oleh Abdulloh Azam Imaduddin
وَمَا
خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ
“Aku
tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” QS. Adz-Dzariyat : 56
Mengingat
bahwa tujuan utama eksistensi manusia di dunia adalah untuk mewujudkan
peribadatan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, maka sudah seyogyanya
setiap muslim meniatkan semua gerik-geriknya dalam rangka ibadah. Terkhusus
kita sebagai penuntut ilmu. Baik dalam berinteraksi atau berbicara hendaknya disertai keikhlasan hati.
Hal
kedua yang tak kalah penting sebagai seorang muslim, kita dibekali oleh Allah
dua sumber hukum absolut kebenarannya yaitu Al-Quran dan Hadis. Pemahaman
terhadap keduanya tidak boleh sembrono, harus bertopang pada kacamata sahabat
juga ulama. Baik dari kalangan ahli fikih seperti ulama mazhab yang empat
juga ulama ahli hadis seperti Imam Al-Bukhari dan
semisalnya.
Dari
kedua sumber hukum di atas ada yang sifatnya mutlak benar “lafzan” juga “maknan”
seperti Al-Quran karena dinukil sampai kepada kita secara mutawatir. Ada juga
yang masih membutuhkan validasi lebih lanjut dengan indikator yang berlaku, contoh
seperti hadis. Namun dalam perjalanannya ulama ahli hadis sendiri sepakat bahwa kitab
terabsah/paling valid setelah Al-Quran adalah kitab Shahih Al-Bukhari.
Berjejer setelahnya Shahih Muslim dan Sunan Arba’ah.
Hal
ini dirasa perlu di refresh ulang agar tidak terjadi kerancuan sudut pandang. Karena
dengan menyepakati sumber hukum yang mu’tabar (dianggap), memudahkan
kita dalam ranah tarjih antara dua pendapat atau lebih yang saling
bertentangan. Sebagaimana jargon setiap kelompok dan golongan, “Kita berpegang pada Al-Quran dan
Sunah”. Maka dari itu, mari kita uji bersama premis tersebut.
Nyanyian
dan alat musik menurut perspektif Al-Quran dan Sunah di generasi awal Islam:
Allah
Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَمِنَ
ٱلنَّاسِ مَن يَشۡتَرِي لَهۡوَ ٱلۡحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ بِغَيۡرِ
عِلۡمٖ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًاۚ أُوْلَٰٓئِكَ لَهُمۡ عَذَابٞ مُّهِينٞ
“Dan
di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan percakapan kosong untuk
menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa ilmu dan menjadikannya
olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.” (QS. Luqman : 6)
Makna
Lahwal Hadis menurut kaca mata ahli tafsir.
أَنَّهُ
سَمِعَ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مَسْعُودٍ -وَهُوَ يَسْأَلُ عَنْ هَذِهِ الْآيَةِ:
﴿وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ
اللَّهِ﴾ -فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ: الْغِنَاءُ، وَاللَّهِ الَّذِي لَا إِلَهَ إلا
هو، يرددها ثلاث مرات
Disebutkan
dalam Tafsir Ibnu Katsir juga kitab tafsir yang lain, bahwa Abdulloh bin
Masud ketika ditanya tentang makna “Lahwal Hadis” ia mengatakan : “Nyanyian,
demi Allah.” Ia mengulanginya sebanyak tiga kali.
وَكَذَا
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ، وَجَابِرٌ، وعِكْرِمة، وَسَعِيدُ بْنُ جُبَيْر،
وَمُجَاهِدٌ، وَمَكْحُولٌ، وَعَمْرُو بْنُ شُعَيْبٍ، وَعَلِيُّ بْنُ بَذيمة.
Ini
senada dengan pendapat Ibnu Abbas, Jabir, Ikrimah, Said bin Jubair, Mujahid, Makhul,
Amr bin Syuaib, dan Ali bin Badzimah.
Imam
Al-Qurtubi juga membawakan dalam tafsirnya sebuah riwayat dari Abdulloh bin Mas’ud
yang merupakan sahabat senior.
وَرَوَى
شُعْبَةُ وَسُفْيَانُ عَنِ الْحَكَمِ وَحَمَّادٍ عَنْ إِبْرَاهِيمَ قَالَ قَالَ
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ: الْغِنَاءُ يُنْبِتُ النِّفَاقَ فِي الْقَلْبِ
Abdulloh
bin Mas’ud mengatakan : “Nyanyian dapat menumbuhkan ke kemunafikan dalam hati.”
Dan
tidak ditemukan seorang pun ahli tafsir baik dari kalangan sahabat, tabiin,
juga tabiu-t-tabiin yang berani menyelisihi pendapat yang demikian. Mengisyaratkan
kepada kita bahwa generasi awal Islam sepakat bahwa musik dan nyanyian termasuk
hal tercela dan dilarang secara umum.
Mari
kita tinjau dari hadis nabawi.
Hadis
pertama.
