Reorientasi Pancasila


 Oleh Muflihun Abdul Majid*

Diskursus tentang Pancasila telah berlangsung lama antara kelompok yang menerimanya sebatas wawasan mempertahankan diri dalam perseteruan kepentingan kekuasaan dengan sekelompok yang mendambakan perspektif lain yang berorientasi pada pemulihan interpretasi yang jujur untuk menunjukkan bahwa Pancasila itu bisa menjadi daya ungkit yang meningkatkan taraf kehidupan berbangsa yang jujur, adil, rasional dan proporsional.

Sekelompok yang menerima Pancasila sebatas wawasan, bukan sebagai nilai yang diyakini untuk mencari titik pertemuan setiap kelompok memandangnya sebagai barang sakral, lebih mengedepankan Pancasila sebagai ideologi yang tidak memiliki ruang untuk digugat.

Kelompok yang saya maksud adalah Komunis (PKI) termasuk ada dalam bagian yang cenderung menggunakan Pancasila sebagai alat justifikasi dan pertahanan diri dari pengingkaran mereka yang mendasar terhadap nilai Pancasila karena adanya pasal Ketuhanan Yang Maha Esa. Tetapi akan sangat sulit menemukan pertentangan Pancasila dengan islam.

Apa yang tampil dari interpretasi mereka terhadap Pancasila lebih kepada usaha untuk membenturkanya dengan Islam, padahal kelompok Islam sendiri menerima Pancasila itu sebagai nilai dasar menetralkan hubungan tegang yang selama ini terjadi antara negara dengan Islam, itu pun terjadi karena sebuah kesengajaan untuk menciptakan distabilitas sosial yang berujung kepada tuduhan bahwa Islam adalah faktor utama disintegrasi nasional. Manuver semacam ini terus dikembangkan sampai pada puncaknya perseteruan itu di masa Orde Baru dan bahkan bibit itu masih terus dikembangkan sampai hari ini.

Muhammadiyah misalkan, menerimanya sebagai apa yang disebutnya “Daarul Ahdi Was Syahadah” atau konsensus bersama lintas ideologi. Ormas Islam lain pun tidak lebih memandangnya sebagai nilai yang bisa berfungsi sebagai hamparan yang mempertemukan kehendak baik setiap kelompok untuk kebaikan bangsa.

Tetapi lebih dari itu Islam memandang nilai-nilai Pancasila ada dalam kesatuan tujuan berbangsa dan bernegara. Jika sebuah negara sampai pada formulasi mampu mewujudkan tiga komponen utama: merealisasikan hukum yang tegas dan adil, mengintegrasikan simpul-simpul sosial dan budaya yang berbeda serta menyempurnakan inti bangunan bangsa itu dalam merealisasikan kesejahteraan, kebebasan dan keadilan, artinya, tujuan bernegara dalam dalam pandangan itu selesia tertunaikan.

Penjelasan tersebut sebetulnya hanya ingin menegaskan tentang kedudukan Pancasila dalam perspektif Islam yang lebih ingin mengreorientasikan nilainya sebagai kekuatan inti untuk menformulasi tujuan bernegara tersebut, bukan lagi sebatas tema perdebatan yang tidak berujung kepada kemajuan bangsa.

Dalam situasi abnormal yang ditandai kekacauan sosial seperti yang sedang terjadi saat ini bagian dari kegagalan Pancasila ataukah disorientasi implementasinya, ataukah berakar dari salah pandang yang menitik beratkan Pancasila sebagai barang sakral, bukan pada nilainya, atau memang Pancasila tidak memiliki daya ungkit yang memadai untuk reorientasi cita kemakmuran, keadilan, kesetaraan dan religiusitas?

