Jatuh Cinta Dua Kali



Oleh Iffah Zehra*

Jakarta, 1 Desember 2016
Perkenalkan namaku Kahfi (nama samaran). Kisah ini ditulis oleh teman baikku, sebut saja namanya Bunga. Iya, tentu atas persetujuanku. Dengan berbagi kisah ini, aku memperoleh banyak hikmah yang tak terduga. Tapi juga…kenangan pahit.

‘Bobo’ adalah nama panggilan samaran untuk mantan terindah sekaligus mantan tersadis yang pernah hadir di ruang hatiku. Bobo─gadis manja yang suka mendiskusikan banyak hal, tapi yang paling disukainya adalah membicarakan Bruno, anjing kecil kesayangannya. Penampilannya yang elegan menyelipkan gejolak nafsunya yang menggoda─yang tampak nyata di setiap orang, tapi tidak di mata anak SMA yang alim. Bobo─gadis manis berwajah kekanak-kanakan, tapi merasa bangga jika diperebutkan banyak lelaki.

Hampir dua tahun aku sengaja mencoba mengusir kenangan tentang Bobo. Aku tak ingin mengingat. Semua terlalu memedihkan hati─terlalu sakit! “Terlalu Lama Sendiri” yang digawangi oleh Kunto Aji merupakan simbol lagu yang berhasil melukiskan semua perasaanku sejak aku tidak ingin mengingatnya. Kadang aku sering berpikir, harus mulai dari mana, dan:

Apa yang dapat aku lakukan untuk mengusir kenangan pahit dari hatiku?
Apa yang dapat aku lakukan untuk menyembuhkan luka hati yang pernah bernanah
karena permainan cinta seorang gadis yang kusayangi saat duduk di bangku kelas 11 SMA?

Tetapi hari ini aku ingin belajar menyembuhkan luka, ya mungkin dengan berbagi kemungkinan besar aku bisa "sembuh."

Dan kisah ini dimulai pada:

Tahun 2014
Dia, Bobo. Banyak sekali lelaki di sekitar Bobo, lelaki yang mengaguminya, mengajaknya berpacaran dan meneleponnya. Itulah kenyataannya. Tetapi mestinya ada─sesuatu yang harus disingkirkan dan hanya satu, satu saja bukannya sepuluh, yang berarti. Ada dua nama yang menarik perhatiannya. Namaku dan Vino (nama samaran). Memang kata orang, Vino itu ganteng dan jago main basket. Anak basket yang menanjak kariernya di sekolah kami, bahkan diramalkan oleh adik kelas bakal menjadi ketua OSIS, dan didukung oleh ketua OSIS sebelumnya yang berpengaruh. Apakah Bobo tertarik? Entahlah. Tapi yang jelas adalah Bobo lebih tergila-gila denganku dan aku pun tergila-gila dengannya saat itu. Mungkin alasannya banyak. Menurut kicauan teman-teman sekelas kami, Bobo tertarik padaku karena empat hal:

Pertama, aku dilahirkan di luar negeri tepatnya di Amsterdam, Belanda. Dan dari keluarga berkecukupan.
Kedua, aku pandai bermain gitar dan pintar menggambar. Sehingga dalam situasi apa pun aku bisa menggambarkan isi hatiku di lembaran kertas dan membuatnya seperti komik. Mungkin ini aneh. Tapi, entah kenapa teman-teman sekelas kadang justru minta digambarkan dan disaat itulah aku menawarkan jasa menjual gambar.
Ketiga, aku memiliki wajah yang ganteng yang nggak kalah dengan Vino. Ya,  mungkin karena ayahku berdarah keturunan Belanda dan ibuku asli Manado.
Keempat, aku pandai bergaul dan ramah sehingga hampir satu sekolah mengenalku. Selain itu, aku juga tercakup dalam lingkungan OSIS. Aku menjabat sebagai Wakil Ketua OSIS. Aku bahkan tidak berambisi mencalonkan diri sebagai Ketua OSIS seperti yang dilakukan Vino. Aku ingin mengalir saja, menjalani apa yang sudah menjadi kewajiban. Itu saja. 