وَقَالَ هِشَامُ بْنُ
عَمَّارٍ : حَدَّثَنَا صَدَقَةُ بْنُ خَالِدٍ ،
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ يَزِيدَ بْنِ جَابِرٍ ،
حَدَّثَنَا عَطِيَّةُ بْنُ قَيْسٍ الْكِلَابِيُّ ،
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ غَنْمٍ الْأَشْعَرِيُّ ، قَالَ :
حَدَّثَنِي أَبُو عَامِرٍ أَوْ أَبُو مَالِكٍ
الْأَشْعَرِيُّ ، وَاللَّهِ مَا كَذَبَنِي، سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : " لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ
يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ، وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ
Nabi
shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sungguh akan datang sekelompok
dari umatku yang menghalalkan zina, sutera, minuman keras, dan alat musik.” HR.
Bukhari.
Di
dalam ushul fikih kita mengenal tiga macam mafhum: mafhum mantuq, mafhum
muwafaqah, juga mafhum mukholafah. Bila kita tinjau hadis di atas
melalui mafhum mukholafah maka kita temukan kesimpulan “Alat musik hukumnya
haram.” Kita bisa tahu dari beberapa poin.
1. Dalam
hadis “Alat Musik” disebutkan sebagai ma’tuf (berkaitan) dengan hukum
sutera, khamr, juga zina. Yang ketiganya merupakan hal yang haram bagi umat
muslim kecuali sutera halal bagi perempuan.
2. Jika
alat musik hukumnya mubah, mengapa Nabi mengabarkan akan ada
sekelompok dari umat Islam yang menghalalkannya ? Dari sini sudah tampak
kontradiksi yang sangat jelas, jikalau dikatakan ia mubah dan boleh-boleh saja.
Kabar akan ada penghalalan dari sebagian umat Islam atas “alat musik” merupakan indikasi
bahwasanya alat musik hukum asalnya adalah haram.
Hadis
kedua.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ
بْنُ بَشَّارٍ ، حَدَّثَنَا أَبُو أَحْمَدَ ،
حَدَّثَنَاسُفْيَانُ ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ بَذِيمَةَ ،
حَدَّثَنِي قَيْسُ بْنُ حَبْتَرٍ النَّهْشَلِيُّ ، عَنِ ابْنِ
عَبَّاسٍ ، أَنَّ وَفْدَ عَبْدِ الْقَيْسِ قَالُوا : يَا رَسُولَ اللَّهِ،
فِيمَ نَشْرَبُ ؟ قَالَ : " لَا تَشْرَبُوا فِي الدُّبَّاءِ ،
وَلَا فِي الْمُزَفَّتِ ، وَلَا فِي النَّقِيرِ ،
وَانْتَبِذُوا فِي الْأَسْقِيَةِ ". قَالُوا : يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَإِنِ
اشْتَدَّ فِي الْأَسْقِيَةِ ؟ قَالَ : " فَصُبُّوا عَلَيْهِ الْمَاءَ ".
قَالُوا : يَا رَسُولَ اللَّهِ. فَقَالَ لَهُمْ فِي الثَّالِثَةِ أَوِ
الرَّابِعَةِ : " أَهْرِيقُوهُ ". ثُمَّ قَالَ : " إِنَّ اللَّهَ
حَرَّمَ عَلَيَّ - أَوْ : حَرَّمَ - الْخَمْرَ وَالْمَيْسِرُ وَالْكُوبَةُ ".
قَالَ : " وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ ". قَالَ سُفْيَانُ : فَسَأَلْتُ
عَلِيَّ بْنَ بَذِيمَةَ عَنِ الْكُوبَةِ، قَالَ : الطَّبْلُ
Poin pentingnya:
Sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam: “Sesungguhnya
Allah mengharamkan atasku khamr, judi, dan kubah. Dan setiap yang memabukkan
haram.” Sufyan At-Tsaury bertanya pada Ali bin Badzimah tentang makna “Kubah”.
Ia menjawab: “Gendang kecil (tabuh)”.
HR. Abu Daud. Syaikh Shodiq Al-Hasyimi mengomentari hadis
tersebut “Isnaduhu qawi”.
Hadis semisal juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam
Musnadnya.
Hadis Ketiga
أَخْبَرَنَا عَمْرُو
بْنُ يَحْيَى ، قَالَ : حَدَّثَنَا مَحْبُوبٌ - يَعْنِي ابْنَ
مُوسَى - قَالَ : أَنْبَأَنَا أَبُو إِسْحَاقَ وَهُوَ الْفَزَارِيُّ،
عَنِ الْأَوْزَاعِيِّ قَالَ : كَتَبَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ
الْعَزِيزِإِلَى عُمَرَ بْنِ الْوَلِيدِ كِتَابًا فِيهِ : وَقَسْمُ أَبِيكَ لَكَ
الْخُمُسُ كُلُّهُ، وَإِنَّمَا سَهْمُ أَبِيكَ كَسَهْمِ رَجُلٍ مِنَ
الْمُسْلِمِينَ، وَفِيهِ حَقُّ اللَّهِ وَحَقُّ الرَّسُولِ، وَذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى
وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ، فَمَا أَكْثَرَ خُصَمَاءَ أَبِيكَ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ، فَكَيْفَ يَنْجُو مَنْ كَثُرَتْ خُصَمَاؤُهُ، وَإِظْهَارُكَ
الْمَعَازِفَ وَالْمِزْمَارَ بِدْعَةٌ فِي الْإِسْلَامِ، وَلَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ
أَبْعَثَ إِلَيْكَ مَنْ يَجُزُّ جُمَّتَكَ جُمَّةَ السُّوءِ.
