Hukum Perkawinan Wanita Hamil di Luar Nikah dan Status Anak yang Dilahirkan Menurut Empat Mazhab

Oleh Lia Anggreini*

Terjadinya wanita hamil di luar nikah yang hal ini sangat dilarang oleh agama, norma, etika dan perundang-undangan negara, selain karena adanya pergaulan bebas juga karena lemah (rapuhnya) iman pada masing-masing pihak. Oleh karenanya untuk mengantisipasi perbuatan yang keji dan terlarang itu pendidikan agama yang mendalam dan kesadaran hukum semakin diperlukan.

Islam telah mengharamkan zina dan penyebab-penyebabnya seperti ikhtilath (percampuran antara laki-laki dan perempuan) yang diharamkan dan khalwat yang merusak. Islam berusaha dengan sungguh-sungguh agar masyarakat Muslim menjadi masyarakat yang bersih dari berbagai penyakit sosial yang membinasakan.

Berkaitan dengan perkawinan wanita hamil di luar nikah mempunyai beberapa persoalan hukum Islam yang dalam hal ini fuqaha berselisih pendapat mengenai perkawinan itu. Persoalan diantaranya adalah sah atau tidaknya akad perkawinan dengan wanita tersebut, boleh tidaknya mengumpulinya sebagaimana layaknya suami-isteri, kedudukan nasab anak yang dilahirkannya dan wanita hamil yang mempunyai masa ‘iddah atau tidak.

Maka dalam hal ini ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa jika wanita yang dizinai tidak hamil, maka laki-laki yang berzina dengannya atau laki-laki lain boleh menikahinya, dan dia tidak wajib ber’iddah. Jika wanita tersebut hamil maka haram untuk menyetubuhinya. Jika yang menikahinya adalah laki-laki yang berzina dengannya, maka dia boleh menyetubuhinya, dan anak adalah milik laki-laki tersebut jika dilahirkan enam bulan setelah pernikahan. Jika anak tersebut dilahirkan sebelum enam bulan, maka dia bukan anaknya dan tidak mendapatkan warisan darinya. Kecuali jika laki-laki tersebut berkata, “Ini adalah anakku, bukan anak zina.” Berdasarkan pertimbangan untuk menjaga kehormatan anak yang suci tidak membawa dosa dan yang berdosa adalah laki-laki dan ibunya yang menyebabkan kelahirannya sebagai anak zina. Dan untuk menutup aib pada keluarga wanita itu, sebab kehamilan si wanita dan kelahiran si anak tanpa mempunyai suami atau ayah maka sangat tercela di masyarakat, sedangkan Islam menganjurkan orang untuk menutup aib orang lain.

Menurut pendapat ulama mazhab Maliki berpendapat bahwa wanita yang berzina tidak boleh dinikahi dan dia wajib ber’iddah dengan waktu yang ditetapkan jika dia tidak hamil, dan dengan melahirkan kandungan jika dia hamil. Jika memiliki suami, maka suaminya tidak boleh menyetubuhinya sampai ‘iddahnya habis. Dia membebaskan rahimnya dengan tiga kali haid, atau dengan berlalunya waktu tiga bulan.

Menurut pendapat ulama mazhab Syafi’i berpendapat bahwa zina tidak memiliki bagian dalam kewajiban ber’iddah. Sama saja antara wanita yang berzina itu hamil maupun tidak, dan sama saja apakah wanita tersebut sudah mempunyai suami atau tidak. Jika dia mempunyai suami, maka halal bagi suaminya untuk menyetubuhinya secara langsung. Dan jika tidak mempunyai suami, maka boleh bagi laki-laki yang berzina dengannya atau orang lain untuk menikahinya, baik dia hamil atau tidak. Hanya saja menyetubuhinya dalam keadaan hamil hukumnya makruh sampai dia melahirkan.

Selanjutnya menurut pendapat ulama mazhab Hanbali mengharamkan menikahi wanita yang berzina sampai dia membebaskan rahimnya dan bertaubat dari zina. Sama saja baik yang menikahinya adalah yang berzina dengannya atau orang lain.

Lalu bagaimana status anak yang dilahirkan? Pada dasarnya setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan suci dan tidak dibebani sedikitpun dosa oleh perbuatan siapapun termasuk dosa yang dilakukan oleh orang tuanya. Rasulullah Saw. pernah bersabda: “setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci bersih jiwanya, ber-Islam dan ber-iman kepada Allah), namun kedua orang tuanyalah yang menjadikannya penganut agama Yahudi, Nasrani, ataupun Majusi."

