Oleh: Muhammad Hilmy
Yusuf Attamimi
Dalam peradaban Arab ketika terjadi peristiwa penerjemahan
besar-besaran yang mana peristiwa sejarah itu dikenal dengan nama Ta'sis al-
Bait al-Hikmah pada masa dinasti Abbasiyyah, istilah museque (suara-suara
yang memiliki keselarasan dalam irama) yang dimiliki oleh peradaban Yunani ini
berasimilasi ke dalam bahasa Arab dan dalam perjalanannya digantikan oleh kata al-ghina
untuk mengungkapkan makna yang serupa. Para fukaha memilih istilah al-ghina
untuk mewakili kata musik sebagaimana yang mereka jelaskan al-ghina
adalah tarik suara yang mengandung estetika vokal dengan metode lagu. Sedangkan
dalam KBBI musik diartikan sebagai ilmu atau seni menyusun nada atau suara dalam urutan, kombinasi, dan
hubungan temporal untuk menghasilkan komposisi suara yang mempunyai kesatuan
dan kesinambungan.
Pro-kontra tentang hukum musik masih bergulir. Biarpun perselisihan ini
dimulai ratusan tahun yang lalu, tetap saja ada hal-hal yang belum selesai
dalam pencetusan hukum musik: adakah dianjurkan, diperbolehkan, atau haram
dilakukan. Yang perlu diingat bahwa dalam konteks fikih, jika terdapat banyak
perbedaan dalam pandangan fukaha, seringkali hal itu bermula dari tidak
ditemukannya dalil tegas yang bisa dijadikan sebagi acuan. Karena diakui atau
tidak, ayat-ayat Al-Quran dan hadits Nabi Saw. acap kali menjelaskan
permasalahan tidak secara gamblang. Keremangan keduanya sering membuat orang
tidak dapat menangkap maksudnya dengan mudah, mempunyai gambaran yang kabur,
atau justru salah. Munculnya berbagai macam pandangan dalam hukum fikih bermula
dari dalil-dalil yang masih bersifat dhanniy (prasangka). Sehingga
ketika teks itu berhadap-hadapan dengan akal (pertimbangan logika), sangat
mungkin terjadi perbedaan pendapat (khilafiyah), yang sayangnya
seringkali tak dapat dihindari. Dan permasalahan yang pelik akhirnya akan
datang mengurai masing-masing pilihan. Penguraian masalah nampaknya mudah:
mencari dilalah (pertanda, dalil) di dalam keterangan-keterangan ilahiyah
(wahyu), baik Al-Quran maupun Hadits. Jika perlu, bisa berlanjut pada
pengkomparasian dalil wahyu dengan peran nalar, baik ijma' (konsensus,
kesepakatan bersama) hingga qiyas (silogi, perbandingan dengan kasus
lain). Namun, jika memang terbilang mudah, nyatanya, uraian
penentangan-persetujuan ini telah menyita banyak waktu dan energi para ulama,
sejak kurun salaf (lampau) hingga khalaf (kontemporer).
Kebanyakan bahkan menganggap belum selesai hingga kini.
Ulama yang berpendapat haram mengunakan landasan hukum dalam Al-Quran Surat
Luqman, Ayat 6
وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَشۡتَرِي لَهۡوَ ٱلۡحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ بِغَيۡرِ عِلۡمٖ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًاۚ أُوْلَٰٓئِكَ لَهُمۡ عَذَابٞ مُّهِينٞ
"Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan percakapan
kosong untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa ilmu dan
menjadikannya olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan".