Bahkan lebih jauh kita perlu mengajukan hipotesa untuk menguji peran Pancasila: apakah pancasila Ideologi atau sebagai alat propaganda sosial dan bagaimana relefansi keduanya? Apakah Pancasila berdiri sendiri sebagai sebuah ideologi yang tidak membutuhkan sumber interpretasi lain? Siapakah yang berhak memberi interpretasi atas Pancasila? Apa sumber interpretasi yang paling relefan terhadap Pancasila? Apakah pemerintah punya otoritas mutlak dalam menginterpretasi Pancasila?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut sangat mendasar untuk menggugat kembali keyakinan yang selama ini mengisi dialektika yang tiada berakhir ini.

Kita bisa mengikuti jejak implementasi Pemerintah saat ini dalam pengamalan sila-silanya lebih banyak menggunakan Pancasila sebagai alat propaganda sosial dan juga ngotot memberi interpretasi tunggal dan bahkan mengincar siapa pun yang mengkritik bahwa interpretasinya atas Pancasila itu semata-mata untuk menyempurnakan sandiwara politik.

Sebenarnya Pancasila akan jauh lebih berfungsi jika diposisikan untuk mengharmonisasi antar sila yang didukung oleh political will, sehingga paduan antara kehendak baik dengan idealismenya menyatu mempertemukan sisi yang selama ini diabaikan.

Manuver politik biar bagaimanapun manisnya di depan publik dengan sandiwara yang secanggih apapun jika pada akhirnya tidak mampu mewujudkan kesejahteraan, keadilan dan kebebasan, hanya akan mempertebal rasa kecewa masyarakat.

Bahkan ada kelompok yang tanpa malu bicara keadilan sosial tapi kelaparan, pengangguran, PHK terjadi di mana-mana. Tetapi sayang yang bicara soal itu adalah kelompok yang menjadi bagian dari penindasan sosial yang ada dalam ring pemerintah.

Praktik oligarki bukan lagi isu yang hanya dibicarakan dalam teori kekuasaan, tetapi itu fakta yang disaksikan setiap sudut kota dan pedesaan,

Reorientasi Pancasila harus lebih komprehensif dalam segala lini berbangsa. Sudahkah Pancasila difungsikan untuk mencerdaskan anak-anak dan masyarakat buta huruf? Nyatanya hari ini pendidikan kita tidak menghasilkan manusia-manusia bermartabat. Politik bukan lagi jadi institusi untuk memperbaiki moral, tetapi fakta sebaliknya hanya sebagai serimonial untuk melengkapi pranata Demokrasi.

Ekonomi dalam amanat undang-undang disebutkan bahwa perekonomian Indonesia harus disusun sebagai usaha bersama beradasarkan atas asas kekeluargaan dan kerjasama. Dalam pasal 33 UUD 1945 menyebutkan, “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan.  Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat."

Bercermin dari amanat undang-undang di atas menunjukkan nilai Pancasila sangat kompetibel  jika di-recovery menginterpretasinya pada nilai dan sistem Islam yang keseluruhan ajaranya untuk kemaslahatan manusia.

Tetapi hari ini faktanya lain, cabang-cabang penting perekonomian dikelola negara, yaitu, badan-badan usaha milik negara tidak lebih sekedar alat untuk monopoli; siapa dekat dengan penguasa itu yang mengelola, bukan berdasarkan profesionalitas, itu sama sekali tidak mencerminkan amanat undang-undang. Tenaga profesional yang telah lama berkarir di BUMN disingkirkan karena kritis pada pemerintah.

Jadi, akhirnya Pancasila itu hanya alat propaganda yang dimanfaat penguasa untuk membabat habis lawan-lawan politiknya. Puncaknya hari-hari wabah Covid-19 ini seharusnya pemerintah menunjukkan political will yang nyata. Tetapi jika pemerintah tidak segera mengakhirinya dengan membuat kebijakan untuk semata merawat masa depan bangsa, hanya akan menjadi senjata makan tuan yang akan berakhir tragis.

*Penulis adalah alumni kampus International University of Africa dan Ketua PCI Muhammadiyah Sudan

Posting Komentar

0 Comments

Formulir Kontak