Oleh Abdullah Syakir
Terbuka kali ini, tepat pada tanggal 11 Agustus 2020 mendatangi kantor pagi hari kala matahari muncul seolah mengintip dunia pagi di negeri ini.
Saat ini dan kali ini, tahap yang menyisakan beribu-ribu pertanyaan, seolah segala rasa salah itu tertimpa kepada setiap orang yang hendak mengurus perpanjangan surat ijin tinggal.
Kantor lantai bawah, horor dengan jumlah antre ratusan orang sebelum dibukanya pintu, tepat dua hari sebelumnya malah lebih horor.
Siluet foto story teman, mendapatkan antrean keseratus sekian sebelum pukul tujuh pagi. Belum lagi mendapat nomor urut sekian, karena di sore hari lantaran masa kerja hari itu telah habis, ia diintruksikan untuk antre lagi keesokan harinya. Zonk akhirnya.
Kemungkinan besar seperti itu terus terulang.
Kalau mungkin kita mendata jumlah semua mahasiswa di kampus internasional ini, jumlah pelajarnya bisa mencapai ribuan, bahkan jutaan. Terhitung dari 60 negara lebih di sini. Ya, di kampus ini. Sedangkan keadaan kantor imigrasi milik kampus hanya sepetak ruangan yang berlantai dua. Eh tiga, karena lantai dua tak terpakai tanpa alasan yang pasti.
Lantai tiga, kantor imigrasi kampus internasional Afrika.
Horor hari ini, terbuka untuk mempersilahkannya masuk semua antrean dari regu pelajar penjuru negeri yang berbeda.
Mereka di hari itu hanya mendapatkan waktu tiga jam. Dibuka dari jam sepuluh pagi hingga jam satu kurang, petugas sudah marah-marah mengintruksikan untuk esok hari segera datang mengantre lagi. Padahal tadi sudah banyak yang antre sejak matahari masih kelap-kelip.
"Bukroh...!!"
Teriak petugas demikian, malang bukan kepalang. Solusi satu-satunya hidup di negeri gersang ini adalah sabar dengan tingkat dewa menjulang.
Terlihat ada seorang dari negara berinisial S datang dengan segala perasaan ingin segera usai semua perkara. Memaksa masuk mendorong pintu setelah melawan dengan ucapan nada tinggi kepada petugas. Warna kulit legam hitamnya bercucuran keringat lantaran listrik putus. Tak ada AC tak ada kipas angin beroperasi. Generator? Kalau ada sudah kusebutkan. Ya, pasti kusebutkan kalau generatornya bisa dipastikan sedang mengalami kerusakan.
"Sebenarnya apa sih maunya mereka? Kok gitu banget?” Yang salah itu kami sebagai pelajar atau fasilitas kampus atau tenaga kerja di sini? Bukannya kita sudah berusaha bangkit yang dari awalnya adalah kaum rebahan hobi tidur pagi setelah qiraah sedikit dari Al Qur'an subuh hari, menyelam lembut membayangkan mimpi dalam mimpi berangan menjadi kenyataan ketika bangun nanti.
Ada, iya ada seorang yang berangkat pukul tiga dini hari demi antre urutan pertama kali.
Sebenarnya yang dzalim itu siapa?
Kita sudah berusaha bangkit dari zona nyaman itu. Kok jadinya begini?
Disempit-sempitkan oleh keadaan. Oh, bukan keadaan, lalu?
Ah, aku tak mau menuduh para petugas Kantor Imigrasi. Kantor Imigrasi kampus Internasional se-Afrika. Ya, se-Afrika.
Menghela nafas, menghembuskannya dengan lepas, pulang dengan segala hasil usaha yang.. yah, terbilang lumayan. Dimana setiap hari hanya antre dari pagi sampai sore untuk mendapatkan satu lembar kertas saja. Belum nanti hanya untuk dicoret-coret dengan bolpoin biru khas negara ini guna menghindari perkiraan itu kertas fotokopi. Logika ini, jujur di otakku belum masuk.
