Oleh Abdullah Azzam*
Sepoi angin berembus halus. Menjamah setiap
butir pasir juga tanaman yang dijumpainya. Sore ini langit tampak murung,
berselimut awan abu-abu. Mungkin karena baru saja menangis melepas beban dan
amanah langit yang dia pikul selama ini. Hujan yang baru saja turun adalah
hujan yang kali kedua sejak masuk awal tahun. Padahal sekarang sudah bulan Mei.
Kalau di Indonesia paling sudah banjir sejak Desember yang kata orang Jawa gede-gedene sumber atau Januari, hujan sehari-hari.
“Kawan.” Pukk, tanpa rasa berdosa menepuk
keras kepalaku.
“Kau ada bikin apakah? Sendiri saja di sini,
sudah macam kuda nil sedang patah hati saja kau.” Tersenyum sambil
mengelus-elus kepalaku yang baru saja ditimpuknya. Sok perhatian. Tidak merasa
harus minta maaf.
“Sulaiman. Kau ganggu saja kah.” Aku malas
menanggapi. Lebih nyaman bercengkerama dengan cuaca sore ini yang terbilang
cukup ramah dibanding hari-hari sebelumnya panas menyengat. Menikmati momen
yang belum tentu datang setengah tahun sekali. Di negeri nun jauh dari bumi
pertiwi.
Sulaiman. Dia teman lamaku. Teman sejak masih
belajar merangkak, masih mengompol dan berak di celana. Satu-satunya temanku
dari Papua. Kami berasal dari kota Kaimana. Kota terindah yang pernah kami
tahu. Pantainya yang panjang berkelok. Ada yang berwarna biru, ada juga hijau.
Mungkin bisa dibilang kota dengan pantai terpanjang di Indonesia. Panjangnya
bisa sampai satu kilometer dari bibir pantai. Dengan kedalaman satu sampai lima
meter dari permukaan. Namun pesonanya yang paling tersohor adalah di kala senja. Saat
matahari pulang ke peraduan. Indah tak terkira. Paduan siluet merah dan kuning
matahari di padu dengan langit biru lalu dipantulkan oleh gelombang laut yang
bersahaja. Awan pun seakan enggan mengganggu, memilih menyingkir. Ah sulit
kiranya diungkapkan. Kalau kalian masih penasaran nanti aku akan ceritakan
kembali.
Biarkan para manusia bahagia melihat salah
satu tanda-tanda kebesaran Allah Subhanahu wa Ta’ala. Setidaknya biarkan
pesona senja ini menyulam hati mereka yang sedang memar menerima kenyataan
hidup yang kadang pahit tak terperi.
“Ah kawan mace satu tuh, kau ada pikir
dia lagi kah?” Mulai menyidik menghakimiku dengan pertanyaan basa-basi.
“Dia memang cantik, putih, pintar, rajin
ibadah. Kalau dia bicara tuuh.. Allahumma ee... waktu seakan mogok tak
mau lewat setiap dia pu kalimat. Lembut ... Sejuk.. Bikin dingin di dada.”
“Ko pikir es krim kah? Pake lembut
sejuk dingin segala.” Tersenyum menimpali.
“Ah tapi saya tra tipu kawan. Dia itu
kalau senyum toh, mamaee... Dunia sudah macam punya katong dua
saja.“ Memasang wajah takjub.
Dengan mata pura-pura ditutup dengan mode slow motion. Senyumnya
menyungging.
“Ko stop bicara baku tipu sudah.. Sa
lebih baik pergi saja.” Aku mulai melangkah pergi meninggalkan dia.
“Tunggu dulu oh. Duduk sini! Ko begitu
saja sudah marah.” Menahan tanganku dengan wajahnya memelas.
Terpaksa aku kembali duduk. Karena memang
tempat ini adalah tempat favoritku. Mana mau aku dijajah olehnya tempat ini.
Angin sejuk yang berembus baru saja membelai
kami untuk kesekian kalinya. Alam selalu saja punya trik menghibur manusia dengan
caranya sendiri. Seperti matahari terbit di pagi hari. Awan yang berbaris rapi ketika siang.
