Oleh Muhammad Najmuddin
Islam adalah agama yang
diridai Allah bagi seluruh hamba-Nya untuk dipeluk, dijalankan, dan ditaati
setiap apa yang bersumber dari Islam. Maka tentulah wajib bagi mereka untuk
mengikuti Al-Qur'an sebagai “Grand Concept of Islam” (konsep utama
Islam) dengan benar-benar mengikuti sesuai pemahaman para pakar agama Islam
yakni ulama.
Allah menghendaki dalam
setiap generasi seorang pembaharu yang menuntun kita dalam beragama. Sebagaimana
yang diriwayatkan oleh Kamil ibn Ziyad dari Ali bin Abi Thalib bahwa ia
berkata, "Bumi tidak akan kosong dari seseorang yang menegakkan
hujjah-hujjah Allah." Al-Imam Badruddin az-Zarkasyi dalam kitabnya Tasynif al Masami' juga memilih pendapat
tersebut.
Seperti Imam Abu Hanifah,
Imam Malik, Imam as Syafi'i, dan Imam Ahmad yang kita kenal dengan sebutan al-Madzahibul
Arba'ah, dari ajaran merekalah kita mampu memahami hukum dalam Al-Qur'an.
Oleh karena itu, tidak selayaknya kaum muslimin untuk memahami serta menerapkan
intisari Grand Concept tanpa tuntunan ulama.
Begitu pula peran Nabi
Muhammad sebagai seorang penuntun seraya mentransformasikan pemikiran bangsa
Arab dari masa Jahiliah (sebelum Islam) dimana mereka menyembah berhala dan
menjadikannya sebagai Tuhan, menuju masa ilmu pengetahuan (Scientific Era).
Kemudian mereka mengajarkan pemikiran Nabi kepada generasi setelahnya.
Terus-menerus hingga sampai generasi kita sekarang.
Sebelumnya, jauh sebelum
Nabi Muhammad datang mengenalkan apa itu agama dan siapa itu Tuhan, umat
manusia ketika kemarau panjang datang melanda, mereka memiliki tradisi menabuh
lesung seraya mengharapkan hujan turun. Ketika hujan turun, mereka semakin
yakin turunnya hujan karena perantara perbuatan tersebut. Inilah yang dinamakan
'Primitive Era'.
Ketika lesung ditabuh
sampai para penabuh kelelahan tidak juga turun hujan, mereka mulai berpikir
bahwa ada kekuatan supranatural di dunia ini yang mengatur hujan. Maka mereka
pun menyembah segala sesuatu yang diyakini memiliki kekuatan tersebut, entah
itu batu, hewan, ataupun manusia.
Kemudian atas perintah
dari Tuhan, Nabi Muhammad mengajarkan
bahwa Tuhan adalah Allah, dan Allah adalah zat yang hanya berhak disembah, zat
yang berkuasa secara absolut, bahwa Dialah zat yang keberadaannya tidak dapat
dibayangkan oleh akal. Dengan begitu, pemikiran manusia mulai bertransformasi
tentang teologi. Kemudian dengan ini mereka dapat mengetahui apa itu Islam dan
bagaimana ajarannya sebab tuntunan dari
sang Nabi.
Transformasi pemikiran
umat manusia dapat kita temui juga dalam masa-masa awal agama Islam yang dibawa
oleh Nabi Muhammad. Seperti peristiwa gerhana matahari yang terjadi hanya
beberapa saat setelah pemakaman Ibrahim, putra Nabi Muhammad. Masyarakat
Madinah kala itu mengira peristiwa terjadi akibat dari wafatnya
Ibrahim. Maka kemudian Nabi meluruskan anggapan tersebut, bahwa gerhana
matahari terjadi karena kuasa Allah, bukan karena ada kematian, kelahiran, atau
dimakan makhluk tertentu. Transformasi ini juga membuat umat Islam jika suatu
ketika Allah tidak berkehendak untuk menurunkan hujan, mereka berpikir bahwa
turunnya hujan disamping dengan kehendak dari yang Maha Kuasa, ada sebab-sebab
yang berakibat turunnya hujan, bahwa hujan adalah bertemunya ion positif dan
negatif lalu menjadi halilintar (lightning) yang mampu memecahkan
gumpalan awan mendung tebal menjadi butiran es kecil kemudian menjadi hujan.
Era ini kita sebut sebagai "Science Era" dimana kaum muslimin
di samping mendalami ilmu agama, juga mengembangkan berbagai cabang ilmu
pengetahuan seperti antariksa, sastra, dan kedokteran.
