Dunia Terasa Sempit bagi Para Perindu Akhirat (Bagian 2)




Oleh Abdullah Azzam

Masih seperti hari-hari yang lalu. Ia berjalan gontai. Tak mengindahkan apa-apa yang dia lewati. Kemudian ikut duduk bersama kami. Sulaiman kawanku. Raut mukanya masih menyisakan garis-garis kesedihan mendalam. Waktu baginya berjalan begitu lambat. Meski begitu tak ada obat yang lebih mujarab dari waktu itu sendiri. Dia adalah satu dari sekian banyak anugerah Allah untuk para hamba-Nya. Kesedihan dengan berbagai tabiatnya luluh direnggut waktu. Sedikit demi sedikit berkurang dan tinggal menunggu masanya hilang. Dengannya manusia masih bisa bersimpuh mengadu ketika panggilan azan berkumandang. Tertatih memenuhi panggilan Rabb alam semesta. Menunaikan janji sebagai seorang hamba yang berusaha taat. Sejauh apa pun manusia berusaha lari dari Penciptanya sejauh itu pula dia sebenarnya lari dari fitrah. Mau tak mau ia harus pulang. Karena hakikatnya memang seperti itu.

Di bawah temaram cahaya bulan di atas tikar sederhana aku, Sulaiman, dan Wak Asep duduk bertiga. Menikmati malam tanpa sorot lampu, hanya purnama. Mati lampu menjadi hal lumrah bagi para penuntut ilmu di Sudan. Rasanya aneh kalau ada satu hari tanpa mati lampu. Aneh bin ajaib.

“Kita boleh merasa bejat. Bahkan lebih buruk dari bejat. Seolah dunia sudah muak dengan terompah tempat berpijak. Ingin muntah atas dusta juga pengkhianatan bertubi-tubi. Kalau dia Bapakku mungkin sudah ditempelengnya aku beberapa kali. Atau ditendang terusir dari beranda rumah. Bukan soal harta atau jabatan. Atau tentang tampang dan nama. Ini soal janji.”

Ia berhenti sejenak menarik nafas dalam-dalam kemudian mengentakkannya lepas. Tangannya mencoba mengorek-ngorek tanah pasir yang terbakar. Bukan oleh api. Matanya menelisik tajam melucuti keangkuhan malam yang semakin pada puncaknya. Jarang sekali ia melontarkan kata-kata angker. Kalau malam saja sampai menggigil ketakutan, apalagi diriku yang kerdil ini. Mungkin bayangan masa lalunya sedang jatuh bangun berusaha melumpuhkannya sekali lagi. 

Suram, gelap, kelam trilogi keniscayaan hidup ketika manusia menjauh dari tuntunan wahyu.
Ia sendiri terus berlari menyongsong selarik cahaya di depan. Kadang berhenti sejenak melepas lelah sambil menoleh ke belakang akankah masa lalunya tersebut putus asa. Hidup dengan mandi keringat jalanan mendidik dia menjadi pribadi yang berbeda. Menjadi sesosok yang angkuh terhadap masa lalunya. Merobohkan dinding juga pembatas lain yang berusaha menghalangi. Persekongkolan, pengkhianatan, tawuran, adalah teman sehari-hari. Sampai akhirnya cahaya yang ditunggu datang. Walaupun hanya setitik Allah beri dia hidayah untuk mengikutinya sampai membawanya jauh ke negeri ini.

“Tak ada manusia biasa yang tidak pernah berbuat salah. Kita bukan nabi. Juga belum layak disebut pengikutnya yang taat. Jalanan terjal berliku memberikan kita kekuatan lebih dari orang lain. Menyuguhkan kita pemandangan yang berbeda. Pemahaman yang menuntun kita untuk selalu dapat melihat dengan jernih. Adil dalam menilai juga berpikir. Kita dianugerahi mata yang tajam untuk bisa memandang orang dari dua kutub berlawanan. Baik dan buruk. Tentu semua orang memiliki keduanya.

Manusia selalu rindu untuk pulang. Tak tahunya dia bahwa pulang bukan suatu hal yang mudah. Sebagian mereka bahkan masih ragu di mana alamat rumah tempat kembali itu. Apakah dia akan pulang dengan tangan kosong? Atau perlu ada bekal dan karya yang diwariskan? Sehingga menjadi ladang amalnya di kemudian hari.

