Oleh Abdullah Azzam
Masih seperti hari-hari yang lalu. Ia berjalan
gontai. Tak mengindahkan apa-apa yang dia lewati. Kemudian ikut duduk bersama
kami. Sulaiman kawanku. Raut mukanya masih menyisakan garis-garis kesedihan
mendalam. Waktu baginya berjalan begitu lambat. Meski begitu tak ada obat yang
lebih mujarab dari waktu itu sendiri. Dia adalah satu dari sekian banyak
anugerah Allah untuk para hamba-Nya. Kesedihan dengan berbagai tabiatnya luluh
direnggut waktu. Sedikit demi sedikit berkurang dan tinggal menunggu masanya hilang.
Dengannya manusia masih bisa bersimpuh mengadu ketika panggilan azan
berkumandang. Tertatih memenuhi panggilan Rabb alam semesta. Menunaikan janji sebagai seorang
hamba yang berusaha taat. Sejauh apa pun manusia berusaha lari dari Penciptanya
sejauh itu pula dia sebenarnya lari dari fitrah. Mau tak mau ia harus pulang.
Karena hakikatnya memang seperti itu.
Di bawah temaram cahaya bulan di atas tikar
sederhana aku, Sulaiman, dan Wak Asep duduk bertiga. Menikmati malam tanpa sorot lampu, hanya
purnama. Mati lampu menjadi hal lumrah bagi para penuntut ilmu di Sudan.
Rasanya aneh kalau ada satu hari tanpa mati lampu. Aneh bin ajaib.
“Kita boleh merasa bejat. Bahkan lebih buruk
dari bejat. Seolah dunia sudah muak dengan terompah tempat berpijak. Ingin
muntah atas dusta juga pengkhianatan bertubi-tubi. Kalau dia Bapakku mungkin
sudah ditempelengnya aku beberapa kali. Atau ditendang terusir dari beranda
rumah. Bukan soal harta atau jabatan. Atau tentang tampang dan nama. Ini soal
janji.”
Ia berhenti sejenak menarik nafas dalam-dalam
kemudian mengentakkannya lepas. Tangannya mencoba mengorek-ngorek tanah pasir
yang terbakar. Bukan oleh api. Matanya menelisik tajam melucuti keangkuhan
malam yang semakin pada puncaknya. Jarang sekali ia melontarkan kata-kata angker.
Kalau malam saja sampai menggigil ketakutan, apalagi diriku yang kerdil ini.
Mungkin bayangan masa lalunya sedang jatuh bangun berusaha melumpuhkannya
sekali lagi.
Suram, gelap, kelam trilogi keniscayaan hidup
ketika manusia menjauh dari tuntunan wahyu.
Ia sendiri terus berlari menyongsong selarik
cahaya di depan. Kadang berhenti sejenak melepas lelah sambil menoleh ke
belakang akankah masa lalunya tersebut putus asa. Hidup dengan mandi keringat
jalanan mendidik dia menjadi pribadi yang berbeda. Menjadi sesosok yang angkuh
terhadap masa lalunya. Merobohkan dinding juga pembatas lain yang berusaha menghalangi.
Persekongkolan, pengkhianatan, tawuran, adalah teman sehari-hari. Sampai akhirnya cahaya yang ditunggu datang.
Walaupun hanya setitik Allah beri dia hidayah untuk mengikutinya sampai
membawanya jauh ke negeri ini.
“Tak ada manusia biasa yang tidak pernah
berbuat salah. Kita bukan nabi. Juga belum layak disebut pengikutnya yang taat.
Jalanan terjal berliku memberikan kita kekuatan lebih dari orang lain. Menyuguhkan
kita pemandangan yang berbeda. Pemahaman yang menuntun kita untuk selalu dapat
melihat dengan jernih. Adil dalam menilai juga berpikir. Kita dianugerahi mata
yang tajam untuk bisa memandang orang dari dua kutub berlawanan. Baik dan
buruk. Tentu semua orang memiliki keduanya.
Manusia selalu rindu untuk pulang. Tak tahunya
dia bahwa pulang bukan suatu hal yang mudah. Sebagian mereka bahkan masih ragu
di mana alamat rumah tempat kembali itu. Apakah dia akan pulang dengan tangan
kosong? Atau perlu ada bekal dan karya yang diwariskan? Sehingga menjadi ladang
amalnya di kemudian hari.