Lalu, di situasi pendemi
sekarang ini, kita bersikap seperti layaknya orang primitif, agamis, atau
saintifik? Mari berpikir!
Tertulis dalam sejarah,
bahwa umat Islam pernah dilanda berbagai wabah dan penyakit seperti influenza,
malaria, cacar, campak, kolera, dan Thaun.
Telah jatuh ribuan bahkan jutaan korban yang terdampak dan tidak sedikit yang
meninggal dunia. Di masa itu, meskipun sudah banyak protokol kesehatan, peran
ulama sangat terlihat sebagai penuntun umat. Hal ini dibuktikan dengan cara
mereka menenangkan umat agar tidak panik atas musibah yang terjadi serta tetap
waspada. Diceritakan dalam kitab Syifaul Qalbil Mahzun karya Syaikh Qadi
Ṣafad Muḥammad, bahwa pada akhir abad ketujuh hijriah, ketika wabah Thaun
menyerang, umat Islam tetap menjalani hari dan malam mereka serta
beribadah seperti biasanya. Ketenangan
mereka dapatkan karena peran ulama yang terus mengumandangkan nasehat Nabi
Muhammad untuk menambah porsi ibadah mereka ketika tertimpa musibah, bukan
menguranginya.
Begitupun sikap kita saat
Covid-19 melanda seluruh dunia, ketika banyak revolusi pemikiran modern dan
sekulerisme dalam agama berkali-kali dilalui oleh umat manusia, para ulama
masih diharapkan perannya sebagai penyeimbang antara agama dan sains. Ulama
adalah penuntun selama ribuan tahun usia agama ini, silih berganti mendidik
manusia dalam berbagai generasi.
Saat ini, ulama bersama
pemerintah dari berbagai negara, serta berbagai aspek lapisan masyarakat,
bersinergi menghadirkan ketenangan bagi umat tanpa meninggalkan ajaran yang ada
di dalam 'Grand Concept of Islam'. Seperti himbauan dari Grand Syaikh Al
Azhar, Ahmad Tayyeb kepada muslim dunia untuk mengikuti protokol kesehatan dan
peraturan yang dikeluarkan otoritas resmi yang berkompeten, di antaranya
menjaga kebersihan, mematuhi Physical Distancing (jaga jarak kontak
fisik), dan komitmen untuk tinggal di rumah. Dalam himbauannya, Grand Syaikh
menukil firman Allah: "Dan janganlah menjerumuskan dirimu ke dalam
kebinasaan," serta kaidah fikih: "Mencegah kerusakan didahulukan atas
mewujudkan kemaslahatan," dan: "Bahaya yang lebih besar dihilangkan
dengan yang lebih sedikit mudaratnya."
Di masa Covid-19 ini
pula, banyak ulama yang gigih menyeru kepada kebajikan dengan konsisten mengadakan
kajian keagamaan secara daring. Hal ini mungkin bukan hal baru, namun baru
terasa manfaatnya dan terlihat gerakannya pada masa Lockdown ini. Sebagaimana pernyataan dari Ustadz Muhammad Hayat,
alumni Global University Lebanon dari kota Pasuruan, Jawa Timur, beliau
mengajak santrinya untuk mengikuti kajian kitab secara daring dari ulama dalam
dan luar negeri. Menurut beliau, sistem semacam ini sah dalam agama, selama
tokoh dalam konten tersebut merupakan orang yang terpercaya dan memiliki sanad
keilmuan yang jelas serta bersumber dari akun media sosial yang jelas pula agar
kita terhindar dari video atau rekaman suara yang di dalamnya terdapat editan
dan sisipan yang tidak benar.
Maka ketika pandemi
Covid-19 melanda, sepatutnya masyarakat mengikuti anjuran pemerintah dan ulama
dengan tidak membuat dan menyebarkan berita-berita hoaks serta menghilangkan
kepercayaan masyarakat terhadap upaya-upaya pemerintah dalam menanggulangi
penyebaran Covid-19.
Kesimpulannya, bersikap
agamis saja tidak cukup, harus berpadu dengan sikap saintifik. Bukan malah
agamis tanpa peduli sains hingga bersikap "bodo amat" tanpa
peduli mau terjangkit Corona atau tidak dan tidak mau mendengarkan apa kata
dokter. Karena dia salah dalam memahami bahwa hidup dan mati hanya tawakkal
(berserah diri) kepada Allah hingga lupa untuk ikhtiar (berusaha sebelum
tawakkal).
Jadi, sudahkan kita
mentransformasikan pola pikir kita sekarang?
0 Comments
Posting Komentar