Hati yang Rapuh Butuh Cinta


Oleh Iffah Zehra*

Ini tentang bagaimana aku gemar mengoleksi kenangan, namun juga sangat mudah rapuh untuk bercerita. Ini tentang aku dan kamu saling menyapa. 


Hari ini semua berjalan sebagaimana mestinya hingga matahari tenggelam, namun ada yang berbeda di pikiranku bahkan sejak hari pertama. Ketika aku bangun tadi pagi dan berjalan kaki menuju rumah, aku merasa resah. 


Hari ini sebelum aku paham dengan rasa pilu masa silam tentang hati yang bengkak pada kenyataan, terhitung hari, tanggal, bulan dan tahun. Aku merasa rutinitas ini mulai memudar sejak matahari terbit. Gigi-gigiku kelihatan, rambutku acak-acakan, dan kelihatannya aku tak dapat membicarakannya sekarang. 


Aku melihat kalender di atas meja kecil di samping tempat tidur. Bulan April. Aku termenung. Aku dapat membayangkan percakapan kita dulu di awal bulan April. Ini tentangmu—Eldamar Aprilio!


“Aku merindukanmu,” katamu.

“Hmm.”

“Kenapa bingung?” 


Dan mataku pun langsung membelalak dan berubah menjadi dua mata air. Pagi itu aku tidak tahu harus menjawab apa. Hanya pipiku yang merona dengan bercak kemerahan. 


“Aku ingin kita terikat,” katamu. Aku membeku, pertanda aku paham ke mana arah pembicaraan ini. 


“Bulan April, aku ingin menemui ayahmu.”

“Aku belum punya rumah untukmu, mobil juga belum punya. Aku begini adanya.”

Sungguh, Aku tidak suka mendengar itu. Jadi, aku menepisnya.

“Sudahlah.”

“Bulan April akan menjawab semuanya.” 


Aku terus berandai-andai semoga semua berjalan lancar, hidup bahagia, liburan bersama, keliling dunia dan masih banyak lagi. Dan aku pun kembali mengingat pertemuan pertama kita pada bulan April. 


Kita berjumpa secara tidak sengaja. Tentang kita yang berjumpa di ruang tunggu bandara Solo. Kamu berkenalan denganku karena tidak sengaja melihatku pucat karena belum sarapan. Kamu memberikan biskuit mini kepadaku tanpa aba-aba. Aku merasa beruntung, kamu bahkan menyodorkan satu botol air mineral setelah biskuit. 


Begitulah, hingga akhirnya kamu tahu namaku. Dan aku tahu kedatanganmu ke kotaku adalah untuk menjenguk sahabatmu yang sedang sakit. Katamu, sudah tujuh kali kamu sering berkunjung ke rumah sahabatmu. Ah, kamu begitu sayang pada sahabatmu! 


Kamu semakin kerja keras mengenalku saat aku bilang aku akan lulus dari fakultas kedokteran beberapa bulan lagi. Setelahnya, kamu bahkan datang menghadiri wisuda kelulusanku. 


“Mulai saat ini aku datang ke Solo karena dua orang. Yang pertama adalah sahabatmu dan yang kedua adalah kamu,” katamu saat itu dan aku benar-benar bahagia—



Sayangnya, ketika aku tiba di rumah sepulang memeriksa pasien aku tidak punya gairah melakukan apa pun. Aku berbaring di kamar tidur sambil menatap langit-langit kamar. Aku menghibur diri dalam keheningan dengan caraku sendiri. Jantungku berdegup seratus kata per menit. Aku menarik napas panjang. 


Ya, aku menyadari mataku tak luput dari bingkai fotomu di atas meja kecil di samping tempat tidur. Air mataku jatuh begitu saja. Fotomu itu menyiratkan banyak hal. Aku tidak tahu mengapa aku mencintai sedalam ini. Aku membuka laci meja kecil di bawah bingkai fotomu: masih ada tiket pesawatmu di bulan April, masih ada voucher makananmu saat berada di restoran Solo, dan masih ada kartu ucapan darimu “Selamat Wisuda” khusus untukku. 


Sebelum aku menutup laci itu, aku mengambil rekaman suaramu seperti ini: 


Maafkan aku, Delma.

Aku tak pernah bercerita ini sebelumnya.

Aku menyayangimu, tapi hatiku tertarik dengan wanita lain.  

Aku memperhatikan wanita yang lebih indah darimu.

Dan wanita itu adalah sahabatku sendiri.

Aku tidak tahu, apa perbedaan tertarik dan hawa nafsu.



Yang jelas,

Aku sudah berhubungan lama dengannya.

Tapi aku benci jika orang-orang mengetahui siapa anakku.

Tidak ada pilihan lain.

Aku harus menikahinya..

Seperti itulah yang kurasakan saat ini; menyesal.



Dan ..

Aku bertanya—

Apa perlu aku ulangi rasaku yang dulu padamu?



Tidak perlu.

Sama sekali.



Aku tahu.

Tidak ada harapan.



Selamanya—



Mendengar ini, sekerdip ledakan meteor muncul dan lenyap dalam diriku. Kupikir ini sangat konyol, dan aku menunjukkannya dengan membelokkan mataku, tapi toh aku menghapus air mataku dengan lima jari kananku—hanya supaya air mataku tidak membentuk genangan. Aku seharusnya sudah lupa! 


Bagaimana aku bisa tidak tahu, laki-laki jenis apakah kamu?

Karena aku selalu suka tampilan luar.

dan itu benar-benar liar.

Bagaimana aku tidak bisa, melupakan laki-laki sepertimu?

            Kalau saja aku bertemu denganmu lagi.

            Aku tetap menyayangimu

dan semua telah dimaafkan.

♥ ♥ ♥


*Sekretaris Pelaksana Millennial Connect PPI Dunia 2020

Posting Komentar

0 Comments

Formulir Kontak