Masalah sekecil itu mereka perhatikan, namun masalah penanganan operasi ribuan bahkan jutaan pelajar kurang gesit teruruskan.
Ada, ada satu lagi model pelajar dari keturunan bangsawan tujuh anak cucu berkelanjutan. Membayar mandub namanya, seorang calo yang konon gesit dalam menguruskan semua ini, termasuk menembus ratusan pelajar yang sudah antre sejak pagi hari.
Ah,
Namun sore ini, kulihat story WhatsApp-nya pun juga tertulis
"Suatu kejelasan di negeri ini adalah ketidakjelasannya."
Gagal? Entahlah, intinya mentalnya juga sedang terserang sebab si mandub.
Masih diri ini penuh gerutu ketika mencoba sabar tak menumpahkan semua ini kepada teman bareng, sama-sama ngurus surat perpanjangan ijin tinggal.
Sambil naik bajai dengan sebutan "reksya" balik ke asrama.
Mereka itu nalar gak sih? Kalau seandainya punya pelajar dari puluhan negara berbeda, jumlahnya ribuan bahkan jutaan. Kenapa gak buat solusi untuk bisa gesit ngurus kita?
Kalau mungkin fasilitas kurang, kenapa gak cari solusi jalan lain?
Tambah tenaga kerja mungkin, atau bisa kerjasama investor untuk menangani kekurangan, namanya kerjasama pasti ada timbal balik kan?
Apa mungkin memang pola pikir mereka gak sampai berpikiran seperti itu, atau memang gak nalar, atau memang diatur sedemikian rupa, sengaja bikin kita ribet,
Astaghfirullah, suudzon-ku keterlaluan.
Tapi, logis gak sih setingkat internasional kok kurang fasilitas? Bagiku sekarang logis, la wong dari semua paparan diatas semua masalahnya tidak ada yang logis. Auah...
Jadi ingat, dulu tahun lalu di asrama ada pengumuman tempel di mading asrama kampus, ditiadakanya dan larangan keras jualan di setiap kamar-kamar pelajar di asrama ini. Bagi yang masih keras kepala akan disidang oleh penanggung jawab asrama.
Waktu itu masalah lain sudah berkepanjangan.
Air kamar mandi sudah lama mati. Air minum asrama lebih parah tidak mengalir. Listrik padam tak tahu waktu. Mirip era 80-an.
Di situlah, waktu itu ada kakak kelas yang bilang, "Saya belum doktor (S3) saja sudah nalar kok, mbok ya yang ditangani itu masalah kamar mandi dulu, airnya biar ngalir, itu kebutuhan pokok loh. Listrik mati, di sini musim panas 48°C. Kok malah sibuk ngurus temen-temen kulit hitam yang cari rejeki dengan cara halal?" Yaitu jualan.
Kalau mereka dilarang jualan mau dapat uang saku dari mana?
Mereka itu beda sama kita orang Asia yang mayoritas dapat kiriman saku perbulan. Bahkan mereka gak ada uang dari orang rumah mereka sama sekali. Gimana kalau nanti mereka malah jadi cari rejeki dengan cara haram, maling?" Duh.. aduh. Kacaw..
Gak tau kah? Bar-barnya maling Afrika?
Sampai disini pembaca sudah paham, belum? Relasi berpikirnya sudah sampai mana?
Ya, sebenarnya kita sedang dipanggang mirip ayam dikasih kecap. Hitam di atas panas.
Tapi buat jadi orang hebat dengan keadaan semua ini.
Kita Bisa berfikir luas apa yang musti kita pikirkan sebagai prioritas.
Nanti, seperti yang dinasihatkan kakak kelas waktu itu (nama disensor), "Nanti kita semua pulang pasti banyak yang urus lembaga seperti ini, mungkin setingkat kecamatan, atau modern nasional, bahkan mungkin setingkat internasional sepeti kampus kita ini.