Para perindu selalu menunggu waktu yang
dijanjikan datang. Setia menanti. Setiap kali ia memandang bulan setiap itu
pula ingatannya pulih. Bahwa suatu saat ia akan melihat-Nya. Bila beruntung
mungkin seperti malam ini. Purnama. Hatinya seolah bukan lagi pada tempatnya.
Air matanya juga bukan buat satu dua jiwa yang telah mendahului. Dan memang
dunia terasa sempit bagi para perindu akhirat.”
Menarik nafas lagi. Sambil merebahkan badannya
bersandar pada bumi. Kenangan akan masa lalunya sekejap telah membawanya
menyelam lagi. Menariknya begitu dalam. Dan kali ini dia berusaha berenang ke
atas kembali mengambil udara secukupnya.
“Bagaimana muraja’ah hafalan kalian ?”
Wak Asep memulai terlebih dahulu. Senyumannya khas mengurangi ketegangan yang
sejak tadi mengalir deras dalam nadiku. Aku sendiri masih terus berpikir apa
makna tersembunyi dari kata-kata yang ia lontarkan tadi. Namun sudahlah.
Darah Sunda mengalir kental dalam tubuhnya. Orang seperti
dia entah mengapa selalu bisa tersenyum. Mungkin hendak menghibur Sulaiman yang
masih kalut.
“Baik Wak, masih sesuai target. Tapi hafalan yang baru
masih jauh dari kata lancar. Ditinggal sehari saja sudah sok tidak kenal.” Aku
yang menjawab sambil terus menikmati indahnya pesona bulan malam ini.
“Hehehe, begitulah Al-Qur’an. Mirip seperti
perempuan. Prinsipnya tidak mau diduakan.” Mengekeh dengan tawa receh. Seolah
paling tahu tentang perempuan. Padahal sampai sekarang belum laku-laku. Dasar jones.
“Ada yang bilang menghafal Al-Qur’an itu
susah-susah gampang. Susah hafalnya gampang hilangnya. Ya mungkin karena kita
banyak maksiat.” Berhenti sejenak memberi jeda.
“Apalagi kalau sudah setengah jalan dapat 15
juz. Mau mundur tanggung, mau maju ragu, yang dihafal belum lancar.” Tambahnya.
Bangkit menarik tubuhnya untuk kembali duduk.
Angin sepoi bertiup menerbangkan rambut
gondrong kami. Menari-nari di udara. Kalau orang-orang awam melihat pasti kita
sudah dituduh preman. Atau lebih radikal lagi teroris. Wajar, mungkin mereka
belum tahu bahwa Nabi dahulu potongan rambutnya juga seperti ini. Kadang gundul
atau membiarkannya panjang tergerai sampai ke bahu. Kesimpulannya memanjangkan
rambut sampai ke bahu juga bagian dari sunah nabi.
“Kamu sudah selesai baca sirah nabawi
kemarin dengan Ustaz Rofiq ?”
“Sudah, lama banget. Kita mulainya jam 9 malam
baru selesai jam setengah dua belas. Hampir setiap hari seperti itu, tapi seru
sih. Banyak faedahnya. Seperti bagaimana dahulu Nabi shallallahu alaihi
wasallam sejak dalam kandungan sudah ditinggal pergi ayahnya. Sejak kecil
sudah harus berpisah dengan orang tua diasuh oleh orang lain.” Terangku.
“Kalau kata Imam Syafi’i begini. Diantara
manusia selalu ada pengganti, dan dengan ikhlas melepaskan boleh jadi kita
malah memperoleh ketenangan. Dan Nabi shallallahu alaihi wasallam terbukti
mendapat kasih sayang yang setimpal dari ibu angkatnya Halimah binti Dzuaib
dari kabilah As-Sa’ad.” Wak Asep memotong kalimatku.
“Iya Wak. Beliau baru tinggal bersama ibunya
di usia 4 tahun. Tanpa kehadiran seorang ayah.”
“Begitulah, dan di usia 6 tahun ibunya juga
meninggal. Bayangkan hanya 2 tahun beliau mendapat kasih sayang seorang ibu.”
Imbuhnya.
Aku sama sekali tak bisa membayangkan
bagaimana bila orang tuaku hari ini meninggal. Kalian pasti juga sama.
Mengingat senyum mereka berdua pun kita tak sanggup. Masih sulit kiranya ikhlas
melepaskan, bila suatu hari nanti datang saatnya. Padahal usiaku sudah kepala
dua. Lalu bagaimana anak berusia 6 tahun harus mengenyam perihnya takdir
menjadi yatim piatu.
