Di Balik Kata "Mengertilah"


Oleh Rischa Amara Yuniar

“Tahun ini kamu nggak usah kuliah dulu ya, Ya.”

Ibu mengatakannya sambil mengelus jemariku yang sejak tadi digenggamnya. Aku hanya bisa menatapnya dengan tatapan tidak percaya, kemudian membagi tatapanku kepada sebuah kertas yang tergeletak di atas meja begitu saja—kertas formulir pendataan jurusan yang akan aku pilih dari guru BK.

“Kenapa, Bu?” tanyaku dengan suara yang mulai tersekat di tenggorokan.

Ibu menatapku lama. Dari matanya, bisa kulihat ada banyak sekali luka.

“Karena Bapak akan meninggalkan kita? Atau karena kondisi Ibu sekarang? Atau karena Ibu nggak punya tabungan lagi?” Aku benar-benar mulai kalut.

“Kondisinya nggak memungkinkan, Ya. Ibu mohon, mengertilah.”

Bagaimana bisa aku mengerti semua kejadian yang saat ini menimpa keluargaku sedangkan bapak dan ibu tidak pernah memberiku penjelasan? Mengapa mereka—orang-orang dewasa—selalu menuntutku agar aku bisa mengerti jalan pikiran mereka?

“Ibu nggak pengen lihat Ria kuliah? Bukannya itu adalah salah satu keinginan terbesar Ibu? Ibu nggak lupa sama janji-janji Ibu, kan?”

Mataku sudah mengerluarkan air mata dengan sendirinya, lalu setelah itu, aku meninggalkan ibu sendirian di ruang makan.

Aku mencoba meredam isakanku menggunakan bantal, namun kurasa, itu percuma. Pikiran-pikiran negatif mulai datang menyerangku, bersamaan dengan kalimat-kalimat seandainya yang hanya bisa aku bayangkan. Setelah dua hari yang lalu aku menerima kabar bahwa bapak dan ibu akan berpisah, kini aku harus kembali menelan pil pahit. Tahun ini aku belum bisa kuliah, dan aku juga tidak tahu untuk tahun-tahun yang selanjutnya.

Aku tidak kuliah, itu artinya, aku harus siap dengan sejuta pertanyaan dari teman-temanku tentang alasannya. Itu artinya, aku harus melupakan impianku yang selama ini sudah kuperjuangkan habis-habisan. Dan itu artinya juga, tidak ada masa depan cerah yang akan menyambutku di masa depan. Sungguh, saat ini hanya pikiran negatif yang menguasaiku.

Apa ini ada hubungannya dengan perceraian bapak dan ibu? Oh ya, tentu saja ada.  Sebelum bapak dan ibu memberitahuku bahwa mereka akan bercerai, bapak sudah terlebih dahulu mengurus gugatan perceraian itu ke meja pengadilan. Dan aku tahu, tidak lama lagi bapak akan benar-benar meninggalkan rumah ini.

Namun, kenapa ibu melarangku kuliah? Bukankah ibu pernah bilang kalau ibu dan bapak sudah menyiapkan tabungan sendiri untuk biaya kuliahku semenjak aku masih duduk di bangku SMP dulu? Lalu, kemana semua uang itu? Habis dipakai pengobatan ibu? Atau malah habis dipakai bapak untuk pergi bersama tante Nuna? Lalu, bagaimana bisa aku memahami ini semua saat tidak ada satupun orang yang memberikan penjelasan kepadaku?

Malam itu, satu yang kutahu. Tahun ini aku tidak bisa kuliah.

Mataku terbuka ketika samar-samar kudengar teriakan yang bersahutan dari kamar yang letaknya di sampingku. Aku sudah tahu itu suara apa karena sudah terlalu sering mendengarnya. Bapak dan ibu pasti bertengkar lagi. Kututup telingaku menggunakan dua bantal sekaligus, namun rupanya suara itu masih terdengar juga. Sekarang, aku malah bisa mendengar ada beberapa barang yang nampaknya sengaja dilemparkan.

“Apa kamu nggak kasihan dengan anak-anakmu, Mas? Ria tahun ini harus kuliah, Jef harus masuk sekolah. Sedangkan kamu malah mau meninggalkan mereka semua?!”