Jangan sampai nama lembaganya sudah menor eh pola manajemennya receh. Urusan kecil aja tidak becus, itu namanya bumbu belum matang sudah dibuat masak, racun namanya, bikin orang lain sakit dan sengsara. Padahal awalnya mereka mau menikmati karya buah tangan hati dan pikiran kita.
Jangan sampai gitu ya.."
Kala itu baliau menasihati dengan penuh sayang dari hatinya, memberi nasihat kepada kita yang masih berstatus mahasiswa baru yang polos dan cupu.
Jadi ingat pengalaman pribadi,
Tahun lalu jauh saya pergi ke pedalaman negeri ini buat target mengulang hafalan Al-Qur'an. Keadaan di sana termasuk pelosok, listrik masih ada, tapi musti irit, lampu kamar harus pakai lampu remang-remang oranye biar hemat. Alas ruangan masih tanah, masaknya pakai kayu, kalau tidur kipasnya cuman satu, satu ruangan berisi 20 orang. Beda di asrama kampus, yang hanya berisi 8 orang.
Alhamdulillah di sana lebih hijau, suasana menjadi lebih sejuk, tapi nyamuknya minta ampun mirip suntikan jarum bu dokter yang status aslinya adalah polisi di kantor imigrasi.
Belum lagi keadaan pelataran yang becek semua, akses jalan dari asrama ke masjid kalau hujan itu banjir, tidak hanya becek. Di pedalaman meski musim panas masih sering hujan karena dekat dengan Sungai Nil.
Di situ, saya pribadi baru tau. Oh, ternyata ibu kota negara ini itu benar-benar layaknya surga di negeri miskin ini.
Baru tahu kalau itu patut dikatakan kampus internasional.
Hatiku menjadi ngilu, karena terlalu kekeuh, berkata ini dan itu, mengumpat sumpah serapah soal kampus, kantor imigrasi miliknya dan pelayanannya.
Duh kurang bersyukur, seakan lupa dengan Allah. Ini dunia bukan surga, sudah pasti banyak yang kurang. Sabar saja, apalagi sudah tahu Allah itu pasti menolong hamba-Nya kalau senantiasa bersabar.
Masih bergantung pada manusia? Hem... Cupu. Apalagi bergantungnya sama manusia kulit hitam. Duh kan jadi rasis. Ya Allah, ampunilah aku, tapi aku jujur.
Itu yang ada di dalam hati perasaan terdalam, tidak tahu apakah orang lain merasa seperti itu juga kalau memang orang hitam banyak yang nyebelin. Yah, laki-laki berhak baper juga, dong, masa perempuan doang. Kan masih manusia, tandanya punya hati. Malah beladiri jadinya ..
Sampai sini relasinya sudah ke mana?
Maksudnya relasi pikiran, bukan relasi ngopi. Kalau ngopi di sini tidak ada kafe, yang ada hanya satu mall di negara seluas ini. Itu pun kemarin kesana waktu habis Ramadan, musim panas-panasnya sempat juga mati AC, eh, mati lampu malah.
Yah, syukur lah masih ada kan ya, ketimbang gak ada. Mau resesi ekonomi lintas internasional?
Jadi relasi mikirnya udah sampai mana lagi? Setelah tadi poinnya di manajemen kalau nanti pulang urus lembaga musti baik.
Poin selanjutnya lebih ke psikologis diri kita yang pernah ngerasain pahit, eh, bukan pernah, deh, tapi lagi ngerasain, kan? Bagaimana pahitnya di negeri ini.
Jadi melebar lagi, tadi apa? Oh iya, poin selanjutnya.
Yaitu syukur, tulus dari hati. Banyak kekurangan itu manusiawi kok. Aku yakin, di negara kita kekurangannya gak separah ini. Kalau kita bisa tulus syukur dan ikhlas disini, di negeri ini nih, serta fokus, waktu sudah balik ke kampung halaman, auto memiliki kesabaran skill dewa.
Jangan malah balas dendam, tadi sengsara sekarang jadi malah menuntut semua kekurangan di negara kita? Haduh aduh.. Rugi antum ..