Para perindu selalu menunggu waktu yang dijanjikan datang. Setia menanti. Setiap kali ia memandang bulan setiap itu pula ingatannya pulih. Bahwa suatu saat ia akan melihat-Nya. Bila beruntung mungkin seperti malam ini. Purnama. Hatinya seolah bukan lagi pada tempatnya. Air matanya juga bukan buat satu dua jiwa yang telah mendahului. Dan memang dunia terasa sempit bagi para perindu akhirat.”

Menarik nafas lagi. Sambil merebahkan badannya bersandar pada bumi. Kenangan akan masa lalunya sekejap telah membawanya menyelam lagi. Menariknya begitu dalam. Dan kali ini dia berusaha berenang ke atas kembali mengambil udara secukupnya.

“Bagaimana muraja’ah hafalan kalian ?” Wak Asep memulai terlebih dahulu. Senyumannya khas mengurangi ketegangan yang sejak tadi mengalir deras dalam nadiku. Aku sendiri masih terus berpikir apa makna tersembunyi dari kata-kata yang ia lontarkan tadi. Namun sudahlah. 

Darah Sunda mengalir kental dalam tubuhnya. Orang seperti dia entah mengapa selalu bisa tersenyum. Mungkin hendak menghibur Sulaiman yang masih kalut.

“Baik Wak, masih sesuai target. Tapi hafalan yang baru masih jauh dari kata lancar. Ditinggal sehari saja sudah sok tidak kenal.” Aku yang menjawab sambil terus menikmati indahnya pesona bulan malam ini.

“Hehehe, begitulah Al-Qur’an. Mirip seperti perempuan. Prinsipnya tidak mau diduakan.” Mengekeh dengan tawa receh. Seolah paling tahu tentang perempuan. Padahal sampai sekarang belum laku-laku. Dasar jones.

“Ada yang bilang menghafal Al-Qur’an itu susah-susah gampang. Susah hafalnya gampang hilangnya. Ya mungkin karena kita banyak maksiat.” Berhenti sejenak memberi jeda.

“Apalagi kalau sudah setengah jalan dapat 15 juz. Mau mundur tanggung, mau maju ragu, yang dihafal belum lancar.” Tambahnya.

Bangkit menarik tubuhnya untuk kembali duduk.

Angin sepoi bertiup menerbangkan rambut gondrong kami. Menari-nari di udara. Kalau orang-orang awam melihat pasti kita sudah dituduh preman. Atau lebih radikal lagi teroris. Wajar, mungkin mereka belum tahu bahwa Nabi dahulu potongan rambutnya juga seperti ini. Kadang gundul atau membiarkannya panjang tergerai sampai ke bahu. Kesimpulannya memanjangkan rambut sampai ke bahu juga bagian dari sunah nabi.

“Kamu sudah selesai baca sirah nabawi kemarin dengan Ustaz Rofiq ?”

“Sudah, lama banget. Kita mulainya jam 9 malam baru selesai jam setengah dua belas. Hampir setiap hari seperti itu, tapi seru sih. Banyak faedahnya. Seperti bagaimana dahulu Nabi shallallahu alaihi wasallam sejak dalam kandungan sudah ditinggal pergi ayahnya. Sejak kecil sudah harus berpisah dengan orang tua diasuh oleh orang lain.” Terangku.

“Kalau kata Imam Syafi’i begini. Diantara manusia selalu ada pengganti, dan dengan ikhlas melepaskan boleh jadi kita malah memperoleh ketenangan. Dan Nabi shallallahu alaihi wasallam terbukti mendapat kasih sayang yang setimpal dari ibu angkatnya Halimah binti Dzuaib dari kabilah As-Sa’ad.” Wak Asep memotong kalimatku.

“Iya Wak. Beliau baru tinggal bersama ibunya di usia 4 tahun. Tanpa kehadiran seorang ayah.”
“Begitulah, dan di usia 6 tahun ibunya juga meninggal. Bayangkan hanya 2 tahun beliau mendapat kasih sayang seorang ibu.” Imbuhnya.

Aku sama sekali tak bisa membayangkan bagaimana bila orang tuaku hari ini meninggal. Kalian pasti juga sama. Mengingat senyum mereka berdua pun kita tak sanggup. Masih sulit kiranya ikhlas melepaskan, bila suatu hari nanti datang saatnya. Padahal usiaku sudah kepala dua. Lalu bagaimana anak berusia 6 tahun harus mengenyam perihnya takdir menjadi yatim piatu. 