Imam Al Auza'i, ia berkata; “Umar bin Abdul Aziz mengirim
surat kepada Umar bin Walid yang isinya adalah: dan pembagian ayahmu kepadamu
seperlima seluruhnya, sesungguhnya bagian ayahmu seperti bagian seseorang dari
kaum muslimin dan di dalamnya ada hak Allah dan hak rasul, kaum kerabat,
anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan Ibnu Sabil.
Maka betapa banyak penuntut ayahmu pada hari kiamat kelak,
dan bagaimana ia bisa selamat orang yang banyak penuntutnya, dan perbuatanmu melegalkan
alat musik dan seruling termasuk bid'ah dalam Islam dan sungguh aku ingin
mengirim seseorang kepadamu untuk memotong rambutmu yaitu rambut yang buruk.” HR.
Nasa’i dalam kitab Mujtaba (Sunan An-Nasa’i As-Sugra).
Lalu bagaimana pendapat Ulama Empat Mazhab tentang nyanyian
dan alat musik?
1. Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit mengatakan: وأما الغناء فهو
محرم عند سائر الأديان
“Bahwasanya nyanyian itu hukumnya haram dalam semua agama.”
Bahkan ada salah seorang Hanafi berkata : سماع الغناء فسق
والتلذذ به كفر
“Mendengarkan nyanyian merupakan kefasikan dan menikmati saat
mendengarnya bisa membawa kepada kekufuran.”
Dan
dari ulama Hanafiyah yang berfatwa tentang larangan nyanyian dan musik yaitu Muhammad Al-Bazzazi, Zainuddin Al-Kirmani, Ahmad
Thohtowi, dan lain-lain. Juga imam ahli Kufah yang lain seperti Asy-Sya’bi, Hammad bin Abi Sulaiman
(guru Abu Hanifah), dan
Sufyan Ats-Tsaury.
2. Imam Malik bin Anas bin Malik Al-Madani.
سألت مالكا عن سماع الغناء، فقال إنما
يفعل ذلك عندنا الفساق
Salah seorang murid Imam Malik berkata: Aku bertanya kepada
Malik tentang hukum mendengarkan nyanyian. Lalu dia menjawab, “Sesungguhnya dalam
pandangan kami yang melakukannya hanya orang-orang fasik.”
Bahkan Imam Zakariya As-Saji menukil ijma’ atasnya.
Dan
dari ulama Malikiyah yang berfatwa tentang larangan nyanyian dan musik yaitu Ibnu Abdil Bar, Qurthubi, Ibnul Qothon Al-Fasi, dan lain-lain.
3. Imam As-Syafi’i Muhammad bin Idris juga mengatakan dalam
kitab Adabul Qodho’: الغناء لهو مكروه يشبه الباطل ومن استكثر منه فهو سفيه ترد
شهادته
“Nyanyian
itu merupakan tipu daya yang dibenci, mendekati batil, dan barang siapa yang
menyibukkan diri dengannya termasuk orang bodoh, kesaksiannya ditolak.”
Perlu
dipahami bahwa penggunaan kata makruh dalam siyaq ulama dahulu yang
dimaksud adalah dilarang. Dan memahami makna makruh di sini sesuatu yang boleh
adalah salah kaprah.
Ibnu
Nuhas mengatakan dalam kitabnya Tanbihul Ghofilin:
ونهى عن تعليم الصبيان الغناء وعن تعليم المغنيات
وعن ثمن المغنية وعن أجرة المغنية.
“Dan dilarang mengajarkan anak-anak
kecil bernyanyi dan mengajarkannya untuk menjadi penyanyi. (juga dilarang) membeli
budak perempuan penyanyi dan memberinya upah.”
Dan
dari ulama Syafi’iyah yang berfatwa tentang larangan nyanyian dan musik yaitu
Ibnu Sholah, Al-Izz bin Abdissalam, Ibnu Hajar Al-Haitami dan Al-Iraqi, dan
lain-lain.
4. Imam
Ahmad bin Muhammad bin Hanbal. Abdulloh anak beliau suatu ketika bertanya
kepada ayahnya tentang hukum nyanyian. Imam Ahmad menjawab : ينبت النفاق في القلب، لا يعجبني
“Nyanyian
bisa menumbuhkan kemunafikan dalam hati, dan aku sama sekali tidak tertarik
dengannya.”
Dan
dari ulama Hanabilah yang berfatwa tentang larangan nyayian dan musik yaitu
Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qoyyim, Ibnu Rajab, Ibnu Muflih, dan
lain-lain.