Kita itu disni belajar agama, aku yakin 98% dari kita semua di sini tujuanya adalah belajar agama.
Semua ketidak logisan urusan di kampus, di negara ini. Itu datang dari siapa?
Dari mandub?
Rektor?
Berarti relasinya belum nyambung.
Akhi,
Semua datang dari Allah, menguji tingkat imanku, kamu, dan mereka. Ngetes dikit lah,
Masa hidup enak terus mulus lancar seperti negara maju.
Poin selanjutnya,
Kamu sudah beruntung belajar disini. Kok beruntung?
Iya, kan aku bilang, kamu sudah beruntung belajar di sini.
Yang belajar lo ya, bukan yang gak belajar. Kalau statusnya mahasiswa luar negeri. TKI gak masuk kategori, aku lagi bahas kehidupan mahasiswa hehe.
Kok beruntung? Iyalah.
Tau singa? Singa itu skill-nya beda-beda. Singa di padang lepas dibanding singa dikurung jadi tontonan wah-nya doang di kebun binatang, kira-kira lebih ber-skill siapa?
Jangan cari alasan kalau yang di kebun binatang pariwisata lebih buas skill-nya.
Sama-sekali tidak logis logis, nanti jadi mirip mereka lagi hem.. Ssst. Maksudnya mereka siapa? Di Sensor om.. istilah "O-i"
Menyangkut kode etik
Anak TK pasti juga tahu, singa itu menakutkan. Semakin tumbuh anak taman kanak-kanak nanti, dia pasti semakin tahu. Melihat singa di kandang kebun binatang dengan jarak 5 meter itu gak masalah, lah dia dikurung, diberi makan, tidak mungkin dia bisa makan anak TK itu, kan, udah berkecukupan, broh. Logis.
Kalau yang liar di padang lepas, mau nonton dari jarak 5 meter? Ngelawak om..
Dia tidak dimanja-manja seperti singa kebun binatang, yang diberi makan. Lihat daging sedikit pasti langsung diserbu dengan semangat dan antusias.
Jadi begini,
Kita tetap manusia kok, itu tadi cuma relasi mikir santai saja, tetep santai ya. Baca sambil rebahan enakin posisi lagi. Okey. .
Pasang bantal. Gapunya bantal ya? Duh maaf.
Jadi kita di sini buas, skill jadi terasah, bergantung dengan kampus, kampusnya tidak memberi kejelasan. Masuk kuliah jadwalnya putus-putus. Belum lagi keadaan satu kelas isinya 500 mahasiswa banding satu dosen. Belajar di kelas jadi tidak terkondisikan.
Jadi harus tetap belajar. Belajarnya bagaimana? Cari guru, mulazamah istilah gaulnya. Kalau gak tahu mulazamah jangan ngaku anak gaul, deh.
Banyak kok kulihat yang berguru sama orang dari Yaman, Suriah, Mauritania, dan lain-lain, termasuk guru dari negeri ini sendiri. The best pokoke..
Beda sama yang di kampus cuma ngekor aturan kampus. Tapi aku gak niat menyebutkan kejelekan, hanya menyebutkan perbedaannya saja. Meski gak lengkap, tapi poinnya tetap fokus pada "Beruntungnya kamu belajar di sini."
Kalau kamu di sini nyari guru sendiri, belajar dua orang hadap-hadapan langsung sama guru buat tatap muka tuh beda sentuhannya, bisa juga sewa rumah sama guru itu, bisa ajak teman yang siap konsisten tinggi dan kuat bertahan. Jadi kelihatan yang benar-benar rajin sama yang cuma ikutan belajar aja. Iya kan? Masuk nalar belum?
Begini...
Di sini gak ada yang awasin atau nuntut buat belajar. Kampus? Tahu sendiri kamu juga sering ke ruang ujian baca materi cuma sekilas sebelumnya, kan? Tapi lulus juga, kan?
Apakah itu menjamin akan menghilangkan kebodohan?
Temanku yang kuanggap gak lebih pinter dari aku bisa bilang gitu. Aku sadar juga dari dia.