“Itu skenario terbaiknya.” Wak Asep melanjutkan. Tak memberiku ruang untuk berandai-andai dalam hati.

“Betapa banyak tinta sejarah mengabadikan orang-orang besar yang lahir tanpa kehadiran seorang ayah. Sebutlah Imam Asy-Syafii dalam bidang fikih atau Imam Al-Bukhari dalam hadis. Siapa yang tidak kenal mereka. Mereka sama-sama yatim. Tapi ketegaran hati dan usaha yang tiada henti membuat mereka menjadi ulama besar. Tak gusar menyalahkan takdir, berani memeluknya dengan ikhlas.

Itu juga karena ada perempuan hebat dibalik mereka. Sosok seorang ibu. Karena itu dalam Islam perempuan memegang peran penting dalam kemajuan peradaban. Perempuan adalah madrasah pertama bagi seorang anak. Guru sekaligus teman baginya mencicipi awal dari kehidupan.
Dalam Islam kita mengenal Aisyah, seorang perempuan yang tak hanya dikenal dengan cantik tapi juga cerdas. Bahkan Imam Ahmad mempunyai satu jilid khusus dalam musnadnya, semua berisikan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah. 

Kita juga mengenal Khadijah dengan kelembutan, pengertian juga kepekaannya. Sosok perempuan berkepala empat yang sangat mengerti suami. Apalah arti harta kecuali untuk di korbankan di jalan Allah juga untuk menopang dakwah suami tercinta. Jangan ajari ia tentang setia. Dua puluh lima tahun bersama. Raganya telah pergi namun tetap terkenang karena budi dan jasa tanpa pamrih.”

Berhenti lagi. Aku berusaha menerka-nerka arah pembicaraan Wak Asep.

“Anehnya wanita sekarang saling bertanya-tanya. Siapa yang hendak dijadikan idola ? Perempuan mana yang berhak ditiru ? Banyak dari mereka lupa bahwa generasi awal Islam adalah masa keemasan. Bukan tentang peradaban dari sisi teknologi, sastra atau pengetahuan alam. Kalau yang itu kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad, Umayyah di Andalusia juga Utsmaniyah di Turki lebih maju. Ini tentang pribadi yang ditarbiah di didik langsung di bawah bimbingan Rasulullah shallallahu alaihi wasalam

So, Jangan sampai salah pilih pasangan. Bahagia sedih bersama di dunia tidak masalah. Tapi masuk surga bersama harga mati.”

“Oh jadi itu alasan antum sampai sekarang masih jones Wak? Jomblo ngenes.” Sambarku menggoda.

“Bukan jomblo. Single, berusaha mencari sekaligus memantaskan diri. Bedakan itu.” Dia membela diri. 

Sama saja, batinku dalam hati.

"Tapi kalau memang ada yang mau sama antum Wak. Perempuan itu mungkin tidak bisa baca tulis."

"Mengapa bisa begitu?"

"Buktinya tidak bisa baca tanggal kadaluwarsa." Aku tersenyum.

"Ngawur." Dia mulai terpancing.

"Orang bilang cinta itu tak kenal usia." Ia mengatakan dengan keteguhan hati yang begitu dalam.
"Eh Wak, ana ada kenalan. Perempuan ini cantik, kaya, sholehah, mapan, berpendidikan tinggi. Tutur katanya halus asli orang Jawa. Dia butuh orang-orang kaya Wak Asep. Kalau Wak tertarik aku bisa bantu kenalkan." Aku ingin melihat reaksinya seperti apa.

"Serius nih? Boleh atuh". Sambutnya segera.

"Kalau ana pandang-pandang kriteria dia ada pada antum semua. Cuma antum tidak takut ditolak?" Tanyaku.

"Apa salahnya dicoba." Jawabnya yakin.

"Ya sudah namanya Ibu Ningsih. Tinggal satu kampung dengan nenekku di Trenggalek. Alumni kedokteran UGM tahun delapan puluhan."

"Sudah tua dong. Bagaimana sih." potongnya.

"Ya kan antum sendiri yang bilang cinta tak memandang usia. Hahaha." Aku senang saja mengerjai Wak Asep.

"Tapi tadi kau bilang cantik. Itu mah sudah tua." Dia masih tidak terima.