Ini
disebutkan dalam Mabhas fii hukmil ma’azif wal ghina’ al-khobits yang
ditulis oleh Syaikh Shodiq bin Abdillah Al-Hasyimi juga beberapa tambahan dari kitab
lain.
Apakah
ada pengecualian tentang larangan nyanyian dan alat musik?
Ketika
kita membaca kitab-kitab hadis kita akan temukan ternyata ada beberapa
munasabah yang di dalamnya diperbolehkan bernyanyi dan bermain alat musik.
Namun bukan semua alat musik, hanya “Duff” atau Rebana.
Diriwayatkan
dalam Shahih Al-Bukhari dalam kitab An-Nikah, beliau membawakan bab “Memainkan
rebana ketika nikah dan walimah”.
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ ،
حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ الْمُفَضَّلِ ، حَدَّثَنَاخَالِدُ بْنُ
ذَكْوَانَ ، قَالَ : قَالَتِ الرُّبَيِّعُ بِنْتُ مُعَوِّذِ ابْنِ
عَفْرَاءَ : جَاءَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَدَخَلَ
حِينَ بُنِيَ عَلَيَّ، فَجَلَسَ عَلَى فِرَاشِي كَمَجْلِسِكَ مِنِّي، فَجَعَلَتْ
جُوَيْرِيَاتٌ لَنَا يَضْرِبْنَ بِالدُّفِّ، وَيَنْدُبْنَ مَنْ قُتِلَ مِنْ
آبَائِي يَوْمَ بَدْرٍ، إِذْ قَالَتْ إِحْدَاهُنَّ : وَفِينَا نَبِيٌّ يَعْلَمُ
مَا فِي غَدٍ. فَقَالَ : " دَعِي هَذِهِ، وَقُولِي بِالَّذِي كُنْتِ
تَقُولِينَ ".
Ar-Rubayyi'
binti Mu'awwidz bin 'Afran berkata; suatu ketika, Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam dan masuk saat aku membangun mahligai rumah tangga (menikah). Lalu
beliau duduk di atas kasurku, sebagaimana posisi dudukmu dariku. Kemudian para
budak-budak wanita pun memukul rebana dan mengenang keistimewaan-keistimewaan
prajurit yang gugur pada saat perang Badar. Lalu salah seorang dari mereka pun
berkata, "Dan di tengah-tengah kita ada seorang Nabi, yang mengetahui apa
yang akan terjadi esok hari." Maka beliau bersabda: "Tinggalkanlah
ungkapan ini, dan katakanlah apa yang ingin kamu katakan."”
Masih
di dalam kitab nikah, Imam Al-Bukhari juga membawakan bab “Seorang istri yang
menghadiahkan perempuan (untuk dinikahi) suaminya.”
حَدَّثَنَا الْفَضْلُ بْنُ يَعْقُوبَ ،
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَابِقٍ ،
حَدَّثَنَا إِسْرَائِيلُ ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ ،
عَنْ أَبِيهِ ، عَنْ عَائِشَةَ ، أَنَّهَا زَفَّتِ امْرَأَةً
إِلَى رَجُلٍ مِنَ الْأَنْصَارِ، فَقَالَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ : " يَا عَائِشَةُ، مَا كَانَ مَعَكُمْ لَهْوٌ ؛ فَإِنَّ
الْأَنْصَارَ يُعْجِبُهُمُ اللَّهْوُ ؟ ".
Dari Aisyah bahwa ia menyerahkan pengantin wanita kepada seorang
laki-laki dari kalangan Anshar. Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pun
bersabda: "Wahai Aisyah, apakah tidak ada hiburan, sebab orang-orang
Anshar senang akan hiburan?."
Jika memandang secara dzohir hadis kita akan menyimpulkan
bahwa musik dan nyanyian boleh-boleh saja. Namun bila kita kaitkan hadis demi hadis
tentu maksudnya tidak serta merta demikian. Ada banyak dhowabit yang perlu
di-mura’ah (diperhatikan).
Imam
Ahmad bin Abdil Halim mengatakan dalam Majmu’ Fatawa:
والمعازف
هي آلات اللهو عند أهل اللغة وهذا اسم يتناول هذه الآلات كلها. ولهذا قال الفقهاء:
أن من أتلفها فلا ضمان عليه إذا أزال التالف المحرم وإن أتلف المالية ففيه نزاع
ومذهب أحمد المشهور عنه. ومالك أنه لا ضمان في هذه الصور أيضا وكذلك إذا أتلف دنان
الخمر وشق ظروفه وأتلف الأصنام المتخذة من الذهب كما أتلف موسى عليه السلام العجل
المصنوع من الذهب وأمثال ذلك.
“Dan Ma’azif adalah alat-alat
melalaikan menurut ahlul lughoh (ahli bahasa). Dan istilah ini meliputi
semua alat-alat (musik). Oleh karena itu para ahli fikih mengatakan: Bahwasanya
yang menghancurkannya tidak wajib mengganti. Namun bila barang tersebut masih
bernilai (bisa dipakai selain untuk bermusik), maka terdapat perbedaan pendapat
dalam mazhab Ahmad. Dan dalam mazhab Malik tetap tidak wajib mengganti.
