Oleh Falah Aziz*
Alam semesta merupakan alam Kulli yang terdiri dari berbagai
Juz’iyyat di sekelilingnya mulai dari manusia, hewan, binatang,
tumbuhan, dan sebagainya. Setiap Juz’iyyat tersebut memiliki bentuk dan
ciri khas masing-masing yang sudah digariskan oleh Sang Pencipta. Sebagaimana
sifat-Nya Al-Mushawwir dalam asma’ul Husna yang merupakan isim
fa’il dari kata dasarnya Shawwara-Yushawwiru, yang berarti zat yang
memberi rupa dan bentuk. Dari sinilah mengindikasikan bahwasanya seni yang
Allah ciptakan memiliki nilai di atas segalanya yang tidak bisa diukur dengan
kadar manusia yang terbatas.
Sepanjang kehidupan, memori otak sudah menyimpan ribuan konsep dan
bentuk dari hasil penyerapan yang dilakukan oleh panca indera. Dari mata
misalnya mampu melihat berbagai bentuk, warna, corak di sekelilingnya. Ataupun
telinga yang mampu mendengar suara-suara mulai dari gemercik air, sepoi angin,
hingga suara guntur yang tercipta karena dinamika alam terus bergerak. Semuanya
merupakan seni yang Allah tampilkan kepada hamba-Nya sebagai washilah agar
bisa membaca, menangkap, serta menalar hasil ciptaan-Nya.
Sebagai seorang makhluk dengan segala keterbatasannya pastinya
tidak layak jikalau harus berbangga diri dengan apa yang sudah dicapai dengan
hasil tangannya. Berkembangnya dunia modern yang bercirikan industri teknologi
telah membuat manusia lupa akan fitrahnya. Dari dirinya yang terbatas kemudian
diberikan sepercik ilmu oleh Tuhan yang dengan ilmunya dikembangkan sains dan
teknologi sehingga membantu kehidupan manusia malah justru menegasikan peran
Tuhan.
Tentu bukan hal yang mustahil bagi Tuhan untuk mencabut kembali
ilmu yang diberikan-Nya akibat kecongkakan yang dilakukan oleh manusia. Namun, dengan
Rahmat-Nya, Allah masih memberikan kasih sayangnya kepada semua makhluk tanpa
pandang bulu, baik mereka yang bertakwa maupun yang kufur dengan nikmat-Nya.
Hubungan Penciptaan dengan Fitrah Manusia
Manusia diberikan fitrah oleh Allah Swt berupa potensi untuk
berkreativitas yang bisa dikembangkan sehingga kemampuannya semakin meningkat
dan bahkan bisa melampaui kemampuan fisiknya. Bahkan teknologi yang kita
rasakan sekarang merupakan hasil tiruan dari orang-orang terdahulu.
Sementara penemuan-penemuan yang dilakukan oleh para ilmuwan hakikatnya
bukanlah murni atas hasil tangannya sendiri. Melainkan ada campur tangan dari
Allah Swt.
Pesawat terbang yang kita naiki hari ini adalah wujud dari petunjuk
yang Allah berikan, dalam firman-Nya pada QS. An-Nahl ayat 79, “Tidaklah mereka
memperhatikan burung-burung yang dimudahkan terbang di angkasa bebas. Tidak ada
yang menahannya selain pada Allah. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat
tanda-tanda (kebenaran Tuhan) bagi orang-orang yang beriman.” Dari ayat inilah
kemudian direspon oleh seorang ilmuwan Muslim bernama Abbas Ibn Firnas untuk
dilakukan penelitian. Sehingga pada abad
ke-9 Masehi, beliau sudah berhasil mendesain alat yang memiliki sayap mirip
seperti kostum burung. Pada percobaannya ia berhasil terbang cukup jauh dan
terjatuh sehingga mematahkan tulang belakangnya. Dari sinilah kemudian ilmuwan
barat Wright bersaudara terilhami untuk memodifikasi dan mengembangkan lagi
penelitiannya. Jadi peletak dasarnya adalah seorang Muslim, sementara ilmuwan
Barat hanyalah tahap pengembangan.
Lalu kita masih terniang jelas kisah seorang ulama ahli bahasa Arab
yang juga merupakan guru dari Sibawaeh yaitu Al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi
tentang bagaimana beliau bisa menyusun disiplin Ilmu Arudh (ilmu
persajakan Arab). Diceritakan ketika itu beliau sedang berjalan di pasar, lalu
beliau mendengar bunyi dari salah seorang pandai besi yang sedang memukul-mukul
besinya. Peristiwa yang dilakukan berulang-ulang itu diamati oleh Farahidi
sambil mengikuti ketukannya untuk kemudian dirumuskan menjadi kaidah dasar Ilmu
Arudh atau Ilmu Musiki yang terdiri atas Buhur dan Tafa’ul
yang dirangkum menjadi 15 wazan. Kaidah inilah yang menjadi pijakan
bagi para penyair untuk menentukan ritme suara dan nada dalam sebuah syair.
Allah adalah Maha Memberi Petunjuk kepada setiap hamba-Nya yang
ingin mencari hikmah dibalik penciptaan. Dan hanya orang yang dikehendakinyalah
yang akan mendapatkan hikmah tersebut. Sebagaimana dijelaskan di dalam Al-Qur’an,
Surat Al-Baqarah ayat 269, “Allah menganugerahkan al-hikmah (kepahaman yang
dalam tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan
barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia
yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil
pelajaran (dari firman Allah).” Tentunya, orang yang mendapatkan hikmah adalah
orang yang memiliki akal sempurna dan cahaya serta petunjuk dari Allah SWT.
Seperti mereka para ulama yang senantiasa menyucikan diri kepada Allah.
Dari sinilah kita berpijak, bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta ini diciptakan oleh
Allah SWT agar kita mau merenunginya. Sehingga bagi siap saja yang Allah
kehendaki nantinya akan dibukakan pintu hatinya untuk menerima sebuah cahaya
berupa hikmah. Dan dengan hikmah tersebutlah manusia bisa mengembangkan potensi
yang dimilikinya untuk berinovasi dan berkreatifitas. Namun, dari itu sebagai
manusia yang memiliki pengetahuan terbatas hendaknya senantiasa ingat dengan
fitrahnya yaitu mengesakan Allah SWT (tauhid-l-llah). Sehingga apa yang
didapat berupa pengalaman keilmuan akan senantiasa dikembalikan kepada zat
asalnya yaitu Allah SWT.
*Mahasiswa jurusan Sastra Arab, International University of Africa
0 Comments
Posting Komentar