Bukankah Perbedaan Adalah Rahmat?


Oleh: Malla Hasyimi
 
Setelah membaca timeline salah satu teman, sebuah sajak curhatan hati tentang betapa mudahnya perilaku menghakimi dan menuduh orang lain sesat, dengan mudah mengkafirkan, hanya karena satu dua berbeda paham atau sudut pandang, saya ikut miris melihatnya. Berangkat dari hal tersebutlah, teruntuk teman-temanku, mungkin kita pernah mengetahui dan mengerti apa makna ‘perbedaan’, sejak di bangku SD pun kita selalu diajarkan untuk senantiasa menghormati pendapat satu sama lain, sebagai bukti mengamalkan dawuh: “berbeda-beda tetapi tetap satu”.  Tapi mari kita kembali membaca ulang makna tentang persoalan khilaf  atau yang dinamakan perbedaan.


Perbedaan merupakan fitrah umat manusia. Allah menciptakan manusia dalam keberagaman yang luar biasa melimpah. Dalam agama Islam kata ‘perbedaan’ dibahasakan dengan dua akar kata. Adakalanya menggunakan bahasa khilaf/mukhalafah dan terkadang menggunakan bahasa ikhtilaf. Syekh al-Raghib al-Ashfihani dalam kitabnya al-Mufradat fi Gharibil Qur’an; “makna dari keduanya identik yakni sebuah sikap tidak memilih jalan yang sama dengan orang lain, baik dalam ucapan maupun perbuatan”. Menurut beliau hal ini berbeda dengan kata ضد (dhidd), yang bermakna berlawanan. Sebab segala hal yang berbeda belum tentu berlawanan.


Meski memiliki makna yang sama antara khilaf dan ikhtilaf terdapat perbedaan dalam mayoritas pemakaiannya. Ikhtilaf di gunakan untuk makna perbedaan yang menunjukkan makna keselarasan atau kesempurnaan (cintaa.. (hehe, becanda)), sedangkan khilaf bukan demikian. Ikhtilaf digunakan untuk perbedaan yang bersifat pemikiran bukan pemikiran dalam pengambilan sikap. Lain halnya dengan khilaf yang pada umumnya digunakan untuk perbedaan antar dua pihak dalam mengambil sikap. Oleh karena itu, meski ulama menggunakan bahasa tersebut untuk mengungkapkan makna yang sama dan menganggapnya sebagai sinonim/murodif, pada kenyataannya dilihat dari beberapa sisi kata ikhtilaf lebih sering kali digunakan dibanding khilaf[1].


 Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:


وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِين (١١٨)   إِلّا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ وَلِذَلِكَ خَلَقَهُمْ وَتَمَّتْ كَلِمَةُ .. (إلخ) (١١٩)
“Andai Tuhan menghendaki, Ia akan menjadikan manusia satu umat. (namun) mereka senantiasa berselisih pendapat. Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu dan untuk itulah Allah menciptakan mereka.” (QS.Hud 118-119)

Menurut Imam as-Syathibi dalam ayat di atas, bahwa umat manusia senantiasa berselisih pendapat. Andaikata Allah menghendaki untuk menjadikan manusia menjadi satu padu, niscaya Allah mampu, namun Ia tidak menghendaki. Perbedaan pendapat merupakan suatu hal yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Meski tidak bisa dikatakan bahwa semua perbedaan itu baik, seperti yang telah di dawuhkan Ibnu al Qayyim al-Jauziyyah:


“Terjadinya perbedaan ditengah umat manusia merupakan suatu keniscayaan. Hal itu disebabkan beragamnya motif, tingkat keilmuan, dan kemampuan berpikir masing-masing manusia. Namun, demikian hal yang tercela dari perbedaan adalah timbunya kezaliman dan permusuhan”[2].

Perbedaan Terpuji dan Tercela


Sebuah perbedaan bisa dikatakan terpuji dan tercela dilihat dari beberapa sisi. Pertama, dilihat dari hal yang melandasi terjadinya perbedaan. Kedua, dilihat dari akibat perbedaan tersebut. 