Demikian juga bila merusak bejana emas yang dipakai untuk minuman khamr, dan
memecahkan sisi-sisinya, juga menghancurkan patung-patung yang terbuat dari
emas sebagaimana dahulu Nabi Musa menghancurkan patung-patung emas dan yang
semisalnya.”
Lalu muncul pertanyaan, apakah hanya dikhususkan untuk
perempuan saja atau juga berlaku untuk laki-laki ?
Imam Ibnu Hajar Al-Asqolani berkata di dalam kitab Fathul Bari saat menanggapi hadis
di atas:
والأحاديث القوية فيها الإذن
في ذلك للنساء فلا يلتحق بهن الرجال؛ لعموم النهي عن التشبه بهن.
“Dan hadis-hadis (yang sanadnya) kuat menunjukkan bahwa hal tersebut
(bermain rebana) hanya boleh untuk perempuan dan tidak diperbolehkan untuk
laki-laki. Sebab terdapat larangan bagi laki-laki menyerupai perempuan.”
Para
ulama kemudian ber-istinbat bahwa memainkan rebana dilarang kecuali
beberapa munasabah seperti walimatul urs, ‘iedain (Idul Fitri dan
Adha), acara aqiqah atau untuk menyambut seseorang yang dimuliakan, juga
saat perang untuk membangkitkan semangat pasukan.
Adapun
riwayat-riwayat lain yang menyebutkan selain dari munasabah di atas kami
memandang tidak perlu kita sebutkan di sini satu persatu karena banyak hadis-hadis
yang dibawakan ma’lul (dhoif) yang dinukil dari kitab Ihya
Ulumuddin karya Imam Al-Ghozali. Dan dengan mencukupkan diri dengan riwayat
yang shahihah lebih aslam (selamat) dan aqna’(memuaskan).
Bagaimana
dengan syair dan qasidah, bukankah juga menyerupai nyanyian?
Syair
sendiri dibolehkan dalam Islam selama tidak mengandung sesuatu yang diharamkan.
Imam Al-Bukhari menyebutkan dalam kitab Maghozi:
Hadis
pertama;
حَدَّثَنَا
الْحَجَّاجُ بْنُ مِنْهَالٍ أَخْبَرَنَا شُعْبَةُ قَالَ أَخْبَرَنِي عَدِيٌّ
أَنَّهُ سَمِعَ الْبَرَاءَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِحَسَّانَ اهْجُهُمْ أَوْ هَاجِهِمْ وَجِبْرِيلُ
مَعَكَ وَزَادَ إِبْرَاهِيمُ بْنُ طَهْمَانَ عَنْ الشَّيْبَانِيِّ عَنْ عَدِيِّ
بْنِ ثَابِتٍ عَنْ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ قُرَيْظَةَ لِحَسَّانَ بْنِ ثَابِتٍ اهْجُ
الْمُشْرِكِينَ فَإِنَّ جِبْرِيلَ مَعَكَ
Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepada Hassan: "Seranglah
mereka, atau hancurkanlah mereka, karena Jibril selalu bersamamu".
Hadis
kedua;
حَدَّثَنِي
أَحْمَدُ بْنُ عُثْمَانَ حَدَّثَنَا شُرَيْحُ بْنُ مَسْلَمَةَ قَالَ حَدَّثَنِي
إِبْرَاهِيمُ بْنُ يُوسُفَ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ قَالَ
سَمِعْتُ الْبَرَاءَ بْنَ عَازِبٍ يُحَدِّثُ قَالَ لَمَّا كَانَ يَوْمُ
الْأَحْزَابِ وَخَنْدَقَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
رَأَيْتُهُ يَنْقُلُ مِنْ تُرَابِ الْخَنْدَقِ حَتَّى وَارَى عَنِّي الْغُبَارُ
جِلْدَةَ بَطْنِهِ وَكَانَ كَثِيرَ الشَّعَرِ فَسَمِعْتُهُ يَرْتَجِزُ بِكَلِمَاتِ
ابْنِ رَوَاحَةَ وَهُوَ يَنْقُلُ مِنْ التُّرَابِ يَقُولُ اللَّهُمَّ لَوْلَا
أَنْتَ مَا اهْتَدَيْنَا وَلَا تَصَدَّقْنَا وَلَا صَلَّيْنَا فَأَنْزِلَنْ
سَكِينَةً عَلَيْنَا وَثَبِّتْ الْأَقْدَامَ إِنْ لَاقَيْنَا إِنَّ الْأُلَى قَدْ
بَغَوْا عَلَيْنَا وَإِنْ أَرَادُوا فِتْنَةً أَبَيْنَا قَالَ ثُمَّ يَمُدُّ
صَوْتَهُ بِآخِرِهَا
Al
Barra` bin Azib bercerita, dia berkata, "Pada waktu perang Ahzab atau
Khandaq, aku melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengangkat
tanah parit, sehingga debu-debu itu menutupi kulit beliau dari (pandangan) ku,
saat itu beliau bersenandung dengan bait-bait syair yang pernah diucapkan oleh
Ibnu Rawahah, sambil mengangkat tanah beliau bersabda: 'Ya Allah, seandainya
bukan karena-Mu, maka kami tidak akan mendapatkan petunjuk, tidak akan
bersedekah dan tidak akan melakukan shalat, maka turunkanlah ketenangan kepada
kami, serta kokohkan kaki-kaki kami apabila bertemu dengan musuh. Sesungguhnya
orang-orang musyrik telah berlaku semena-mena kepada kami, apabila mereka
menghendaki fitnah, maka kami menolaknya.' Beliau menyenandungkan itu sambil
mengeraskan suara di akhir baitnya."