Kesucian fitrah mencakup setiap anak, termasuk juga yang dilahirkan akibat hubungan di luar nikah karena agama menilai anak dari wanita hamil di luar nikah dalam hubungannya dengan Allah SWT dalam ibadah dan ketakwaannya maupun sesama manusia dalam muammalahnya mereka sama dengan anak-anak lain yang dilahirkan secara sah akibat hubungan perkawinan yang diakui.

Mengingat tentang pendapat kawin hamil dalam hal ini para fuqaha juga berbeda pendapat dalam hal status kedudukan anak dan akibat hukumnya dari kawin hamil, diantaranya adalah sebagai berikut:

Menurut Imam Hanafi yang membolehkan kawin hamil dengan bersyarat maka status anak dan kedudukan anak zina tetap dinasabkan kepada suami ibunya (bapaknya) tanpa mempertimbangkan lamanya usia kehamilan ibunya. Hal ini karena perkawinannya tersebut sah, maka anak yang lahir dihukumkan sebagai anak yang sah.

Menurut Imam Syafi’i yang membolehkan kawin hamil tanpa syarat maka status dan kedudukan anaknya adalah jika anak zina yang dilahirkan setelah enam bulan dari perkawinan maka anak itu hanya bisa dinasabkan kepada ibunya. Karena keberadaannya dalam kandungan mendahului perkawinan ibunya, maka bayi tersebut termasuk anak zina.

Selanjutnya menurut Imam Hanbali dan Imam Maliki yang menolak tentang kawin hamil, bahwa anak yang dikandung dari wanita hamil akibat zina adalah tetap menjadi anak zina dan anak yang tidak sah yang lahir di luar perkawinan. Maka hal ini anak yang dikandung tidak ada hubungan nasab kepada laki-laki yang mencampuri ibunya secara tidak sah, tidak bisa saling mewarisi antara laki-laki yang mencampuri ibunya dengan anaknya, bahwa akibat dari tidak boleh kawin maka tidak adanya hubungan nasab antara anak zina dengan laki-laki yang mencampuri ibunya tersebut, dan anak tersebut dapat mewarisi hanya kepada pihak ibu dan kerabat ibunya saja, selain itu jika anak yang dilahirkannya adalah anak perempuan maka tidak dapat menjadi wali laki-laki yang mencampuri ibunya tersebut.

Menurut hadits Rasulullah Saw. yang diriwayatkan Jama’ah dari Ibnu Umar bahwa “Seorang laki-laki menuduh isterinya berzina, dan Ia tidak mengakui anaknya, maka Rasulullah Saw. pisahkan antara keduanya, dan hubungan anak itu dengan ibunya.”

Seperti yang telah dikemukakan, dalam masalah anak zina ini mengikuti atau sejalan dengan hadits Rasulullah dan juga pendapat Imam Syafi’i. Sehingga anak yang lahir sesudah enam bulan usia kehamilan pada saat perkawinan, maka dihukumkan sebagai anak sah, bukan anak hasil zina dan nasabnya adalah kepada ayahnya. Sebaliknya apabila anak tersebut lahir sebelum usia kehamilan mencapai enam bulan pada saat perkawinan, maka anak tersebut dihukumkan sebagai anak hasil zina atau anak tidak sah. Sehingga nasib anak tersebut bukan pada ayahnya, tetapi kepada ibunya saja. Jika anak lahir sebelum enam bulan dari perkawinan maka ayahnya berhak menolak anaknya.

Mengingat prinsip untuk menjaga kemurnian keturunan umat manusia adalah masalah yang sangat mendasar dan penting dalam hukum Islam, maka sangat perlu dipegang kehati-hatian dalam memutuskannya, maka prinsip yang harus dipegangi antara lain mengenai akibat hukum anak yang tidak sah atau hasil zina, yaitu dengan memperhatikan bahwa perbuatan zina adalah haram hukumnya, dan anak yang lahir dari perbuatan zina itu adalah anak yang tidak sah menurut hukum. 

*Mahasiswi Program Studi Jurusan Perbandingan Mazhab UINSU Medan, Peserta KKN-DR 2020 Kelompok 123

Posting Komentar

0 Comments

Formulir Kontak