Pertama, dilihat dari hal yang melandasi perbedaan. Dalam risalahnya, Adab al-Hiwar wa Qawa’id al-Ikhtilaf, Dr. ‘Umar ‘Abdullah Kamil mengungkapkan bahwa perbedaan dikatakan tercela jika bukan dilandasi oleh hasil pemikiran ilmiah, melainkan dilandasi dengan sifat dan sikap yang tidak terpuji. Dari beberapa contoh yang beliau sebutkan, pertama adalah; karena mengikuti dorongan hawa nafsu, seperti merasa paling benar tanpa menerima pendapat orang lain. Kedua; dilandasi fanatisme yang berlebih akan suatu golongan atau madzhab. Sehingga dari fanatisme tersebut lahir sebuah perbedaan tanpa melihat di mana kebenaran berada. Ketiga; terlalu gegabah dan tidak berpikir panjang dalam mengambil sikap. Maka, jika perbedaan berawal dan dilandasi hal-hal di atas, maka perbedaan akan menjadi tercela. Terkadang perbedaan akan menjadi semakin meruncing sebab adanya campur tangan dari orang-orag yang dangkal dalam pengetahuan agamanya. Orang-orang yang tidak mengerti agama ikut berbicara tentang permasalahan agama dan berlomba mengomentari isu-isu agama yang terjadi. Maka, alangkah baiknya bagi orang yang kurang paham akan pengetahuan agama tidak usah ikut campur supaya tidak menambah keruhnya keadaan. 


Kedua, dilihat dari  terjadinya sebuah perbedaan. Perbedaan dikatakan buruk atau tercela jika sampai menimbulkan perpecahan. Sebuah kisah sahabat Ibnu Mas’ud (radliyallahu ‘anhu) dalam permaalahan qashr salat dalam perjalanan haji dalam kitab Al-Baihaqiy, al-Sunan al-Kubra, jilid 3, hal: 206:  Sahabat Ibnu Mas’ud berpendapat bahwa menqashr salat lebih baik daripada menyempurnakannya. Tetapi ketika tiba waktu salat beliau malah mengikuti sahabat ‘Utsman bin ‘Affan dengan ikut menyempurnakan salatnya. Saat ditanya hal tersebut beliau menjawab:

"بلى, وأنا أحدثكموه الآن ولكن عثمان كان إمامافما أخالفه؟ والخلاف شر"
”Memang benar (aku tidak sependapat), dan ku katakan kepada kalian sekarang (tentang hal tersebut). Akan tetapi Utsman adalah seorang pemimpin, mana boleh aku berselisih dengannya? Perbedaan itu buruk”.


Melihat atsar diatas kita bisa melihat bahwa terjadinya sebuah perbedaan pendapat dan pemikiran merupakan yang sangat wajar. Akan tetapi dalam pengambilan sikap, beliau memilih untuk ikut pendapat sahabat ‘Utsman bin ‘Affan untuk mencegah terjadinya perpecahan.


Sebenarnya perbedaan telah terjadi sejak lama ditengah umat Islam. Jika kita menilik sejarah juga tidak sedikit para imam-imam madzhab yang berbeda dalam ijtihadnya. Allah menurunkan hukum Islam dengan begitu fleksibel. Terkadang dalam menurunkan wahyu-Nya, Allah menjelaskan hukum secara langsung dan jelas (المنصوص عنه), terkadang tidak dijelaskan sama sekali (المسكوت عنه), disamping itu (المنصوص عنه) pun ada yang muhkamat dan mutasyabihat, ada yang qath’i dan dzanni, ada yang sharih dan mu’awwal.  Hal inilah yang membuat teks-teks agama menjadi multitafsir dan melahirkan perbedaan-perbedaan.  Hikmah yang tersirat dari hal ini adalah adanya peluang ijtihad pada teks agama supaya bisa selaras karakteristik bahasa, manusia ataupun zaman.[3]
 

Jadi kita sebagai generasi milenial yang semoga melek literasi, supaya tidak kagetan jika di hadapkan pada perbedaan pendapat, atau perbedaan dalam masalah amalan ibadah. Semoga kita menjunjung tinggi rasa toleransi, membuang sikap fanatisme golongan apalagi sampai mencela satu sama lain.

Selama kita berguru dengan orang yang ‘alim yang bersanad hingga Nabi Muhammad, dengan orang lain tidak mudah bersabda: SESAT!, semoga perbedaan adalah
rahmat”.

wallahu a’lam bisshawab.

al-Faqirah; Malla Hasyimi


[1] Abdullah bin Bayyah, Adab al-ikhtilaf ((Syabakah Misykah a-Islamiyyah,hal 1))
[2] Ibn Qayyim al-Jauziyyah Muhammad bin Abi Bakr al-hanbali, al-Shawaiqal-Mursalah, jilid 2 (Riyad : Daer al-Ashimah, 1408 H, hal:519).
[3] ‘Umar ‘abdullah Kamil, ‘Adab al-Hiwar wa Qawa’idal-Ikhtilafi, hal;17

Posting Komentar

0 Comments

Formulir Kontak