Oleh Zaffira Dzurrahmah Ramadhany*
Manuskrip sebagai bukti peradaban
Peralihan
zaman sangat dinamis. Peralihan itu dipercepat prosesnya oleh perkembangan
teknologi. Teknologi di era modern diposisikan sebagai pelayan merealisir ide
tentang kemanusiaan. Gagasan ini diposisikan berbanding terbalik dengan era
klasik. Eksistensi keduanya seakan menciptakan persimpangan peradaban
kemanusiaan. Gagasan ini butuh pembuktian. Setidaknya perlu penelusuran melalui
bukti otentik yang sejatinya mewakili zamannya. Untuk menempuh idealitas ini,
manuskrip dapat menjadi salah satu pembukti sekaligus alat takar dalam rihlah
panjang untuk menguji kedigdayaan antar zaman dengan peradaban sebagai batu
ujiannya.
Perlu
disadari, sebelum teknologi berkembang dengan variannya yang nyaris tak terbendung seperti saat ini, masyarakat
klasik terbiasa hidup dan berinteraksi melalui budaya tulis-menulis secara
manual. Implikasinya, ragam interaksi itu terawetkan dengan sangat massive
dalam bentuk manuskrip di berbagai daerah. Manuskrip hadir bersisian dengan
peradaban dan kemanusiaan sebagai rekam jejak perjalanan interaksi antar manusia.
Rekaman
interaksi peradaban dan kemanusiaan itu terkonstruksi yang kemudian dikenal
sebagai naskah, baik tulisan tangan (dengan pena, pensil) maupun ketikan (bukan
cetakan). Manuskrip menjadi titik temu yang menghubungkan antara manusia atas
kejadian masa lampau dengan kejadian yang ada pada saat ini. Titik pertemuan
itu bisa sama memiliki kesamaan konteks, latar maupun ide yang sedang menjadi
topik perbincangan [seru dan aktual] sesuai dengan setting yang dihadirkan oleh
penulis manuskrip. Seakan semua itu berusaha untuk ditransmisikan dalam bentuk
narasi yang berusaha dihidupkan agar dapat tersampaikan esensi maknanya untuk
pembaca manuskrip itu yang bisa saja berada dalam rentang waktu, tempat konteks
dan peristiwa yang bisa saja terasa jauh, asing bahkan asimetris dengan apa pun
yang terjadi ketika manuskrip itu ditulis.
Manuskrip
seakan menjadi alat rekam jejak dan bukti akan [adanya] peradaban. Melalui
manuskrip tradisi masyarakat akan terkuak, terawetkan bahkan dapat ditelusuri
untuk menemukan paralelisasi maupun distingsi sebagai kebalikannya. Bahkan
hingga titik terjauhnya, dapat menemukan polarisasi corak khazanah kekayaan kebudayaaan
maupun perkembangan masyarakat pada suatu daerah, terutama Nusantara. Manuskrip
menjadi penanda bahwa masyarakat di sepanjang bentangan Nusantara telah “melek
huruf”. Premis ini menepis anggapan segelintir orang mengenai Nusantara yang
didiskreditkan sebagai masyarakat yang tertinggal peradaban, padahal temuan mencatat
bahwa manuskrip pertama telah ditemukan pada sekitar abad-13 dan 14 Masehi di
beberapa bentangan wilayah sepanjang kawasan Nusantara.
Filologi dan Kodikologi
Untuk
memahami konten yang termuat dalam manuskrip diperlukan penguasaan filologi dan
kodikologi. Mengenai diskursus ini, Oman Fathurahman sebagai ahli filologi
Islam Nusantara berkomentar bahwa filologi atau tekstologi adalah ilmu yang
mempelajari tentang sejarah teks, naskah atau manuskrip kuno dengan melihat
jujur alur teks dan silsilah teks. Sementara kodikologi menurut Baroroh Baried
adalah ilmu yang mempelajari semua aspek pernaskahan yang meliputi bahan, umur,
dan penulisan naskah.
Oman
Fathurahman mengatakan filologi dan kodikologi adalah “pisau” untuk memahami
sebuah manuskrip kuno. Tetapi pada kenyataannya, masih sedikit kebermunculan
filolog dalam dunia naskah kuno. Jika filolog masih sedikit, lantas bagaimana
kita akan bisa memahami khazanah kebudayaan Nusantara
yang ada di era klasik? Bagaimana kita bisa membuktikan bahwa masyarakat Indonesia
juga memiliki tradisi budaya yang sama dengan bangsa lainnya?
Naskah 77 cabang iman
Beberapa
waktu yang lalu saya sempat membaca di situs daring www.lektur.kemenag.go.id
naskah kuno yang membahas tentang akhlak yang berkaitan dengan 77 cabang iman.
Iman tidak “melulu” sekadar iktikad atau percaya. Iman juga memiliki
cabang-cabang yang harus disempurnakan.