Seperti halnya kebiasaan Allah swt. tatkala menurunkan firman-Nya, ayat ini
turun sebagaimana riwayat Ibn Abbas bermula dari suatu peristiwa Nadlr bin
al-Harits, salah seorang kafir, membeli seorang budak perempuan yang mahir
bernyanyi. Setelahnya, Nadlr pergi dengan membawa budak itu untuk mendatangi
seseorang yang hendak masuk agama Islam. Segera ia berkata pada biduan barunya
itu, "Berilah orang itu makan. suguhilah minuman dan
bernyanyilah untuknya!". Setelah itu ia melanjutkan rencananya, yang
terkesan licik dan buruk dengan berkata kepada tamunya, “Sungguh tindakan
seperti ini jauh lebih baik daripada ajakan Muhammad untuk melaksanakan shalat,
menunaikan puasa dan berperang di hadapannya.” Kemudian, untuk menjadikannya
tendensi atas hukum bernyanyi. para ulama memilah secara tekstual ayat di atas. Setidaknya, ada empat teks yang menjadi persoalan pokok yang muncul dan
menjadi bahan perdebatan mereka. Teks pertama adalah kata يشۡتَرِي la terambil dari الشراء yang berarti membeli. Demi pengertian lafdziyah
(literer) ini, ulama menawarkan makna-makna, yang sayangnya, terlalu banyak dan
sering berlawanan. Tentu saja kemunculan makna yang masif dan kontradiktif ini
dapat memancing perdebatan panjang, Untungnya, Ibn Jarir at-Tabari, ulama yang terkemudian diantara mereka, memiliki inisiatif
yang menggembirakan. la mengerucutkan poin-poin perdebatan itu menjadi hanya
beberapa makna saja yang dianggap penting untuk ditelaah ulang. Pertama, يشۡتَرِي pada ayat di atas ditafsiri dengan membeli. Tentu, dalam kaitan
ini berarti membeli sesuatu yang berkaitan dengan bernyanyi. Kalaupun makna
pertama ini dirasa tak substantif, kurang mengena pada makna inti, setidaknya
at-Thabari masih memiliki makna alternatif: ia mengajukan arti kata memilih dan
menyukai. Teks kedua adalah لَهۡوَ ٱلۡحَدِيثِ kalimat ini terangkai dari dua
kata dasar. لَهۡوَbermakna bermain-main,
berbuat sembarangan; dan ٱلۡحَدِيثِ berarti baru, atau yang baru. Ketika kita tengok ia dari
jendela terminologi. ia akan dapat dipahami sebagai sesuatu yang sia-sia, tak
memiliki guna atau faedah. Pada satu waktu, Az-Zamakhsyari secara khusus
memberitahu kita bahwa arti kata lahwu adalah segala kebatilan yang
melalaikan seseorang dari kebaikan. Di lain sisi, at-Tabari mencoba memberi
pengertian sendiri. Riwayat yang didapatnya dari Abdullah bin Mas'ud ra.,
menunjukkan bahwa kosakata mempunyai pengertian lain. Ketika Ibn Mas'ud
menerima pertanyaan tentang arti ayat di atas, beliau menggumam: "Demi
Allah, Dzat yang tiada tuhan selainnya." Pengulangannya akan kalimat ini
sebanyak tiga kali, mengharuskan kita merenunginya lebih dalam, karena
setelahnya beliau berucap: "Yang dimaksud dengan lahwu di dalam
ayat itu itu adalah beryanyi." Ekspresi Ibn Mas'ud itu harus kita tangkap
sebagai keengganannya kepada lahwu. Atau, paling tidak, dalam
pandangannya adalah sesuatu yang negatif. Penafsiran inilah yang pada
gilirannya paling diakui oleh sekian ulama. Teks ketiga adalah لِيُضِلَّ menghalangi atau menjauhkan. Maksud yang masyhur dari teks ini
adalah "menghalangi seseorang dari petunjuk yang benar atau menjauhkannya
dari agama yang lurus". Dari pengertian ini, terutama berkat andil
sebagian fukaha, terungkap "pertanda-pertanda buruk" yang menuduh lahw
al hadits sebagai perilaku haram. Pertanda itu adalah ayat di atas
melukiskan bahwa kecenderungan seseorang terhadap musik membuatnya tersesat,
melenceng dari petunjuk yang lurus. Gambaran inilah yang kemudian diterjemahkan
oleh mereka sebagai "haram yang tak ada keraguan".
