di mana ia ingin ‘menekankan perempuan mandiri dan berhak menentukan nasibnya sendiri’ dengan sosok Dian namun di sisi lain kenapa jika menggambarkan perempuan boleh menentukan nasib sendiri harus ada kehadiran Bu Tejo yang jelas-jelas menghakimi pilihan Dian? Inilah yang menjadi kontradiksi menurut kritikus tersebut.
Pendapat lain juga menyayangkan bahwa tidak adanya klarifikasi akan apa yang diucapkan Bu Tejo di film ini sangat miris ditengah maraknya berita hoax yang sedang menjamur di masyarakat. Kritikus lain mengatakan seharusnya film tilik lebih mengusung nilai dan membawa edukasi, terutama ditengah kondisi masyarakat dengan simpang-siur hoax yang semakin menjamur ini. Film Tilik dinilai kurang memuaskan para pencari amanat dan pesan moral dalam sebuah hiburan.
Selain beberapa kritik dan komentar pedas yang mewarnai ketenaran film Tilik, tak meniadakan pula respon positif dari para netizen akan film tersebut. Terutama pesan-pesan moral yang seharusnya tetap dilestarikan oleh generasi penerus. Seperti kepedulian yang tinggi, tradisi Tilik (menjenguk) orang sakit, menyadarkan pentingnya ada opsi lain dari suatu keputusan yang diambil, hingga patungan uang untuk membantu orang lain. Film ini diapresiasi karena isinya yang sangat relate di kehidupan sehari-hari. Banyak warganet yang merespon film Tilik sebagai kesuksesan dunia perfilman pendek Indonesia dengan penayangan karakter yang kuat dan dahsyat.
Bahkan sutradara Joko Anwar sampai menulis review di Twitternya akan film Tilik yang bisa menampilkan kesederhanaan namun tetap bisa ‘menggigit’ dengan akting yang asyik. Ia pun mafhum kenapa film dengan keistimewaan ini menjadi viral di media sosial dengan segala keistimewaannya. Film Tilik pun berhasil trending di berbagai media sosial dalam waktu singkat dan ini menjadi prestasi tersendiri terutama bagi orang-orang yang ikut andil.
Nah, sahabat El-Nilein terlepas dari kontroversi dan prestasi film Tilik, mengutip perkataan dosen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Unair, Surabaya bahwa sebuah film harus siap dikritik dan diinterpretasikan atau dibaca maknanya oleh masyarakat luas secara berbeda-beda. Dalam studi sinema, kritik adalah bagian dari pembacaan sebuah film yang bagus untuk menunjukkan bahwa penonton tidak hanya berperan sebagai penikmat. Tapi juga memperhatikan dengan baik dan mampu merespon sebuah karya. Munculnya dialektika yang terjadi menunjukkan ‘suksesnya film tersebut’ dalam mengusik pemikiran penonton. Hingga memicu banyaknya pertanyaan, keraguan, kritikan, dan pujian dalam waktu bersamaan. Pendapat lain menyebutkan bahwa karya yang mengundang perdebatan dan diskusi itu menampilkan bahwa karya yang bersangkutan itu penting.
Sahabat El-Nilein di mana pun berada, semoga keviralan film Tilik dan banyaknya kritik dan prestasi yang mengikutinya bermanfaat bagi kita untuk mempelajari lebih baik bagaimana berkarya hebat yang baik namun tetap mampu diterima publik. Jadikan kritik dari kontroversinya pelajaran dan jadikan prestasinya inspirasi. Sebab jangan sampai hanya terus menerus menjadi netizen yang menanggapi, semoga besok lusa, lahir juga banyak dari kita seniman-seniman hebat yang karyanya mampu membanggakan agama dan tanah air. Lebih-lebih menjadi inspirasi besar untuk orang sekeliling. Aamiin.
Wallahu A’lam Bi Showab.
Selamat Hari Pekan, Sahabat! Semoga Selalu Bahagia!
0 Comments
Posting Komentar