Naskah
77 cabang iman merupakan koleksi dari Ustaz
Kholid yang berdomisili di Desa Lempuyang Udik, Kabupaten Serang, Banten. Kondisi naskah
ini terlihat sangat rapuh, kertas banyak yang berlubang dan sobek-sobek akibat
termakan usia dan minimnya perawatan. Namun demikian, naskah ini masih bisa
terbaca dengan baik. Naskah ditulis dengan khat Naskhi, menggunakan tinta hitam
dan biru serta memiliki alihan yang ditulis dengan menggunakan bahasa Jawa
Pegon. Naskah ini tidak memiliki nomor halaman dan tidak terdapat iluminasi dan
ilustrasi yang menjelaskan isi suatu teks. Naskah terdiri dari 1 kuras, 2
lembar, dan 23 baris teks dalam setiap halamannya. Naskah ini merupakan naskah
tauhid yang membahas tentang cabang-cabang iman. (Sumber: lektur.kemenag.go.id)
Naskah
yang diberi kode LKK-Banten2016-KHD025 yang terdapat pada situs lektur.kemenag.go.id ini berbentuk
prosa yang membahas tentang cabang-cabang keimanan dan membuktikan bahwa iman
tidak hanya soal “iktikad”. Memang terkadang iman seringkali dikaitkan dengan
iktikad atau percaya, tapi tidak melulu soal “percaya” karena iman memiliki 77
cabang sebagaimana yang sudah disebutkan dalam hadis Rasulullah SAW:
عَنْ
أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : الإِيْمَانُ بِضْعٌ وَ سَبْعُوْنَ, أَوْ بِضْعٌ وَ
سِتُّوْنَ شُعْبَةً, فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ : لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ, وَ
أَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ, وَ الحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ
الإِيْمَانِ (رواه البخاري)
Dari
Abu Hurairah RA berkata, Rasulullah SAW bersabda: Iman itu ada tujuh puluh
cabang lebih atau enam puluh cabang lebih. Yang paling utama yaitu perkataan Laa
ilaha illallah, dan yang paling ringan yaitu menyingkirkan gangguan dari
jalan. Dan malu termasuk bagian dari iman (HR.Bukhari).
Hadis
Nabi diatas menjelaskan tentang iman yang memiliki cabang-cabang yang harus disempurnakan.
Adapun penjelasan apa saja cabang-cabang tersebut termaktub dalam naskah kuno
yang saya temukan dan ditulis oleh Syekh Nawawi al-Bantani. Berikut penjelasan
mengenai 77 cabang keimanan yang harus disempurnakan bagi setiap manusia.
Cabang-cabang iman
Hakikatnya
pemeluk agama Islam memiliki 3 macam ajaran, pertama ajaran tentang keimanan
untuk membimbing manusia selaku makhluk yang dapat berpikir dan memiliki
keyakinan. Kedua ajaran tentang peribadatan untuk membimbing tingkah laku lahir
manusia sebagai penggejalaan dari nafsu manusia. Ketiga, ajaran tentang akhlak
untuk membimbing manusia selaku makhluk yang memiliki budi pekerti.
Ajaran-ajaran tersebut sudah mewakili konten yang termaktub dalam naskah kuno
ini.
Hakikat
ajaran bagi pemeluk Islam tertulis dalam naskah ini terdiri atas ajaran
keimanan, ajaran peribadatan, dan ajaran yang membimbing manusia selaku makhluk
berbudi pekerti. Ajaran keimanan yaitu untuk beriman kepada Allah, malaikat,
kitab, nabi, hari akhir serta qada’ dan qodar. Sedangkan ajaran tentang
peribadatan yaitu perintah untuk bersuci, salat, zakat, puasa, haji, itikaf,
haji dan jihad. Sementara, ajaran yang membimbing manusia selaku makhluk yang
memiliki budi pekerti diantaranya cintai sesama manusia, tunaikan amanah,
berbuat baik, muliakan tamu serta tetangga dan lain sebagainya. Keseluruhan
ajaran ini seharusnya dapat diamalkan serta diimplementasikan dalam kehidupan
sehari-hari.
Namun,
ironisnya sebagian dari umat muslim masih belum menyadari dan belum
mengamalkannya. Alasan yang menggema selama ini adalah bahwa iman bersifat
fluktuatif yaitu naik turun, kuat melemah dan muncul tenggelam. Padahal,
sebagai muslim kita harus mengamalkan apa yang menjadi ajaran primer serta
sekunder dalam agama karena itu sebagai wujud bukti ketaatan kita terhadap
agama yang kita peluk.
Oleh
karena itu, kita sebagai umat muslim harus melakukan apa yang sudah
diperintahkan dan menjauhi apa yang dilarang oleh agama. Karena wujud
implementasi dan aplikasi dari semua apa yang dikerjakan menentukan kadar keimanan
kita. Bagaimana hubungan kita dengan Allah sebagai tuhan dan hubungan
antar manusia akan menentukan kedudukan kita sebagai manusia. Jangan lelah untuk
berbuat baik dengan sesama dan menjalankan semua yang telah diperintahkan Allah
maka kita akan menjadi manusia sekaligus hamba yang baik dan bermanfaat
hidupnya.
*Mahasiswi semester 6 Bahasa dan Sastra Arab UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
0 Comments
Posting Komentar