Senja yang begitu indahnya. Begitu juga saat malam. Purnama dengan pasukan bintang
di sekelilingnya. Semua sesuai titah Rabb Sang Pencipta. Sadar atau tidak
kadang malah mampu membuat kita tersenyum berterima kasih ikhlas. Padahal hati
sedang tidak baik-baik saja.
“Kawan kau tidak pulang Kaimana kah?” Setelah berdiam diri
beberapa saat aku berinisiatif memulai lebih dahulu.
“Kaimana.” katanya singkat.
Kali ini aku melihat wajahnya mulai sendu.
Matanya menatap lurus ke depan dengan hampa. Tampak benih-benih kesedihan dalam
dirinya. Benar saja sudah tiga tahun ini kami belum lagi berziarah. Mampir pun
tak sempat. Ketika kabar datang bahwa kami ada dalam deretan nama-nama yang
diterima di Sudan melalui jalur Kementerian Agama RI, jujur kami senang namun
karena keterbatasan biaya kami tak sempat pulang ke Kaimana untuk sekedang
mengecup kedua tangan orang tua. Ingin sebetulnya mendengar juga kebahagiaan
mereka bukan hanya melalui jaringan nirkabel HP. Kampung itu pun mungkin juga
sudah lama sabar menyimpan rindu kepada kami. Terlebih sekarang sedang bulan
Ramadan. Artinya sebentar lagi hari raya.
Sungguh kuat kau kawanku. Aku ingat sekali
bagaimana beberapa bulan yang lalu ketika smartphone itu berdering.
Menyita perhatian kami yang sedang asyik main game. Ramai seruan kami
saling menyahut.
“Kawan kau pele (halangi) yang sebelah
kanan. Saya ambil dong dua sebelah kiri.”
“Tembak.. Tembak..” Duts dusts duts..
AK 47 yang aku tenteng mulai merimba. Mengamuk tiada henti. He he, sudah barang
tentu selanjutnya berdebam dua musuh di bagian depan. Mengakui keunggulan kami.
Sulaiman sendiri dia spesialis penembak jarak
jauh. McMillan TAC 50 Sniper kesukaannya. Dengan jarak tembak mencapai 2,4 km.
Ditangan seorang yang ulung pastinya dia menjadi singa padang pasir yang
mengerikan. Mencabik mangsanya hanya dengan sekali letupan. “Dorr.”
Ia mundur sekali lagi memompa. Tembakannya
tadi meleset. “Dor.” Kena.
Lihatnya temanya lari tunggang langgang tak
tahu dari mana peluru yang membuat temannya kehilangan nyawa berasal.
“Ting ..tang ..ting.. tung, ting.. tang..
ting... tung.”
Keasyikan dengan laptop kali ini HP-nya
berdering.
Dia masih asyik dengan laptopnya. Aku dengan
rasa penasaran melirik sekejap.
“Ih, Sulaiman kau punya mama itu.”
“Ah, iyo kah. Haduuuh ...” Kelihatannya
dia belum sepenuhnya ikhlas meninggalkan pertempuran kali ini. Tapi lumayan
terhitung sudah 7 orang musuh kami lumpuhkan. Sedang dari kelompok kami baru
mati 2 orang.
“Aisyah.... Kenapa kau menangis begitu ?”
Suara terdengar lantang. “Aisyah kau jangan baku tipu kah!” nadanya
merendah ingin memastikan dengan memelas. Berharap adik semata wayangnya itu
hanya bercanda. Ternyata dia salah. Mamanya telah benar-benar pulang tak akan
kembali.
“Tuk.” Smartphone dengan layar 5 inci tersebut
jatuh ke lantai. Tubuh jangkungnya lunglai untuk selanjutnya juga jatuh
berdebam. Untuk kulihat kemudian air matanya mengalir. Ia menangis tanpa suara
beberapa saat. Sorot matanya kosong. Seperti setengah jiwanya dicabut paksa,
tanpa ia bisa lawan. Ajal memang selalu begitu. Tak ada yang tahu kapan ia akan
menyapa untuk mengajak pulang. Benar-benar pulang.
Tanpa pikir panjang segera ku matikan laptop
dan kusimpan di almari. Sungguh aku tak mampu berbuat apa-apa. Hanya bisa
menunggunya selesai dan mau bercerita.