Makanya kalau mau tambah wawasan edukasi atau materi yang digeluti, solusinya cari ilmu dan guru. Banyak banget di sini, gratis malah. Mau atur jadwal sendiri bersama beliau juga bisa, In syaa Allah beliau siap sedia. Maa sya Allah, kan. .
Bahkan kalau lagi gak punya uang, beliau-beliau akan memberikan fasilitas bus buat para pelajar agar tetap bisa berangkat ke kelas belajarnya. Auto berdecak sebut nama Allah atas keikhlasan guru tersebut.
Jadi keadaan seperti ini akan menampakkan siapa yang sungguh-sungguh belajar dan siapa yang cuma iseng ikut-ikutan.
Menampakkan mana anak manja dan mana si pejuang sejati.
Aku tahu, kalian pasti juga susah makanya, tapi tetap fokus berguru di mulazamah itu yang bmembuatku mendoakanmu diam-diam kepada Allah agar kita dipertemukan di jannah-Nya. Aamiin
Misalnya,
Program wajibnya kuliah diperketat, entah absen atau yang lainnya. Pasti semua kaum rebahan akan terpaksa juga demi.. yaa... demi keterpaksaan itu sendiri.
Jadi deh gado-gado.
Jadi, semua relasi pikiran tersirat dari yang ada di otak ini. Sebenarnya pribadi sendiri ini tidak pintar. Males juga iya. Makanya hanya itu yang mampu kusebutkan. Capek ngetik, malas mikir, sebenarnya masih banyak uneg-unegnya.
Salah satunya yaitu..
Sejengkel-jengkelnya saya pribadi sama semua yang disebutkan di atas. Dari masalah kampus dan lain-lain,
Lebih jengkel sama orang yang sudah sampai sini, pamitan sama keluarganya belajar agama mau jadi ustaz konon katanya, lihat kondisi keadaan di sini, eh malah jadi kaum rebahan dan gak mau belajar. Apalagi dengan percaya dirinya dia merokok di jalanan.
Ntah apa.. itu ustaz.
Namanya ustaz itu meniru ulama, waktunya begitu diperhatikan, musti produktif, sudah hafal surat Al-Ashr juga. Pendek cuma berapa ayat, seharusnya memikirkan tentang waktu, ustaazz.... Jadi geram kan. Maafkan aku.
Tidak usah terlalu mempermasalahkan serangan mental dari kantor imigrasi kampus. Kalau kita jalan lurus di jalan kita sebagai muslim Rabbani, belajar ilmu yang haqiqi, mengenal Rabb ilahi.
Allah akan menuntun langkah kita.
Senyum dong. Nah gitu senyumnya..
Eh tadi ada yang salah,
Teman yang sewa mandub barusan juga bikin story,
"Pakai mandub (calo buat urus surat izin) auto misqueen.."
Pegang uang cuma beberapa lembar fotonya hehe..
Berarti bukan keturunan bangsawan semuanya. Mungkin iya keturunan bangsawan tujuh turunan, tapi dia keturunan kedelapan.
Dan terakhir,
Sebelum penyerahan berkas di akhir kantor imigrasi kali ini, kulihat seorang yang benar-benar ikhlas. Ia dengan pakaian khasnya, gamis berwarna putih, dengan wajah tenang bersenandung Al-Qur’an di kala antrean panjang ratusan orang penuh desakan. Ia tak ikut di desakan itu, mengapa? Ia tahu, jalan Allah paling spesial penuh kejutan untuk hamba-Nya yang jujur dan penuh ketawakalan. Aku tau betul siapa dia. Seorang yang sering kupanggil, “Yaa Syaikh soomali..!” Hari-harinya tak lepas mengulang-ulang seluruh hafalan 30 juz-nya dengan berbagai riwayat qiraat yang ia miliki, "Maka nikmat manakah yang kau dustakan?”
Jangan lupa cari hikmah yang lain yaa..
_______
Salam,
Mahasiswa semester satu - tahun satu IUA.
0 Comments
Posting Komentar