Masih tentang tahun 2014. Tentang empat hal yang disukai oleh Bobo dariku. Ya, aku juga diam-diam menaruh rasa kepada Bobo. Perasaan itu tiba-tiba saja hadir ketika aku sering melihatnya, mulai dari cara ia menari dalam acara tari sekolah hingga tertawa bahagia bersama teman-temannya. Aku banyak menghabiskan waktu untuk memperhatikan Bobo di sekolah. Apalagi kami berdua satu kelas. Sudah pasti, aku semakin bersemangat pergi sekolah.  Kata orang, cinta bersemi karena sering bertemu. Ya, itulah yang terjadi padaku.

Tidak sampai seminggu, Bobo sepertinya menampakkan sinyalnya, kalau ia sangat tertarik padaku. Bobo mulai menarik perhatianku. Bahkan Bobo justru sering membawakan bekal makan siang untukku. Aku jadi mabuk kepayang. Ini pertama kalinya, ada gadis memperlakukanku melebihi ibu di rumah.

Sebagai lelaki normal pada waktu itu, aku merasa aliran darahku semakin cepat menyebar dari jantung hingga ke seluruh tubuh. Aku merasakan ada semacam getaran listrik yang tersambar di tanganku saat pertama kali Bobo memelukku. Aku yang baru merasakan cinta itu apa, hanya bisa menerima pelukan Bobo lalu mengusap kepalanya dengan lembut. Hal  yang sering aku lakukan dulu padanya. Ya, tentu saja tidak sampai ke jenjang selanjutnya yang lebih menyeramkan. Aku rasa kalian lebih tahu jenjang-jenjang selanjutnya.

Kadang hatiku berkata,

“Ya Allah. Jatuh cinta memang indah. Aku sangat sayang Bobo. Pelukannya hangat. Tapi apakah ini boleh?” Aku menutup mulutku supaya suara hatiku itu tidak keluar. Aku mulai bergetar tapi terus mengabaikan suara-suara hatiku. Oh, mungkin karena tidak biasa dipeluk lawan jenis? Yah, mungkin. Aku bertanya ketus, “Bo, kamu sudah punya pacar?”

Barulah Bobo tersenyum. Jawabannya ringan. “Aku nggak punya pacar, Kahfi.” Dan tiba-tiba ia mencium pipiku dan melangkah melewati kursi-kursi stadion sepak bola yang sepi dengan ayunan dan tempo tak tercela. Aku jadi hampir mau mati rasa saat Bobo melakukan hal itu padaku.

Nah, sejak itulah Bobo menjadi bagian dari kehidupan pribadiku. Aku bertemu dengan Bobo paling sedikit sekali seminggu di luar sekolah. Bobo sering mengajakku ke taman, ke pesta-pesta dansa teman-temannya yang juga punya pacar, dan menjadi pasangannya dalam jamuan dinner. Begitu cerdiknya ia selalu mengajakku bercanda disaat kami hanya berdua dalam jamuan dinner.

Kemudian pada suatu hari Bobo─Bobo yang biasanya pulang sekolah denganku─pulang bersama Vino.

“Kenapa kamu pulang sama Vino?”

Bobo terpana memandangku.
“Hah? Vino kan teman aku, teman kamu dan teman kita semua. Nah, nggak ada salahnya aku pulang sama teman aku sendiri, kan?”

Wajahku berkerut. Mataku melotot lalu menghempaskan napas perlahan demi mengendurkan emosi.

“Kamu itu pacar aku. Kalau kamu memang mau pulang sama Vino seharusnya kamu bilang dulu sama aku.”  

Dengan penuh rasa sesal Bobo menjerit tertahan.
“Kahfi. Aku capek ya kalau kamu bawel terus. Kita ini cuman pacaran, bukan suami istri. Jadi kamu nggak berhak ngatur aku harus jalan sama siapa dan kemana aku pergi. Itu sama sekali bukan urusan kamu.”

Aku menggelengkan kepala dan mencoba berkata lembut, “Bobo, kalau kamu ngomong kayak gitu. Itu sama aja kamu nggak menghargai hubungan kita,” sambungku menatap mata Bobo.

“Ya, itu semua tergantung kamu dong. Kalau kamu cemburuan terus kayak gini, kita nggak bisa jalani hubungan ini lebih lama.”

Napasku seolah tercekik.