Imam
Muslim dalam kitab shahihnya juga membawakan riwayat bahwa Rasulullah suka
mendengarkan syair:
، حَدَّثَنَا عَمْرٌو النَّاقِدُ وَابْنُ أَبِي عُمَرَ ،
كِلَاهُمَا عَنِ ابْنِ عُيَيْنَةَ ، قَالَ ابْنُ أَبِي عُمَرَ :
حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ مَيْسَرَةَ ،
عَنْ عَمْرِو بْنِ الشَّرِيدِ ، عَنْ أَبِيهِ ، قَالَ :
رَدِفْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا، فَقَالَ :
" هَلْ مَعَكَ مِنْ شِعْرِ أُمَيَّةَ بْنِ أَبِي الصَّلْتِ شَيْءٌ ؟ ".
قُلْتُ : نَعَمْ. قَالَ : " هِيهِ ". فَأَنْشَدْتُهُ بَيْتًا،
فَقَالَ : " هِيهِ ". ثُمَّ أَنْشَدْتُهُ بَيْتًا، فَقَالَ : "
هِيهِ ". حَتَّى أَنْشَدْتُهُ مِائَةَ بَيْتٍ.
“Pada
suatu hari aku dibonceng oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, lalu
beliau bertanya kepadaku; 'Apakah kamu hafal syairnya Umayyah bin Abu Shalt?
Aku menjawab; 'Ya.' Kata beliau; 'Lantunkanlah untukku! ' lalu aku
melantunkannya satu bait syair. Kemudian beliau berkata; 'Tambah lagi! Kemudian
aku lantunkan lagi. Namun beliau berkata; 'Tambah lagi! ' hingga aku
melantunkannya sebanyak seratus bait.”
Imam
An-Nawawi ketika mensyarah hadis di atas mengatakan:
ففيه جواز إنشاد الشعر الذي
لا فحش فيه وسماعه
“Di
dalamnya terdapat bolehnya bersyair atau mendengarkannya selama tidak terdapat di
dalamnya perkara yang keji.”
Namun
Imam Ibnul Abidin Al-Hanafi mengingatkan kembali, mengatakan:
وما نقل أنه - عليه الصلاة والسلام - سمع الشعر لم يدل على إباحة الغناء. ويجوز حمله على الشعر المباح المشتمل
على الحكمة والوعظ
“Dan
apa-apa yang dinukilkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam
mendengarkan syair tidak menunjukkan atas ibahah (bolehnya) nyanyian.
Dan bisa dimaknai syair yang diperbolehkan adalah yang berisi hikmah juga
pelajaran.”
Lalu
untuk apa Allah memberikan saya suara yang bagus kalau bukan untuk bernyanyi?
Dalam
hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Ashabussunan Rasulullah Shallallahu
alaihi wasallam bersabda :
ليس
منا من لم يتغن بالقرآن
“Bukan
termasuk golongan kami orang yang tidak bersenandung dengan Al-Quran.”
Dalam
riwayat lain yang diriwayatkan Imam
An-Nasa’i, Abu Daud, Ad-Darimi, dan Imam Ahmad dalam musnadnya, juga Imam
Bukhari dalam tabwibnya, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
زَيِّنُوا
الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ
“Hiasi
Al-Qur’an dengan suara-suara kalian.”
Dan
kata perintah pada asalnya menunjukkan suatu kewajiban.
Karena
itu Imam An-Nawawi membawakan dalam kitabnya Tibyan fii Adabi Hamalatil Quran sebuah atsar:
قيل
لابن أبي مليكة أرأيت إذا لم يكن حسن الصوت فقال يحسنه ما استطاع في استحباب طلب
القراءة الطيبة من حسن الصوت
Dikatakan
kepada Ibnu Abi Mulaikah, “Bagaimana pendapatmu jika
seseorang tidak mempunyai suara yang tidak bagus?” Ia menjawab: “Berusaha
memperbagusnya sebisa mungkin dalam membaca (Al-Quran) dengan bagus melalui
suara (kita).”
Kesimpulannya
kita tetap bisa memanfaatkan suara bagus yang kita miliki untuk bersenandung
bersama Al-Quran. Menjadi seorang qari atau pengajar Al-Quran.
Lalu
kapan awal mula narasi tentang bolehnya musik secara umum mulai didengungkan padahal
di awal generasi Islam secara umum dilarang?