Ulama yang berpendapat makruh di antaranya ulama Syafi'iyyah memilih
status makruh untuk menghukumi ghina misalnya
Al-Mawardi, Al-Haitami, Ar-Ramli dengan landasan hukum yang sama terhadap ayat
keenam dari surat Luqman, yang telah dijadikan dasar rumusan hukum oleh ulama
yang mengharamkan di atas. Mereka setuju untuk menganggapnya sebagai dalih dari
larangan bermusik seperti halnya yang telah dipanjang lebarkan di pembahasan
sebelumnya. Akan tetapi, masalah kemudian dimulai ketika mereka menafsiri ayat
itu dari tingkat level yang tak sama. Kita, setelah ini, seakan disuguhi firman
Tuhan yang mendua: ia mengharamkan musik satu sisi, dan menurunkan skalanya
(menjadi makruh) di sisi lain. Sejatinya tidak. Al-Mawardi dan kawan-kawannya
memilih tafsiran berbeda karena penemuan mereka akan dalil yang memberikan
konsekuensi berbeda pula. Agaknya, betapapun ayat Al-Quran adalah mutlak
keabsahannya tidak bisa digugat. ternyata tak bisa lepas dari sifatnya yang
multitafsir. la akan memiliki pemahaman-pemahaman yang berlainan ketika
ditemukan "tanda-tanda" dari luar dirinya. Tanda-tanda itu bisa
berupa ayat Al-Quran yang lain, hadis, dan boleh jadi nalar. Dalam hal ini,
Al-Mawardi memang tidak menawarkan ayat yang lain untuk menafsiri ayat lahwu
ini. Namun ia memiliki satu opsi. la mengajak kita menelaah hadis riwayat
Aisyah ra.
دَخَلَ عَلَيَّ أَبُو بَكْرٍ وَعِنْدِي جَارِيَتَانِ مِنْ جَوَارِي الْأَنْصَارِ ، تُغَنِّيَانِ بِمَا تَقَاوَلَتْ بِهِ الْأَنْصَارُ ، يَوْمَ بُعَاثَ قَالَتْ : وَلَيْسَتَا بِمُغَنِّيَتَيْنِ ، فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ : أَبِمَزْمُورِ الشَّيْطَانِ فِي بَيْتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ وَذَلِكَ فِي يَوْمِ عِيدٍ ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : يَا أَبَا بَكْرٍ إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا ، وَهَذَا عِيدُنَا
"Suatu ketika Abu Bakar ra. masuk ke rumahku sementara di sisiku
terdapat dua budak wanita dari golongan kaum Ansar. Mereka sedang menyanyikan
lagu yang menjadi kebanggaan mereka pada hari bu’ats. Sebenarnya,
keduanya tidaklah mahir dalam bernyanyi. Lalu Abu Bakar berkata: apakah ada
seruling setan di rumah Rasulullah saw? Sementara hari itu adalah hari raya Ied. Mendengar ucapan Abu Bakar, Rasulullah saw menegurnya seraya berkata:
wahai Abu Bakar, setiap kaum mempunyai hari raya, dan sekarang adalah hari raya
kita." (HR. Bukhari)
Peristiwa ini menunjukkan kepada kita, bahwa pada dasarnya bernyanyi
tidaklah dilarang. Itu dibuktikan dengan tidak diingkarinya perbuatan kedua budak
wanita oleh Rasulullah saw.
Ulama yang mempelopori status mubah diantaranya adalah hujjatul
islam Abū Hãmid Muhammad bin Muhammad Al-Gazāli (w. 505 H.). Al-Gazāli,
pengarang Ihya Ulumuddin yang selalu menjadi rujukan-rujukan penting. Setelahnya kemudian muncul
nama Al-Adfawi (w. 748 H.) Dalam konteks ini ia bahkan lebih obsesif dari
Al-Gazāli. Dalam pandangannya, musik ditengarai mubah bukan hanya oleh
mayoritas Syafi'iyah saja. Dalam kitabnya al-Imta' bi Ahkam as-mana Sama
ia menulis "Tidak ada satu keterangan
nas pun dari Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbal yang
mengharamkan bernyanyi". Juga ada as-Syaukani. Gelarnya yang berderet, al-muhaddist
al-salafiy al-imam as-syaikh Muhammad bin 'Ali as-Syaukaniy az-Zaydiy,
menuntut kita untuk tak berpaling muka dari apa yang ia katakan, lebih-lebih
mengenai musik. Kitabnya, Ibthal al-Da' wa al-ljma' 'ala Tahram Mutlaq
as-Sama di samping membuktikan bahwa penghakiman atas musik adalah
pembahasan serius, juga menjadi penegasan betapa pentingnya mengutip qaul-qaul
beliau.