Itu suara ibu, berteriak sambil menyisakan isakan-isakan di ujungnya. Saat ibu menyebut nama Jef, aku jadi teringat dengan adikku yang sangat menggemaskan itu. Sekarang dia sedang berada di rumah nenek, sengaja diamankan oleh ibu agar tidak terlalu sering mendengar ibu dan bapak bertengkar. Lalu, kenapa aku tidak sekalian diamankan juga? Apakah karena Jef masih kecil sedangkan aku sudah beranjak dewasa?

“Apa kamu lupa kalau Jef akan tinggal bersamaku? Pakai saja uang tabungan kuliah Ria, sementara Jef akan aku biayai sendiri.”

Apa? Jef akan tinggal bersama bapak? Itu artinya, aku akan berpisah dengan Jef setelah ibu dan bapak resmi bercerai. Aku akan berpisah dengan adikku yang sangat aku sayangi. Dan oh, sekali lagi, aku harus menelan pil pahit ini. Lalu, aku kembali menangis, masih diiringi dengan perdebatan antara dua orang itu.

Jef akan pergi dari rumah ini. Aku akan kesepian. Di rumah, tidak kuliah, tanpa ada Jef yang selalu bisa menghiburku. Walaupun aku tahu, sewaktu-waktu aku bisa saja bertemu dengannya, namun kurasa itu tidaklah mudah. Bukan sekali dua kali aku mendengar cerita pilu dari temanku—yang kedua orang tuanya sudah bercerai—kalau mereka menjadi sangat jarang bertemu dengan salah satunya. Aku tidak sanggup membayangkan jika hal itu terjadi.

Mengapa? Mengapa orang-orang yang tersakiti bisa menarik orang di sekitarnya merasakan hal yang serupa? Mengapa saat ini semuanya pergi menjauh dariku? Impianku, bapakku, ibuku, adikku, bahkan diriku sendiri?

Setelah pertengkaran itu berakhir cukup lama karena bapak yang entah pergi kemana, barulah aku berani melangkahkan kakiku untuk keluar dari kamar. Aku butuh membasuh mukaku yang sudah sangat lecek akibat sejak semalam menangis. Saat aku melewati pintu kamar ibu yang tidak tertutup rapat, entah kenapa langkah kakiku berhenti begitu saja. Dari celah yang tidak terlalu lebar itu, bisa kulihat ibu yang sedang menatap pantulan dirinya di cermin. Aku pun bisa melihatnya dengan jelas.

Badan ibu terlihat sangat kurus. Tulang pipi dan belikatnya sudah sangat menonjol. Di sekitar mata ibu terbentuk lingkaran hitam, matanya terlihat semakin cekung dari beberapa hari yang lalu. Bibir ibu yang dulu selalu terlihat segar kini sudah pucat dan sayu, sama seperti tatapan matanya. Oh bukan, bukan hanya sayu, melainkan kosong dan juga… hampa. Hidung ibu tidak pernah berhenti memerah, aku tahu, itu karena isak tangisnya yang juga tak pernah berhenti. Tubuh perempuan itu terlihat begitu ringkih, ditambah dengan posisinya yang saat ini sedang duduk di atas kursi roda semakin membuatnya terlihat tidak berdaya.

Lalu berikutnya adalah diriku yang limbung, tidak kuat melihat semua luka yang ibu derita. Selama ini, ibu tersiksa, bukan hanya raganya tapi juga batinnya. Ibu menahannya sendirian dan tidak ingin terlalu banyak menyakiti hati anaknya. Oleh karena itu, ibu tidak pernah sekali pun memberikan penjelasan atau cerita yang panjang lebar kepadaku.

Mengapa seperti itu saja aku tidak mengerti? Mengapa harus aku tunggu penjelasan dari bapak dan ibu tentang semua itu? Mengapa tidak kucoba untuk mengisi kekosongan hati ibu? Mengapa aku sangat egois untuk meminta dipahami juga? Orang-orang di rumah ini sudah terluka, maka tidak seharusnya aku menambahnya.

Kini, aku sudah tahu, Bu, apa maksud dari kata ‘mengertilah’mu waktu itu. Kataku dalam hati.

Lalu dengan perlahan, aku mendekati ibu. Menatapnya lama kemudian memeluk tubuh ringkihnya.

“Maafkan aku bu. Maafkan aku─”

♥ ♥ ♥

Posting Komentar

0 Comments

Formulir Kontak