Dia yang Datang Bukan Untukku


Oleh Iffah Zehra*

“ … Ingatlah, hanya dengan mengingat (berzikir) kepada Allah hati menjadi tenteram.”

Demikianlah potongam surat Ar’Ra’d ayat 28. Farah berpapasan denganku sambil mengulang ayat ini sebelum pulang kuliah. 

Peringatan tersebut berlaku untuk orang-orang yang mencari cinta hakiki. Ayat selanjutnya mengatakan bahwa orang-orang beriman dan mengerjakan kebaikan itu “mendapatkan kebaikan dan tempat kembali yang baik.” 

Firman Allah yang diawali dengan Alif Lam Mim Ra ini mengabarkan kepada kita semua bahwa kebanyakan manusia tidak beriman kepada Allah tabaroka wa ta’ala dan Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagian (tanda-tanda) kebesaran Allah, hanyalah bagi orang-orang yang mengerti. 

Dan memang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sering berkata, “Perbanyaklah sujud.” Banyak sujud akan menyadarkan kita betapa rendah dan hinanya diri kita sebagai manusia di hadapan Allah tabaroka wa ta’ala. Dan keadaan hamba yang paling dekat kepada Allah tabaroka wa ta’ala adalah ketika sujud. 

Sekarang tentang cinta dan hubungannya dengan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Cinta bagiku seperti sebuah berlian yang harus dijaga kemurniannya. Cinta itu suci, murni, dan abadi. Cinta bukan hanya sebatas lawan jenis. Bukan. Cinta terlalu sempit jika hanya membahas hubungan antara laki-laki dan perempuan. Cinta itu luas. Cinta pada keluarga, agama, bangsa, dan lain sebagainya. Inilah anugerah Allah tabaroka wa ta’ala yang tak akan habis jika diperbincangkan. Satu-satunya masalah cinta adalah kadar kecintaan kita lebih besar dibanding untuk Sang Pencipta. 

“… Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.”

Demikianlah bunyi Surat Ali Imran ayat 31. Oleh karenanya, perempuan haruslah mengasah kecintaan pada Allah tabaroka wa ta‘ala dan juga kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebenarnya, tanda kecintaan pada akhirat adalah membenci keduniaan.

Berawal dari satu tempat pertemuan antara Affan di rumah kami, setelah Isya ayam-ayam jantan dengan tenang bertengger di kandang-kandang mereka. Para anak kecil bersiap-siap untuk tidur di ranjang mereka. Sementara aku, sudah berdandan cantik mengenakan gaun muslimah berwarna pastel. 

Tidak jauh berbeda dengan Farah, sepupuku yang mengenakan busana abaya berwarna peach. Kabarnya, Affan ditemani ayah dan ibunya untuk melamar perempuan. 

Tidak diragukan lagi, Affan pasti berniat mempersuntingku untuk menyempurnakan agama. Alhamdulillah. Aku benar-benar terharu dan tidak menyangka kalau laki-laki yang sangat aku kagumi kesholihannya itu akan datang ke rumah. 

Aku perhatikan, Farah turut bahagia merasakan kebahagiaanku. Bukan hanya itu, ia juga turut memasangkan aksesoris mahkota bunga di atas kepalaku. Jadi, aku sudah mirip putri dongeng. 

Seperti itulah potret ketulusan Farah yang selalu setia menjadi sahabat sekaligus sepupuku. Kadang, aku penasaran mengapa Farah tidak pernah bercerita perihal hubungan cintanya dengan lawan jenis. Ah, mungkin Farah teralu sibuk mengajak Al-Qur’an di madrasah dekat rumah setiap pulang kuliah. Katanya Allah dulu, Allah terus, Allah lagi. Farah, berhati mulia dan itulah yang membuatku sayang sekali pada Farah yang umurnya dua tahun lebih muda dariku.

Affan berperilaku baik. Sangat baik. Sepertinya, Affan sudah ingin bicara sejak tadi. Matanya melihat ayahku saksama seperti kelereng transparan. “Kami datang untuk melamar salah satu putri bapak. Jadi, Affan ini sangat kagum dengan kecerdasan Farah terutama dalam menghafal Al-Qur’an. Untuk itu, bersediakah Farah dan keluarga menerima lamaran ini?” tanya ayah Affan. 

Aku dan Farah yang berada tepat di samping ayah seolah-olah salah dengar. Hatiku menguap. Aliran darahku mencelus cepat. Tapi Farah, mengeratkan jemarinya dan jemariku sambil sedikit meneteskan air matanya. Sesungguhnya, aku benar-benar tidak habis pikir. Bagaimana mungkin selama ini Affan mengira aku dan Farah adalah sepasang kakak-adik kandung? Padahal Farah adalah sepupuku. Farah adalah anak bungsu. Sedangkan aku adalah anak tunggal. 

Aku menarik napas dan mencoba menenangkan diri. Aku, ayah, ibu, dan Farah benar-benar menghadapi situasi yang sensitif. 

Maka dari itu, ayah menjawab, “Pak Umar, Farah adalah sepupu Nadia. Farah sudah ikut kami sejak usianya 10 tahun. Ayah dan ibunya sudah lama berpulang ke Rahmatullah meninggalkan kami semua. Jika berkenan, kami bisa menjadi salah satu wali untuk acara pernikahan Affan dan Farah.”

Di saat-saat terakhir, ayah Affan memberi pernyataan terakhir, “Baiklah Pak Umar. Insya Allah pernikahan akan dilangsungkan dalam waktu dekat.” 

Aku memperhatikan raut wajah Farah yang sejak tadi menunduk. Air matanya masih menetes sedikit-sedikit. Jadi, aku pun memeluknya. Aku yakin, pasti Farah merasa bersalah. Dia merasa tidak enak denganku dan juga ayah dan ibu. 

Tapi, biar bagaimana pun aku harus berlapang dada. Yang aku tahu, Farah selalu penuh harapan mendukungku, memberi semangat, mendengarkan semua curhatanku dan kesedihannya sering disembunyikan. 

Farah Almaida—bersamamu di setiap detik kehidupanku menambah kesyukuran. 

Terima kasih Farah sudah menjadi perempuan pembawa kesejukan untuk rumah kami. Kau tak pernah membebani banyak orang, menghormati dan menjaga persahabatan. 

Farah, dari sekian nasihat yang pernah kau sampaikan padaku, aku paham bahwa menemukan cinta mulia tak bisa dilakukan dengan mengumbar-ngumbar, melainkan menjaganya dalam diam sampai cinta itu halal demi kehormatan diri. 

Sekali lagi, semoga hari ini dan selamanya Allah tabaroka wa ta’ala menguatkan hatiku atas cinta yang memang tak harus dimiliki. 

Tentang Affan, yang bukan digariskan untukku ...

*Sekretaris Pelaksana Millennial Connect PPI Dunia 2020

Posting Komentar

0 Comments

Formulir Kontak