Sebagaimana yang ditulis Al-Adfawi, bahwa mubahnya bernyanyi juga didukung
madzhab lain. Dari Hanabilah, muncul nama Al-Khalal dan Abu Bakar Abdul Aziz. Meski ditemukan pendapat Ibn Hanbal yang menghukumi makruh, Al-Khalal tidak mengelaknya. Tapi selanjutnya membuat pendapat itu mengerucut:
bahwa bernyanyi menjadi makruh hanya jika termuat hal-hal tidak baik di
dalamnya. Hakikatnya, bernyanyi tetaplah mubah. Sementara dari Malikiyah
mengemuka nama Muhammad Al-Malikiy As-Syadziliy Al-Wafaiy. Al-Imam dikenal dengan Abil Mawahib, menulis
sebuah kitab berjudul "Farh al-Asmã' bi Rukhas as-Sama". Dari
kitab ini kita akan menemukan hadis dan argumen menarik, juga kuat.
Kemudian boleh tidaknya
bernyanyi sebenarnya telah menguak sejak periode sahabat. Dalam "Qut al-Qulüb"
milik Abu Talib al-Makky, tercantum beberapa nama sahabat Nabi saw Abdullah bin
Ja'far bin Abi Thalib ra, Ibnu Zubair ra, dan Al-Mughirah bin Syu'bah ra. Mereka
beberapa kali terindikasi menganggap wajar terhadap budaya bernyanyi. Dan
menurut Al-Makky, dari merekalah kutipan-kutipan mubah ia
peroleh. Dari periode selanjutnya, yakni tabi'in, diperoleh nama-nama masyhur
seperti Ibn Şirin dan Salim bin Abdullah bin Umar. Yang menjadi dasar hukum
ulama yang memperbolehkan hampir serupa dengan ulama yang memberi status hukum
haram dan makruh yaitu hadis milik Aisyah ra. Namun mereka memperoleh keputusan
yang berbeda karena menemukan adanya hadis dan atsar lainnya. Dalam
hadis yang di sampaikan oleh Aisyah ra.
رأيت النبي ( صلى الله عليه وآله ) يسترني بردائه وأنا أنظر إلى الحبشة : وهم يلعبون في المسجد ، فزجرهم عمر . فقال النبي ( صلى الله عليه وآله ) : دعهم ، أمنا بني أرفدة يعني من الأمن ومن حديث عمرو الحارث عن ابن شهاب نحوه وفيه : غنیان وتضربان ) . وفي حديث أبي طاهر عن ابن وهب : والله لقد رأيت رسول الله يقوم على باب حجرتي والحبشة يلعبون بحرابهم في مسجد رسول الله ت وهو يسترني بثوبه . أو بردائه . لكي أنظر إلى لعبهم ثم يقوم من أجلي حتى أكون أنا الذي أنصرف
"Rasulullah saw menutupiku dengan selendangnya, saat saya melihat kaum
Habasyah yang sedang bermain-main di dalam masjid. Kemudian Umar ra. datang
melarang mereka. Lantas Nabi saw. bersabda, "teruskan wahai Bani
Arfidah".” Umar bin Harts dari Ibnu Syihab meriwayatkan hadist serupa, dan
di dalamnya terdapat tambahan kalimat "ada dua budak wanita yang sedang
bernyanyi dan memainkan rebana". Sementara di dalam hadis yang
diriwayatkan oleh Abi Thahir dari Ibnu Wahab, 'Aisyah ra. berkata, “Demi Allah
saya melihat Rasulullah saw berdiri di pintu kamarku saat kaum Habasyah sedang
memainkan tombaknya di dalam masjid Rasulullah saw. Beliau menutupiku dengan
bajunya (dalam riwayat lain dengan selendangnya) agar aku bisa melihat
permainan mereka. Lalu beliau berdiri di sisiku hingga aku selesai melihatnya.”
(Muttafaq 'Alaih)
Imām Al-Gazāli menyatakan, hadist di atas ditemukan di dalam kitab Shahih
Bukhari dan Shahih Muslim. Sehingga, menurutnya, semuanya termasuk nas-nas sarih
yang membuktikan bahwa bernyanyi, juga bermain (sesuatu yang acapkali juga
dianggap sebuah kesia-siaan) tidaklah haram dilakukan. Di dalam keterangan
selanjutnya, Al-Gazāli menyusun beberapa petunjuk kemurahan syariat yang
ditemukan di dalam hadis-hadis di atas:
1. Orang-orang Habasyah terbiasa menari dan bermain.
2. Permainan itu dilakukan đi dalam masiid 3. Perkataan Nabi saw. berupa, "biarkanlah wahai Bani Arfadah!" selain dipahami sebagai "perintah pembiaran", ia juga memiliki arti "perintah untuk bermain".