"Kan tidak mungkin ana bilang perempuan ganteng wak. Hahaha." Jawabku tanpa rasa bersalah. Begitulah manusia sering kali berbohong pada diri sendiri. Berbicara seolah paling bijak. Kenyataannya tidak semudah itu.

“Ngomong-ngomong masih enak kita di Sudan bisa makan sahur dan berbuka dengan layak." Mengalihkan perhatian. "Jarang-jarang kan makan daging sapi atau ayam setiap hari. Tidak tahu saudara kita di Palestina atau di Suriah sana seperti apa.”

Memang benar kalau bukan di bulan Ramadan hampir setiap hari menu makan kami hanya kuah bawang. Bawang merah dipotong-potong ditambah bawang putih sedikit dan bumbu seperti fil-fil (lada), kurkum (kunyit), juga kasbaroh (ketumbar). Tambahkan sedikit garam dan gula selesai. Kalau mau agak pedas tambahkan cabai bubuk. Lauknya telur dadar.

Bedanya di bulan Ramadhan biasa menunya enak seperti opor ayam, ayam rica-rica, ayam bakar, ayam balado, gulai, dendeng sapi, rendang, coto Makassar dan lain-lain. Spesial bukan? Dan kokinya ya kita-kita ini. Aku serius. Jangan kira laki-laki tidak jago masak.

Belum lagi minumannya seperti milkshake oreo, lemon tea, mint tea, kopi susu, soda gembira, dan lain-lain. Kolak pun kadang juga ada. Buahnya ada semangka, pisang, jeruk, apel dan kurma.
Sedang dibumi bagian yang lain. Saudara kita di Palestina dan Suriah untuk makan sesuap roti kering pun tak ada. Tidur berteman lapar dan haus. Tanpa alas kasur empuk. Tanpa cooler atau kipas angin pengusir panas.

Sedang kami kalau matahari sedang mengamuk di siang menjelang sore kami bisa ngadem di masjid. Suhu di Sudan sendiri ketika musim panas sejauh ini bisa sampai 45° C separuh suhu air mendidih. Suhu paling rendahnya sekitar 38-39° C. Jadi yang di Indonesia jangan manja. Baru juga 39°C sudah koar-koar seperti banteng ketaton.

Sebetulnya ada banyak ritual pengusir panas yang lain. Seperti menyiram kasur, membasahi handuk atau sarung. Membasahi kaos baju. Memakai kaos kaki tebal musim dingin yang terlebih dahulu sudah basah dengan air. Bisa juga dengan memakai sprayer ke wajah juga bagian tubuh lain yang dirasa panas.

“Sayang sekali di malam purnama seperti ini ada saja yang masih murung.” Pandangannya di arahkan kepada Sulaiman yang hampir tidak bergerak sama sekali sejak tadi.

“Senyum sedikit woii.. ! Tidak perlu banyak-banyak. Sedikit saja.” Wak Asep menyikut Sulaiman sampai terjatuh dari duduknya.

Sulaiman kembali bangun dengan senyuman yang dipaksakan.

“Apalah arti senyuman Wak sedang dengannya aku tak mampu mengubah statusmu dari seorang jones. Sudah tua tak laku-laku pula.” Ia tersenyum untuk pertama kalinya.

Sejak saat itu sedikit demi sedikit kesedihan di hatinya memudar. Ia memang belum sempat dan tidak akan sempat mencium jasad ibunya sebelum dikebumikan. Belum sempat juga dia meminta maaf kepada wanita yang telah mengandungnya, menyusuinya, mengurusnya sejak kecil. Wanita yang mendoakannya setiap sepertiga malam. Wanita yang tak lelah mengetuk pintu langit dengan air matanya. Semua serba cepat. Banyak hal berubah sekejap hanya karena satu takdir telah diputuskan. Hanya orang yang benar-benar kokoh mampu bertahan. Menyerahkan semua kepada Allah Dzat yang Maha Tahu dan tak pernah menyalahi janji. Manusia hanya berhak berdoa memohon berusaha. Allah yang memutuskan dengan ilmu-Nya. 

“Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan kamu akan dikembalikan hanya kepada Kami.”
QS. Al-Anbiya : 35

"Tuuut.. Tuuutt..." HP Wak Asep bergetar.

(Bersambung)

Posting Komentar

0 Comments

Formulir Kontak