“Itu skenario terbaiknya.” Wak Asep
melanjutkan. Tak memberiku ruang untuk berandai-andai dalam hati.
“Betapa banyak tinta sejarah mengabadikan
orang-orang besar yang lahir tanpa kehadiran seorang ayah. Sebutlah Imam Asy-Syafii
dalam bidang fikih atau Imam Al-Bukhari dalam hadis. Siapa yang tidak kenal mereka. Mereka
sama-sama yatim. Tapi ketegaran hati dan usaha yang tiada henti membuat mereka
menjadi ulama besar. Tak gusar menyalahkan takdir, berani memeluknya dengan
ikhlas.
Itu juga karena ada perempuan hebat dibalik
mereka. Sosok seorang ibu. Karena itu dalam Islam perempuan memegang peran
penting dalam kemajuan peradaban. Perempuan adalah madrasah pertama bagi
seorang anak. Guru sekaligus teman baginya mencicipi awal dari kehidupan.
Dalam Islam kita mengenal Aisyah, seorang
perempuan yang tak hanya dikenal dengan cantik tapi juga cerdas. Bahkan Imam
Ahmad mempunyai satu jilid khusus dalam musnadnya, semua berisikan hadis-hadis yang
diriwayatkan oleh Aisyah.
Kita juga mengenal Khadijah dengan kelembutan,
pengertian juga kepekaannya. Sosok perempuan berkepala empat yang sangat
mengerti suami. Apalah arti harta kecuali untuk di korbankan di jalan Allah
juga untuk menopang dakwah suami tercinta. Jangan ajari ia tentang setia. Dua
puluh lima tahun bersama. Raganya telah pergi namun tetap terkenang karena budi
dan jasa tanpa pamrih.”
Berhenti lagi. Aku berusaha menerka-nerka arah
pembicaraan Wak Asep.
“Anehnya wanita sekarang saling
bertanya-tanya. Siapa yang hendak dijadikan idola ? Perempuan mana yang berhak
ditiru ? Banyak dari mereka lupa bahwa generasi awal Islam adalah masa
keemasan. Bukan tentang peradaban dari sisi teknologi, sastra atau pengetahuan
alam. Kalau yang itu kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad, Umayyah di Andalusia
juga Utsmaniyah di Turki lebih maju. Ini tentang pribadi yang ditarbiah di
didik langsung di bawah bimbingan Rasulullah shallallahu alaihi wasalam.
So, Jangan sampai
salah pilih pasangan. Bahagia sedih bersama di dunia tidak masalah. Tapi masuk
surga bersama harga mati.”
“Oh jadi itu alasan antum sampai sekarang
masih jones Wak? Jomblo ngenes.” Sambarku menggoda.
“Bukan jomblo. Single, berusaha mencari
sekaligus memantaskan diri. Bedakan itu.” Dia membela diri.
Sama saja, batinku dalam hati.
"Tapi kalau memang ada yang mau sama antum Wak. Perempuan itu
mungkin tidak bisa baca tulis."
"Mengapa bisa begitu?"
"Buktinya tidak bisa baca tanggal kadaluwarsa."
Aku tersenyum.
"Ngawur." Dia mulai terpancing.
"Orang bilang cinta itu tak kenal
usia." Ia mengatakan dengan keteguhan hati yang begitu dalam.
"Eh Wak, ana ada kenalan.
Perempuan ini cantik, kaya, sholehah, mapan, berpendidikan tinggi. Tutur
katanya halus asli orang Jawa. Dia butuh orang-orang kaya Wak Asep. Kalau Wak
tertarik aku bisa bantu kenalkan." Aku ingin melihat reaksinya seperti
apa.
"Serius nih? Boleh atuh". Sambutnya
segera.
"Kalau ana pandang-pandang kriteria dia
ada pada antum semua. Cuma antum tidak takut ditolak?" Tanyaku.
"Apa salahnya dicoba." Jawabnya
yakin.
"Ya sudah namanya Ibu Ningsih. Tinggal
satu kampung dengan nenekku di Trenggalek. Alumni kedokteran UGM tahun delapan
puluhan."
"Sudah tua dong. Bagaimana sih."
potongnya.
"Ya kan antum sendiri yang bilang
cinta tak memandang usia. Hahaha." Aku senang saja mengerjai Wak Asep.
"Tapi tadi kau bilang cantik. Itu mah
sudah tua." Dia masih tidak terima.