4. Perintah Nabi saw. kepada Abu Bakar ra, dan Umar ra untuk tidak memberhentikan budak-budak yang bernyanyi. Alasan yang ditemukan adalah "saat itu adalah hari raya, yakni hari raya sebagai sebab-sebab bahagia." Tentu, kesimpulan yang diambil oleh Al-Gazāli adalah mubah".
Karena selain hadits ini, tenyata ditemukan atsār para sahabat yang
menyuarakan hal senada. Untuk itu, kita bisa menilik atsār milik Umar ra.
الغناء زاد المسافر
"Bernyanyi adalah bekal seseorang yang bepergian."
Atsār dari sahabat Utsmān bin Affan ra. bisa
menjadi dasar sahih. Suatu ketika, dua budak wanita yang beliau miliki
bernyanyi di malam hari. Ketika hampir mendekati waktu subuh, beliau berkata
kepada mereka, "Berhentilah bernyanyi! Sungguh saat ini adalah
waktu untuk meminta ampunan atas dosa kepada Allah swt." Setelahnya,
beliau beranjak untuk melakukan shalat. Perintah berhenti yang diucapkan sahabat Utsman ra. dapat dipahami sebagai
"penunda", bukan "pelarangan total". alasan Karena pada
selanjutnya didapati kalimat pemberhentian itu, yakni "waktu untuk meminta
ampun atas dosa".
Imam Ghazali pernah mengutip jawaban Imam Syafi'i saat beliau sedang
berbincang dengan Yunus bin Abdil A'la, "Aku pernah
bertanya kepada Imam As-Syafi'i mengenai orang Madinah yang memperbolehkan bernyanyi. Imam As-Syafi'i menjawab, “Aku tidak
mengetahui seorang pun dari ulama Hijaz yang memakruhkan nyanyian, kecuali di
dalamnya terdapat beberapa sifat-sifat (tercela). Mengenai hudā', lagu
yang mengisahkan kesedihan, lagu musim semi, dan melagukan syair, mereka semua
diperbolehkan (mubāh).” Lagi-lagi, kita tersaji kutipan-kutipan yang
sepertinya ambigu. Ambigu, karena meski di dalam riwayat ini As-Syafi'i
terkesan tidak menaruh keberatan, di situasi lain ternyata beliau mengeluarkan
statemen:
إنه لهو مكروه يشبه الباطل
''Al-ghinā sungguh perbuatan sia-sia yang dibenci dan menyerupai
kebatilan."
Untuk menjawab keambiguan ini, ada setidaknya tiga frasa dari perbincangan
Yunus dan As-Syafi'i di atas yang memikat Al-Gazāli untuk ia tafsiri. Tafsir
inilah yang nanti akam membantu kita untuk menerjemahkan apa sesungguhnya yang
diinginkan oleh As-Syafii. Pertama, bahwa "lahwun" adalah
frasa untuk menyebut "bernyanyi", mengatakannya sebagai perilaku
haram agaknya perlu ditinjau ulang, Sebab, ketika lahwun, permainan dan
tarian-itu dilakukan oleh orang-orang Habasyah, Nabi saw. malah melihat dan
tidak membencinya. Maka, bisa saja lahwu tergolong kesia-siaan yang
tidak mendatangkan manfaat, namun tetap ia tidaklah memiliki imbas dosa ketika
dilakukan. Kedua, frasa "makruhun" tidaklah menunjuk pada makruh
tahrim. la berada dalam kadar yang lebih rendah, yakni makruh tanzih
(sesuatu yang dicegah oleh syariat namun tidak sampai pada level wajib
dihindari) . Buktinya, As-Syafi'i sendiri memperbolehkan ihwal lain yang
termasuk bagian dari lahwun, yakni bermain catur. Hanya, beliau menyebut
catur dengan "bukan kebiasaan orang yang teguh memegang prinsip agama dan
orang yang memiliki kewibawaan". Mengenai statemen beliau tentang
tertolaknya sebuah kesaksian dari para pelaku musik di mata syari'at, lebih
karena mereka dianggap memiliki akal yang rendah (safih). Namun yang
perlu dicatat, sifat safih itu hanya dapat terwujud ketika bernyanyi
dijadikan kebiasan sehari-hari. Jika tidak misal hanya bernyanyi pada saat-saat
tertentu, maka tidak dianggap memiliki sifat safih. Ketiga, kalimat
"yusbihu batil", yang diduga memiliki titik ambigu,
ternyata tidak memberi petunjuk jelas menuju hal itu haram. Yang dimaksud hanya
menjelaskan sesuatu yang di dalamnya tidak terdapat manfaat bahwa sesuatu yang
tidak terdapat manfaat tidak memiliki imbas dosa. Maka meski ada penyebutan bāthil
di dalam dialog itu, tak bijak jika menyebutnya sebagai idiom dari
"larangan bernyanyi".