“Semudah itu kamu bilang nggak bisa menjalani, dan bilang aku cemburu? Kalau aku nggak sayang sama kamu, itu tandanya aku nggak akan cemburu.” Aku meneruskan omonganku, “Janji kita adalah Terus bersama dan mempertahankan hubungan ini. Aku sayang banget sama kamu, Bo.”

Rasa marah berkobar dalam diri Bobo.
“Duuh! Capeeeeeek!”

Aku tersenyum kecil dan mulai bergumam,

“Bo.. ayo dong jangan ngambek. Aku bakalan kasih kamu apa aja hari ini deh biar kamu senang.” Penuh penasaran Bobo bertanya, “Serius? Maksudku, kamu mau kan mengabulkan apa pun yang aku minta hari ini ke kamu?” Aku menganggukkan kepala. “Wah, makasih ya Kahfi. Aku jadi makin sayang sama kamu. Hmm.. belikan aku jam tangan ya hari ini. Soalnya jam tangan aku udah jelek.” Ujarnya lagi.

“Oke siap, Bidadari.”

Begitulah aku─baik hati, buta, ngawur. 

Detik-Detik Perpisahan 2014, Antara Aku dan Bobo
Sekarang, lima bulan kemudian, aku tiba-tiba merasa takut…

Aku sangat ingin memeluk Bobo, mengatakan pada gadis itu apa yang ingin didengarnya, tentang apa pun yang disukai gadis itu. Hanya itu. Ya, hanya itu.

Papa sudah kelelahan saat perjalanan pulang dari Amsterdam. Sehingga ia memutuskan untuk berbicara penting esoknya. Aku bertanya-tanya sambil mengernyit, “Papa sebenarnya mau ngomong apa ya?”

Aku mencoba menelepon Bobo, tapi selalu saja tidak aktif. Sudah beberapa hari ini ia susah dihubungi. Menurut Keyla teman dekat Bobo, gadis itu sibuk mengurus kegiatan OSIS dan agenda mading. Well, it’s okay.

Ketika aku memencet bel rumah, Mbok Nining segera membukanya. Mbok bilang, aku harus segera bertemu dengan Papa terkait pindah sekolah. Aku mengedikkan bahu. “Whaatt?!” Aku menaiki tangga teras dan menghampiri Papa yang sedang nonton TV. Oh, sudah bangun rupanya!

“Pa? Kata Mbok Ning Papa mau bicara sama aku terkait pindah sekolah. Benar, Pa?” kataku. Kaosku basah dengan keringat, demikian juga celana abu-abu SMA-ku. Ketika Papa membalikkan kepala dan melihatku, ia langsung membuka mulut, “Kahfi, dua hari lagi kamu pindah sekolah ke Belanda. Itu artinya kamu akan melanjutkan sisa masa SMA kamu di sana. Papa sudah beli tiket keberangkatan kamu. Semua sudah beres. Jadi Papa rasa kamu sudah siap dengan keputusan ini tanpa alasan,” ucap Papa, nyaris tak bisa dibantah.

Dengan segala permohonanku untuk menolak pindah SMA ke Belanda juga dilarang keras oleh Papa. Keputusan Papa sudah bulat dan kalau sudah bicara, sulit untuk ditarik kembali. Dan ini merupakan berita terburuk yang pernah aku terima. Tapi, apa boleh buat toh ini juga demi masa depanku.

Aku kemudian datang ke rumah Bobo setelah beberapa hari ini susah dihubungi. Ternyata dia ada di rumahnya sendirian. Ayah dan Ibunya sedang di luar kota karena urusan pekerjaan. Jadi, aku berkesempatan berbicara dengan Bobo empat mata di teras rumahnya.

“Bobo, sudah beberapa hari ini kamu sulit aku hubungi. Ada apa?” tanyaku.

“Aku mengurus acara OSIS dan beberapa agenda lainnya. Maaf. Kalau membuatmu khawatir,” katanya jelas.

Aku menarik napas panjang dan berpikir-pikir tentang apa yang akan terjadi jika aku memberitahukan tentang kepergianku ke Belanda.