Jika kabar itu benar sungguh itu sangat
menyakitkan. Karena aku mengenalnya dengan baik. Bahkan lebih kenal dari
sekedar saudara.
Ketika sebelum berangkat ke Sudan, Mamanya pernah berpesan
melalui suara telepon.
“Jaga diri baik-baik Sulaiman. In syaa Allah
mama akan selalu mendoakan kamu agar jadi orang sukses. Belajar yang rajin!
Dahulu sewaktu SMA kamu hanya belajar waktu ujian saja. Ya walaupun masih
lulus. Semoga sekarang sudah berubah.
Jangan lupa mandi. Kadang kau kalau sudah main
sering lupa mandi. Dua hari sekali kalau sudah dapat tempeleng dari bapak kau.
Baru kau ambil handuk pergi sungai.
Bapak dan Mama cuma ingin kau jadi orang
sukses, bermanfaat untuk keluarga, masyarakat dan Umat.”
“Iya mah.” jawabnya singkat.
Kami ketika itu sedang kuliah di Surabaya.
Atau lebih tepatnya baru lulus D2 persiapan bahasa Arab. Menumpang tinggal
diasrama sementara sambil menunggu jadwal keberangkatan.
Tapi Sulaiman tetaplah Dia. Yang bandel tapi
pintar. Malas tapi cerdas. Entah otaknya tersusun dari apa. Mungkin paduan
Intel® Core™ i9 prosesor 9980HK dan NVIDIA GeForce RTX 2080/RTX 2070 dipadu
dengan RAM 64 GB dan dengan penyimpanan 1 TB. Performa tenaga kuda.
Kabar kepergian mamanya itu membuatnya sangat
terpukul. Disisi lain menjadi pemantik perubahan sikap dan tabiatnya selama
ini. Katanya saat itu sambil menatap langit gelap di saat malam,
“Kawan ... Saya punya mama sudah meninggal.
Orang pertama yang saya harapkan doa-doanya dapat mengetuk singgasana langit.
Orang pertama yang saya kagumi sekaligus cinta. Orang tercantik yang saya
kenal. Meski gurat garis wajahnya memang sudah banyak. Wajahnya sudah menua.
Rambutnya pun sudah banyak yang beruban. Bagaimana tidak mama adalah orang
pertama yang membelaku ketika bapak baku kejar dengan saya mau pukul saya punya
pantat.
Kawan... Tong dua ini anak Papua. Tidak ada istilah
menangis dalam tradisi kita orang. Tapi...” Bicaranya patah-patah terhenti
sejenak.
“Apa saya salah menangis karena kehilangan
mama. Apa saya salah....” terhenti lagi. Kali ini air matanya benar-benar
tumpah.
Tak mengapa lepaskan kawan. Biarkan kesedihan
itu berguguran bersama tetes air mata. Menangis bukan berarti lemah. Namun
sebaliknya menangis adalah bukti bahwa kita manusia. Yang diberi anugerah
berupa hati. Bukan robot atau wayang golek. Gumamku sendirian.
“Saya anak yang tidak tahu diri. Sudah
diberangkatkan jauh-jauh ke
sini dari kita orang punya kampung, tapi saya malah banyak
main.” Aku juga turut merasa disalahkan. Padahal memang salah.
“Saya setiap hari main game. Padahal
dong dua sudah peras keringat buat kasih makan saya.” Dia terus mengadu pada
kesunyian malam. Sedang aku seolah hanya patung membisu tiada guna.
Sendiri itu ilusi. Namun banyak orang memilih
berbagi kesedihan dalam sunyi dan kesendirian. Memilih menunggu malam ketika semua
orang terlelap barulah ia mau berbagi sendu. Menatap bintang membelai bulan.
Manusia sering merasa sendiri. Padahal selalu ada Allah Dzat yang tak pernah
bosan memperhatikan kita.
Aku membiarkan saja dia terus menangis
setidaknya dia tahu aku masih duduk di sampingnya.
“Padahal saya sudah janji sama mama saya akan
belajar baik-baik....
Saya sudah janji... ”
Alangkah kiranya bisa kau bagi duka itu kawan.
Aku mungkin bisa membantumu memikul separuhnya.
*Mahasiswa International University of Africa
0 Comments
Posting Komentar