Di dalam pembahasan sebelumnya, kita telah menelisik apa yang tercantum
dalam Al-Quran (QS. Luqman[31]: 06), yang dijadikan landasan oleh ulama yang
mengharamkan dan yang memakruhkan. Menurut As-Syaukani dengan
yakin ia sampaikan sanggahannya terhadap tafsiran Bahwa benar lahwu yang
dimaksud adalah ayat itu "bernyanyi". Tapi tidak semutlak itu lahwu
dibicarakan. Bagi As-Syaukani, bernyanyi yang diharamkan di dalam ayat itu
adalah yang memiliki tujuan sesat, dan dapat berpaling dari jalan Allah swt.
Pendapat ini ia sampaikan dengan bertolak dari asbab an-nuzul ayat itu.
Dari alur inilah ia kemudian mengambil satu simpul bahwa hukum asal bernyanyi
mubah. Pijakan lain yang ia gunakan adalah QS. Muhammad [47]: 36
إِنَّمَا ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَا لَعِبٞ وَلَهۡوٞۚ
"Segala kehidupan dunia hanyalah permainan dan sia sia."
Penggunaan ayat ini adalah sebagai
komentar keras yang diadukan As-Syaukani kepada ulama yang mengharamkan. la
secara logis mengajak kita merenung bahwa, "Jika al-lahwu dengan
indikasi bernyanyi juga tercakup di dalamnya diharamkan, niscaya bumi beserta
isinya juga haram." Bagi kita, terang bahwa itu tidaklah benar. Merujuk
kasus ini, Al-Qurthubi memilih untuk mengamini apa yang diberitakan
As-Syaukani. la menunjuk dengan lebih teliti, bahwa hanya hal-ihwal yang telah
diharamkan syariat yang dapat membuat bernyanyi bisa dinilai haram. Ihwal itu
bisa sifat wanita dapat berupa membangkitkan syahwat, ataupun yang lain namun
pembahasan ini masih membutuhkan kajian yang panjang tidak cukup pada
pembahasan kali ini. la lalu menyuguhkan opini yang lebih tolerir. Lahwu,
seperti yang ia kutip dari Hasan Al-Basri, memiliki
tafsiran yang bisa lebih luas dari sekedar 'bernyanyi'. Menurutnya, lahwu
seharusnya diterjemahkan sebagai kufur dan syirik. yang tentunya akan memiliki
pemilahan-pemilahan berarti. Juga menurut Al-Adfawi, hadits yang mereka
tawarkan bernilai lemah.. Dalih ini kemudian didukung oleh sejumlah ulama.
Seorang Malikiyah, Abu Bakar bin 'Arabiy, sampai-sampai dengan lantang bersuara
bahwa: Hadis-hadis yang mengharamkan bernyanyi dan alat-alat malahiy
tidak sah dijadikan pijakan hukum." Maka wajar jika kemudian mereka
mendasari keputusan ini pada dua ayat Al-Quran berikut:
هُوَ ٱلَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي ٱلۡأَرۡضِ جَمِيعٗا
''Dialah (Allah) yang menciptakan segala apa yang ada di bumi untukmu'' (Al-Baqarah,
Ayat 29)
وَقَدۡ فَصَّلَ لَكُم مَّا حَرَّمَ عَلَيۡكُمۡ
'' Allah telah menjelaskan kepadamu apa yang diharamkan-Nya kepadamu'' (Al-An'am,
Ayat 119)
Dua ayat di atas, seperti yang sering kita dengar, menandakan bahwa selama
tidak ada pengakuan secara sarīh dari Allah akan keharaman sesuatu, tak
ada alasan untuk menolak, lebih-lebih melarangnya.