“Bobo, sebenarnya ada hal penting yang ingin aku sampaikan.” Aku melanjutkan, “Dua hari lagi aku akan berangkat ke Belanda untuk pindah sekolah. Dan terkait hubungan kita, kita masih bisa berhubungan secara LDR (Long Distance Relationship) melalui telepon dan sewaktu-waktu aku akan berusaha mengunjungimu ke Indonesia.”

Aku memperhatikan mata Bobo. Ia tampaknya sedih mendengar berita dariku. Jadi, ia langsung memelukku. Dia berdiri lalu berpaling. Ia mulai berlari ke arah pintu ruang tamu. Tapi kakinya tersandung penahan kaki pintu yang menjorok. “Duh!” seru Bobo. “Kamu nggak apa-apa, Bo?”

Ternyata kaki Bobo menggaet pintu porselen putih abu-abu yang hampir saja kuku kakinya lepas. Meskipun begitu, Bobo tetap masuk ke dalam rumahnya dan pergi mengambil sesuatu. Ia menyuruhku tunggu di teras saja. Jelas, aku penasaran apa yang ingin ia berikan padaku.

Bobo datang. Ia memberikan aku sebuah frame kenangan foto-foto kami berdua. Frame itu dibuatnya dengan sangat kreatif. Warnanya abu-abu muda. Dan ditengahnya tertulis: Keep Calm and Love Kahfi Forever. Aku terkesima. Sehingga aku kembali memeluk Bobo. Lalu aku pamit pulang. Kami berdua berkomitmen untuk tetap menjalin hubungan meskipun dipisahkan oleh jarak. Sungguh, sejujurnya aku takut. Aku takut kehilangan Bobo… Aku takut jika nanti dipegang-pegang oleh lelaki lain selainku. Aku takut jika ia diambil lelaki lain. Karena Bobo, ya kamu Bobo cuman satu di hati ini.

Amsterdam, Belanda
Sudah hampir setahun aku di Belanda. Aku menggeser dudukku dan menyandarkan punggungku sambil memandang frame kenangan yang diberikan Bobo dulu. Entah dan entah kenapa. Aku merasa ada kejanggalan antara hubunganku dengan Bobo. Kami masih sering berkomunikasi, tapi memang belum bertemu lagi. Entah dan entah kenapa setiap aku ingin pulang ke Indonesia, selalu saja ada halangan yang memberikan indikasi bahwa aku sebaiknya tidak perlu pulang demi menemui Bobo.

Seorang teman sekelasku yang juga dari Indonesia bernama Maria pernah memberitahuku kalau aku harus selalu berhati-berhati. Ya, kalau kulihat Maria memang gadis baik-baik yang taat agama dan tidak pernah pacaran. Jilbabnya juga syar’i sehingga kadang-kadang aku segan kalau harus mengobrol dengan Maria. Tapi lama-lama kenal, Maria cukup pandai bergaul meskipun dengan lawan jenis tapi tidak berlebihan. Aku pernah tanya sama Maria, “Omong-omong Mar, kamu kenapa nggak pacaran aja? Kamu lumayan cantik kok. Pasti banyak yang mau.”

“Hmm..aku mau pacaran tapi habis nikah aja,” kata Maria. Saat Maria bilang begitu, aku cukup kaget dan berpikir-pikir, kok aneh pacaran setelah nikah. Jadi, aku menanggapi Maria dengan senyum saja kadang-kadang ku bilang, “Oh gitu ya Mar, hehe. Ada juga ya yang kayak gitu hehe.”

Hmmm… Tidak terasa waktu berlalu begitu cepat. Aku pun akhirnya lulus dari SMA di Belanda. Dan aku benar-benar tidak tahan ingin pulang ke Indonesia. Aku ingin sekali menemui Bobo. Setelah sebelumnya banyak halangan untuk pulang, maka sudah kuputuskan besok aku pulang secepatnya menemui Bobo. Aku ingin bilang pada Bobo, kalau aku sangat sayang padanya dan ingin tahu kabarnya.  

Jakarta, Indonesia
Cuaca saat ini lembab tidak seperti bulan-bulan biasa. Daun-daun lembab bergantungan di pepohonan dan awan mendung menandakan akan turun hujan sebentar lagi. Aku duduk pada sebatang pohon tumbang. Aku mencoba menghubungi Bobo lewat pesan teks. Apakah dia masih ingat tentang kisah cinta kami dulu waktu SMA?