"Kan tidak mungkin ana bilang perempuan
ganteng wak. Hahaha." Jawabku tanpa rasa bersalah. Begitulah manusia
sering kali berbohong pada diri sendiri. Berbicara seolah paling bijak.
Kenyataannya tidak semudah itu.
“Ngomong-ngomong masih enak kita di Sudan bisa
makan sahur dan berbuka dengan layak." Mengalihkan perhatian.
"Jarang-jarang kan makan daging sapi atau ayam setiap hari. Tidak tahu saudara kita di
Palestina atau di Suriah sana seperti apa.”
Memang benar kalau bukan di bulan Ramadan
hampir setiap hari menu makan kami hanya kuah bawang. Bawang merah
dipotong-potong ditambah bawang putih sedikit dan bumbu seperti fil-fil (lada),
kurkum (kunyit), juga kasbaroh (ketumbar). Tambahkan sedikit
garam dan gula selesai. Kalau mau agak pedas tambahkan cabai bubuk. Lauknya
telur dadar.
Bedanya di bulan Ramadhan biasa menunya enak
seperti opor ayam, ayam rica-rica, ayam bakar, ayam balado, gulai, dendeng
sapi, rendang, coto Makassar dan
lain-lain. Spesial bukan? Dan kokinya ya kita-kita ini.
Aku serius. Jangan kira laki-laki tidak jago masak.
Belum lagi minumannya seperti milkshake
oreo, lemon tea, mint tea, kopi susu, soda gembira, dan lain-lain. Kolak pun
kadang juga ada. Buahnya ada semangka, pisang, jeruk, apel dan kurma.
Sedang dibumi bagian yang lain. Saudara kita
di Palestina dan Suriah untuk makan sesuap roti kering pun tak ada. Tidur
berteman lapar dan haus. Tanpa alas kasur empuk. Tanpa cooler atau kipas
angin pengusir panas.
Sedang kami kalau matahari sedang mengamuk di
siang menjelang sore kami bisa ngadem di masjid. Suhu di Sudan sendiri
ketika musim panas sejauh ini bisa sampai 45° C separuh suhu air mendidih. Suhu
paling rendahnya sekitar 38-39° C. Jadi yang di Indonesia jangan manja. Baru
juga 39°C sudah koar-koar seperti banteng ketaton.
Sebetulnya ada banyak ritual pengusir panas
yang lain. Seperti menyiram kasur, membasahi handuk atau sarung. Membasahi kaos
baju. Memakai kaos kaki tebal musim dingin yang terlebih dahulu sudah basah dengan
air. Bisa juga dengan memakai sprayer ke wajah juga bagian tubuh lain
yang dirasa panas.
“Sayang sekali di malam purnama seperti ini
ada saja yang masih murung.” Pandangannya di arahkan kepada Sulaiman yang
hampir tidak bergerak sama sekali sejak tadi.
“Senyum sedikit woii.. ! Tidak perlu
banyak-banyak. Sedikit saja.” Wak Asep menyikut Sulaiman sampai terjatuh dari
duduknya.
Sulaiman kembali bangun dengan senyuman yang
dipaksakan.
“Apalah arti senyuman Wak sedang dengannya aku
tak mampu mengubah statusmu dari seorang jones. Sudah tua tak
laku-laku pula.” Ia tersenyum untuk pertama kalinya.
Sejak saat itu sedikit demi sedikit kesedihan
di hatinya memudar. Ia memang belum sempat dan tidak akan sempat mencium jasad
ibunya sebelum dikebumikan. Belum sempat juga dia meminta maaf kepada wanita
yang telah mengandungnya, menyusuinya, mengurusnya sejak kecil. Wanita yang
mendoakannya setiap sepertiga malam. Wanita yang tak lelah mengetuk pintu
langit dengan air matanya. Semua serba cepat. Banyak hal berubah sekejap hanya
karena satu takdir telah diputuskan. Hanya orang yang benar-benar kokoh mampu
bertahan. Menyerahkan semua kepada Allah Dzat yang Maha Tahu dan tak pernah
menyalahi janji. Manusia hanya berhak berdoa memohon berusaha. Allah yang
memutuskan dengan ilmu-Nya.
“Setiap yang bernyawa akan merasakan mati.
Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan kamu
akan dikembalikan hanya kepada Kami.”
QS. Al-Anbiya : 35
"Tuuut.. Tuuutt..." HP Wak Asep
bergetar.
(Bersambung)
0 Comments
Posting Komentar