Analisis rasional Al-Gazāli dalam hal ini menemukan satu titik cerah untuk
memperkuat pembelaannya. Suara, satu unsur terpenting dalam bernyanyi,
dibelanya sungguh-sungguh Suara, dalam pernyataannya, bisa lahir dari banyak hal
terutama, tekannya, potensi lahirnya suara paling tidak bermuara dari tiga
anasir: benda mati (seperti alat musik) binatang (seperti burung
bul-bul/murai), dan manusia. Dari ketiganya, suara yang dihasilkan memang
bermacam. Bisa saja suara yang keluar kurang nyaman didengar. Entah fals, susunan
nada yang rancu, atau sekadar teriakan. Dan bagi kita, suara-suara
seperti itu sangat mungkin kita hindari, bahkan kita benci. Tapi jika memang
indah dan enak didengar, maka ia tak patut untuk dihakimi. Karenanya,
mendengarkan suara-suara indah dan enak didengar dari tiga anasir di atas tidak
bisa diharamkan dengan memandang keindahan dan keenakannya. Sebab jika
demikian, maka suara burung-burung yang merdu seharusnya juga haram untuk
didengarkan. Kenyataannya tidaklah demikian. Tak ada keharaman untuk
mendengarkan suara burung, atau hewan lain yang memiliki kelebihan dalam
suaranya. Hingga kemudian mengemuka pertanyaan Al-Gazāli: Pada hakikatnya, apa
bedanya suara manusia yang diperindah dan suara burung bul-bul? Apa bedanya
suara yang keluar dan benda mati dan benda hidup? Juga yang berakal dan tidak berakal? Suara yang ditimbulkan oleh alat-alat
musik pun pada hakikatnya juga
bernasib sama. Ketika diantara alat musik itu ternyata dihukumi haram oleh
syara', itu hanya secara literer telah mengatakan demikian. Juga tidak dapat
dipungkiri Walisongo wali-wali Allah yang menyebarkan ajaran Islam di bumi Nusantara seperti Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga menggunakan budaya dan seni
sebagai mediator berdakwah.
Maka dari itu kita perlu menumbuhkan sikap yang bijak. Tak perlu kita
bertanya kembali: haruskah kita ramah ataukah marah kepada musik? Untuknya,
kita perlu mendalami kembali makna sebuah hadis: "Perselisihan
diantara umatku adalah rahmat." Ketika kita telah menyadari keindahan dan
keistimewaan agama Islam sebagai agama rahmatan lil 'alamin ini, yang
perlu kita lakukan selanjutnya adalah, pertama-tama, sadar diri. Membicarakan
seni musik yang merupakan bagian dari macam persoalan kontroversial (mukhtalaf
fih), bagi kita yang telah mengetahui perkhilafan itu boleh-boleh saja
memakai pendapat manapun selama merupakan pendapat yang mu'tabar,
seperti pendapat empat mazhab yang telah terangkan. Sedapat mungkin, seorang
muslim dengan santun menghindari perseteruan intelektual yang terjadi di antara
kalangan cendekiawan muslim. Pengajaran santun ini dapat kita simak dalam
sebuah kaidah:
لا ينكر المختلف فيه وإنما ينكر المجمع عليه
“Tidak wajib diingkari
sebuah perihal yang masih diperselisihkan. Yang wajib diingkari hanyalah
persoalan yang memiliki hukum yang telah disepakati melalui konsensus ulama.”
Munculnya kaidah ini merupakan sebuah refleksi agar tumbuh persepsi bahwa
tidaklah ada yang lebih utama diantara beberapa pendapat, jika memang persoalan
yang ada masih berada dalam situasi kontradiktif (khilafiah). Tak ada
yang berhak dikedepankan, apakah itu pendapat yang menjurus pada legalitas,
atau bahkan ilegal dalam hukum syariat yang diyakini.
الخروج من الخلاف مستحب
" Keluar (demi menghindari) perbedaan pendapat ulama itu disunnahkan."
Sumber: trilogi musik dan Al-Asybah Wa An-Nazhair Fi Qawaid Wa Furu'i
Fiqh Asy-Syafi'iyyah
*mahasiswa Studi Islam
Universitas Internasional Africa, Sudan
1 Comments
تمام
BalasHapusPosting Komentar