Sejauh
yang kami dapatkan, orang pertama yang memulainya adalah Imam Ibnu Hazm
Adh-Dhohiry Al-Andulisy yang wafat tahun 456 H. Itu berati fikrah ini
baru muncul 3 abad setelah generasi terbaik umat Islam berlalu.
Perlu
dipahami bersama bahwa Ibnu Hazm adalah seorang ahli fikih yang masyhur dengan
madzhab dhohiri. Namun beliau tidak makruf kredibilitasnya dalam bidang hadis.
Maka menjadi pertanyaan besar ketika beliau berani mendhoifkan (melemahkan) hadis
riwayat Imam Bukhari yang sudah kami sebutkan sebelumnya. Padahal para imam
ahli hadis seperti Imam Ali bin Abdillah Al-Madini, Imam Ahmad bin Muhammad bin
Hambal, dan Imam Yahya bin Ma’in bersepakat atas keshahihannya.
Kemudian
datang setelah beliau ulama-ulama yang mengambil pendapat tersebut. Yang
masyhur dari kalangan muashirin (ulama kontemporer) adalah Syaikh Yusuf
Qardhowi Hafidzohullah.
Beliau
mengatakan dalam kitabnya Al-Halal wal Haram:
والتي
راه : أن الغناء في ذاته لا حرج فيه ، وهـو داخل فـي جملة الطيبات أو المستلذات
التي أباحها الإسلام ، وأن الإثم إنما هو فيما يشتمل عليه ، أو يقترن به من
العوارض ، التي تنقله من دائرة الحل إلى الحرمة، أو الكراهة التحريمية
“Dan
saya memandang bahwasanya nyanyian pada hakikatnya tidak ada masalah. Dan dia
termasuk dari hal kebaikan dan kesenangan yang diperbolehkan oleh Islam. Dan letak
dosanya sebenarnya ada pada sesuatu yang terkandung di dalamnya atau yang
menyertainya yang kemudian membuatnya dari halal menjadi haram atau karohah
tahrimiyah.”
Tanpa
mengurangi rasa hormat kami terhadap luasnya keilmuan beliau, kami katakan
sebagaimana yang telah dinukilkan, ijtihad beliau kali ini salah, karena
menyelisihi ijma’ ulama terdahulu, juga menyelisihi ayat Al-Quran juga hadis-hadis
shohihah. Lebih dari itu juga menyelisihi pendapat ulama empat mazhab.
Dan kami merasa tidak perlu berpanjang lebar mengurai satu persatu sanggahan
dari sisi yang membolehkan karena dalil dan hujjah yang dipakai begitu
lemah. Semoga Allah selalu memberikan kita hidayah untuk mengikuti kebenaran.
Memang
benar seperti yang kita saksikan hari ini hampir tidak ada satu sisi kehidupan
kita yang terhindar dari musik. Baik kantor, pabrik, sekolah, tempat perkuliahan,
dan institusi lainnya selalu ada musik di dalamnya. Demikian juga di televisi, smartphone, media
sosial parasit satu ini sulit dihindari.
Dan
dari sini benih kerancuan tersebut mulai tumbuh. Maka dari itu perlu kita
tekankan bersama bahwa ketidakmampuan kita dalam menghindari sesuatu yang haram
tidak bisa dijadikan alat legitimasi kita untuk mengatakan sesuatu yang haram
menjadi halal. Dan kaidah ini juga berlaku sebaliknya.
Ketidakmampuan
seorang pezina untuk menjauhi zina bukan sebuah alasan dia mengatakan zina itu boleh-boleh
saja. Seorang rentenir yang hidupnya bertopang pada bunga-bunga ribawi tidak
bisa dijadikan dalil bahwa riba menjadi halal. Begitu juga seorang penggemar
musik atau musisi tidak bisa mengatakan musik adalah legal dalam Islam hanya
karena keseharian dia dan orang di sekitarnya dihabiskan bermain musik.
Banyak
orang mengikuti fatwa salah tentang bolehnya nyanyian dan bermusik salah
satunya karena hal tersebut, meski sudah jelas merobohkan sendi-sendi dan fondasi
keilmuan mereka sendiri. Orang yang bermazhab Syafi’iyah misalnya akan berusaha
mati-matian mencari dalil atas bolehnya bernyanyi dan bermusik hanya karena kesehariannya
sulit dilepaskan dari musik itu sendiri meski ia tahu pendapat mu’tamad
dalam mazhab Syafi’i musik dilarang.
Pertanyaan
terakhir yang timbul.
Jika
memang benar bermusik itu haram mengapa beberapa ulama tidak menyebut tasrihan
(secara terang-terangan) bahwa musik itu haram?
Pertama,
karena ada pengecualian dari larangan di atas dalam munasabah tertentu sebagaimana
yang sudah kami jabarkan sebelumnya.
Kedua,
sebagaimana riwayat yang dibawakan oleh Imam Ibnu Rajab dalam Jami’ Ulum wal
Hikam.
