Pendidikan dan Pengajaran

Oleh Amirullah Mukmin

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah yang Mahamulia. Yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak di ketahuinya” (QS. Al-Alaq : 1-5)

Di dalam surah yang penuh berkah ini, terdapat satu sifat Allah yang mulia yaitu sifat pengajaran. Allah memberitahukan kepada kita bahwa sejatinya sifat pengajaran itu harus dimiliki oleh setiap manusia. Sesuai dengan misi Nabi Muhammad SAW yang merupakan suri tauladan yang diutus untuk mengajari seluruh manusia.

“Dialah yang mengutus seorang Rasul kepada kaum yang buta huruf dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayatNya, menyucikan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah (sunnah), meskipun sebelumya mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata” (QS. Al-Jumu’ah : 2)

Nabi Muhammad SAW di utus sebagai pembawa hikmah Al-Qur’an Al-Karim untuk memberi penyadaran dan memperbaiki sendi kehidupan baik moral, spiritual, maupun intelektual seluruh umat manusia. Sudah semestinya sifat-sifat seperti itu ditransformasi ke dalam diri supaya pentas pengajaran terus berlanjut dan perubahan demi perubahan kearah yang lebih baik dapat tercapai.

Tetapi ada satu hal yang perlu dipastikan terlebih dahulu, yakni kompetensi atau kedalaman pengetahuan. Seorang Nabi Muhammad SAW memiliki kelapangan pengetahuan yang dalam. Dengan kedalaman ilmu tersebut Nabi Muhammad sebagai manusia tercerahkan melakukan pengajaran kepada manusia yang terlebih dulu mendakwahi keluarga dan kerabat dekat beliau. Maka kita sebagai manusia biasa perlu melakukan proses belajar dan mendidik diri terlebih dahulu supaya mendapatkan kompetensi atau kedalaman ilmu di suatu bidang.

Sampai pada abad ke-20 ini ilmu pengetahuan berkembang sangat pesat. Seolah-olah untuk menyelesaikan suatu permasalahan tidak cukup hanya dengan satu lintas disiplin ilmu saja. Oleh karena itu diperlukan perhatian khusus untuk mendalami berbagai ilmu pengetahuan. Yakni mendidikan diri untuk jauh lebih displin dan pantang menyerah di dalam proses belajar. Sebab mendalami ilmu juga merupakan salah satu bentuk ibadah kepada Allah SWT dan banyak memiliki berbagai keutamaan, sebagaimana diriwayatkan oleh HR. Muslim no. 1631:

“Jika seorang manusia mati, maka terputuslah darinya semua amalnya kecuali tiga hal, dari sedekah jariyah, ilmu yang diambil manfaatnya, atau doa anak yang sholeh”

Di era milenial yang ditandai dengan transisi ciri masyarakat yang lebih mengedepankan nilai pragmatis bertolak belakang dengan kesemestian menimba dan mendalami ilmu yang harus dilakukan dengan sabar dan ulet. Membangun kebiasaan mempelajari ilmu pengetahuan sungguh tidak bernilai praktis atau mudah seperti memesan makanan melalui aplikasi pesan-antar. Tentu kesabaran dan kesungguhan dalam menuntut ilmu mesti dikedepankan.

Sebagai subjek yang mendalami ilmu pengetahuan, sifat-sifat seperti itu sudah sewajarnya ada dalam diri. Namun nilai moral seperti itu saja tidak cukup, sebab Nabi Muhammad SAW mengajarkan adab yang sangat mulia dalam menuntut ilmu, yakni rasa hormat kepada guru yang telah mengajari pengetahuan. Sebuah hadist yang diriwayatkan oleh At-Tabrani menggambarkan:

“Belajarlah kalian ilmu untuk ketenteraman dan ketenangan serta rendah hatilah pada orang yang kamu belajar darinya.”

Adab-adab mulia seperti itu sangat diutamakan oleh Nabi Muhammad SAW, layaknya orangtua yang mengajari kita berjalan, guru mengajari kita melihat dan memahami persoalan.

Dengan begitu luasnya disiplin pengetahuan, tidak merubah nilai moral dan adab seorang pelajar yang tekun mendalami sebuah disiplin ilmu Setelah itu dengan sendirinya mengamalkan dan mengajari ilmu tersebut menjadi tanggungjawab yang mesti dilakukan, itulah tanggungjawab intelektual. Bukan sekedar untuk menggugurkan kewajiban, tetapi pengamalan dan pengajaran mempunyai manfaat spiritual bagi pribadi dan peradaban. Seperti dijelaskan oleh Al-Qur’an:

“Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia” (Al-Maidah: 32)

Berdasarkan penafsiran yang dinukil dari Mahaguru Ja’far Ash-Shadiq, yang dimaksud oleh ayat ini adalah jika seseorang mampu memberikan petunjuk kepada seseorang yang lain dan mengeluarkannya dari ketidaktahuan dan kesesatan kepada jalan yang lurus, seolah-olah ia telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya. Maka ganjaran mengajari seseorang bernilai sama dengan mengajari penduduk bumi seluruhnya. Yang demikian ini merupakan keistimewaan yang diberikan Allah SWT bagi seseorang yang mengamalkan dan mengajarkan ilmunya.

Pendidikan dan pengajaran layaknya hukum sebab-akibat dalam dunia mantiq, dan keduanya banyak memiliki berbagai keutaman. Untuk memelihara masyarakat dan peradaban menuju perbaikan tentu kedua hal ini perlu di berikan perhatian khusus. Sebab, keduanya memiliki dampak nilai khusus terhadap perubahan moral, intelektual, dan spiritual secara individu maupun sosial.

Posting Komentar

0 Comments

Formulir Kontak