Aku menarik napas panjang dan bersiap-siap ke rumah Bobo. Semangatku bangkit. Aku bahkan membawa rangkaian bunga mawar untuknya.

“Aku pasti akan merindukan kamu, Vino. Kamu jaga diri baik-baik.” Bobo berkata seperti itu pada lelaki yang tak asing bagiku. Itu kan Si Vino yang dulu? Aku melihat mereka mesra sekali. Gilaaa! Tekanan batin dan rasa takut yang berada di pikiranku ternyata benar-benar NYATA!

Bobo sudah punya yang “baru” pengganti diriku. Kenapa ia selama ini tidak bilang? Sial! Aku terlambat! Aku terlalu lama meninggalkan Bobo sehingga ia diambil orang lain.

“Bobo!!!” seruku pada Bobo di gerbang rumahnya setelah Vino pamit pulang. “Hmm… Kahfi… maaf Kahfi…. aku sekarang milik Vino.” Denyut-denyut pembuluh darah yang pernah aku rasakan seperti getaran listrik bersama Bobo nagsung hilang seketika. Dan untuk melengkapi wajah Bobo yang juga sulit menjelaskan, dari mulutku ini aku siap berkata, “Kita Selesai!!”

“Kahfi, aku…maafkan aku…” wajah Bobo yang tampak tak berdosa itu menengadah padaku. Aku menatapnya dengan pandangan serius─hampir-hampir tampak galak. “Jawab sekarang pertanyaanku dengan benar, Bobo. Apakah kamu tidak ingat perjanjian kita dulu? Apakah kamu tidak lagi percaya padaku? Hari ini aku datang untukmu setelah sekian lama aku berada di luar sana. Aku kembali untukmu. Apakah kamu tidak ingat semua itu?”

Bobo tertegun sejenak lalu menjawab dengan mata redup. “Ya. Tapi aku tidak bisa! Betul-betul tidak bisa!” Aku menggelengkan kepala dan langsung pergi. Hati ini benar-benar luka. Bagaimana mungkin gadis yang selama ini aku cintai tiba-tiba saja dengan mudahnya pergi begitu saja hanya karena sudah ada yang lain. 

Aku kemudian berbicara pada Maria terkait kegalauan hatiku. Karena aku merasa bahwa hanya Maria-lah yang menjadi saksi perjalananku juga di Belanda. Tapi, Maria tidak banyak berkomentar. Ia hanya bilang, wanita baik-baik juga untuk laki-laki yang baik. Maria juga bilang, walaupun sekarang Bobo sudah menjadi mantanku, aku sebaiknya tidak boleh membencinya, apalagi mengutuknya. Kata Maria, aku harus tetap berhubungan baik dengan Bobo,  walaupun masih ada luka. Alhamdulillah, entah dan entah kenapa aku merasa beruntung bisa mengenal Maria.

Dua bulan kemudian, aku menemui kembali Bobo dan meminta maaf atas segala kesalahanku. Dan aku mengatakan pada Bobo, sebaiknya kita tetap berhubungan baik selayaknya teman biasa walaupun pernah ada luka. Sekali lagi aku mengulang kalimat itu, ‘pernah ada luka’ dan saat itulah, Bobo juga mau tetap berhubungan baik. Ya, semua akhirnya berakhir.

Entah dan entah kenapa sampai hari ini aku berprinsip akan menjomblo sampai menikah. Dan aku sangat berterima kasih pada Maria, sahabatku.

Dari Maria, aku jadi ingat sholat, tidak buta seperti dulu.
Dari Maria, aku belajar untuk jatuh cinta pada Allah saja.

Karena berharap pada manusia pun belum tentu bisa menjanjikan.

Ya Allah, semoga aku bisa istiqomah di jalan-Mu…
Ampuni aku ya Allah…
Ya Allah, dalam setiap usaha dan ibadah
yang diupayakan untuk dijaga dengan istiqomah,
semoga berbuah indah…
Sekali lagi, ampuni aku ya Allah…

*Sekretaris Pelaksana Millennial Connect PPI Dunia 2020

Posting Komentar

0 Comments

Formulir Kontak