وقال
النخعي: كانوا يكرهون أشياء لا يحرمونها
Imam Ibrahim An-Nakho’i mengatakan :
“Dahulu para ulama memilih memakruhkan (membenci) sesuatu dan tidak
mengatakannya haram.”
وقال
جعفر بن محمد: سمعت رجلا يسأل القاسم بن محمد: الغناء أحرام هو؟ فسكت عنه القاسم،
ثم عاد، فسكت عنه، ثم عاد، فقال له: إن الحرام ما حرم الله في القرآن,
أرأيت إذا أتي بالحق والباطل إلى الله، فأيهما يكون الغناء؟ فقال الرجل: في
الباطل، فقال: فأنت، فأفت نفسك.
Dan Ja’far bin Muhammad mengatakan :
aku mendengar seseorang bertanya kepada Al-Qosim bin Muhammad (bin Abu Bakar Ash-Shiddiq,
satu dari tujuh fukaha Madinah) ; “Apakah nyanyian itu haram?” Maka Al-Qosim
memilih diam, kemudian dia ulangi pertanyaan tersebut dan dia tetap diam.
Kemudian diulangi lagi dan Al-Qosim menjawab : “Sesungguhnya sesuatu yang haram
adalah yang Allah haramkan dalam Al-Quran. Bagaimana pendapatmu bila Allah
mendatangkan Kebenaran dan Kebatilan. Maka di manakah kira-kira letak nyanyian
? Laki-laki itu menjawab; “Termasuk yang batil.” Al-Qosim kemudian mengatakan; “Maka
perhatikan dan jaga baik-baik dirimu.”
Dari penjabaran di atas dapat kita
tarik kesimpulan:
1. Secara umum bernyanyi dan memainkan
alat musik dalam Islam dilarang bahkan beberapa ulama menukil ijma’ tentang
keharamannya.
2. Semua jenis alat musik hukumnya
haram kecuali rebana.
3. Beberapa munasabah yang
diperbolehkan bermain rebana seperti walimatul urs (pesta pernikahan), ‘iedain (Idul Fitri dan
Ad’ha), acara aqiqah atau untuk menyambut seseorang yang dimuliakan,
juga saat perang untuk membangkitkan semangat pasukan.
4. Syair
diperbolehkan dalam Islam selama tidak terdapat di dalamnya kemaksiatan atau
yang menjurus ke sana.
5. Kita diperintahkan memperbagus suara
ketika membaca Al-Quran.
6. Ketidakmampuan
kita dalam menghindari sesuatu yang haram tidak bisa dijadikan alat legitimasi
kita untuk mengatakan sesuatu yang haram tersebut menjadi halal atau boleh-boleh
saja.
Kami tutup dengan firman Allah Azza
wa Jalla dalam surah An-Nahl.
وَلَا
تَقُولُواْ لِمَا تَصِفُ أَلۡسِنَتُكُمُ ٱلۡكَذِبَ هَٰذَا حَلَٰلٞ وَهَٰذَا
حَرَامٞ لِّتَفۡتَرُواْ عَلَى ٱللَّهِ ٱلۡكَذِبَۚ إِنَّ ٱلَّذِينَ يَفۡتَرُونَ
عَلَى ٱللَّهِ ٱلۡكَذِبَ لَا يُفۡلِحُونَ
“Dan janganlah
kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta ”Ini
halal dan ini haram,” untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah.
Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidak akan
beruntung.”
Semoga Allah selalu memberikan kita kekuatan
beristiqomah dalam ketaatan dan kemampuan menjauhi keburukan. Sekian semoga bermanfaat.
Jazakumullahu khairan.
Referensi:
1. Al-Qur’an.
2. Jami’
Ash-Shahih, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari.
3. Shahih
Muslim.
4. Sunan
Abi Daud.
5. Al-Mujtaba/Sunan
An-Nasa’i.
6. Musnad,
Imam Ahmad.
7. Sunan
Ad-Darimy
8. Tafsir
Al-Qurthubi, surah Luqman ayat 6.
9. Tafsir
Ibnu Katsir, surah Luqman ayat 6.
10. Mabhas
fii hukmil ma’azif wal ghina’ al-khobits, Syaikh Shodiq bin Abdillah Al-Hasyimi.
11. Al-Ghina
wal Musiqi Sya’biyah min mandzurin islami ‘indal Imam Al-Ghozali, Dr. Jabr
Khadhir Batawi Palestini.
12. Majmu’
Fatawa, Ibnu Taimayah.
13. Fathul
Baari bisyarhi shohihul bukhari, Ibnu Hajar Al-Asqolani.
14. Syarh
Shahih Muslim, Imam An-Nawawi.
15. Ad-Darul
Mukhtar wa Hasyiatul Ibni Abidin.
16. Tanbihul
Ghofilin, Ibnu Nuhas.
17. Jamiul
Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al-Hanbali.
18. Tibyan
fii Adabi hamalatil Quran, Imam An-Nawawi.
19. Al-Halal
wal Haram, Dr. Yusuf Qardhowi.
1 Comments
BalasHapusJasa Aqiqah Jakarta
Posting Komentar