Setelah membaca timeline
salah satu teman, sebuah sajak curhatan hati tentang betapa mudahnya perilaku
menghakimi dan menuduh orang lain sesat, dengan mudah mengkafirkan, hanya
karena satu dua berbeda paham atau
sudut pandang, saya ikut miris melihatnya. Berangkat dari hal tersebutlah, teruntuk
teman-temanku, mungkin kita pernah mengetahui dan mengerti apa makna
‘perbedaan’, sejak di bangku SD pun kita selalu diajarkan untuk senantiasa
menghormati pendapat satu sama lain, sebagai bukti mengamalkan dawuh:
“berbeda-beda tetapi tetap satu”. Tapi
mari kita kembali membaca ulang makna tentang persoalan khilaf atau yang dinamakan perbedaan.
Perbedaan merupakan fitrah umat manusia. Allah menciptakan manusia dalam
keberagaman yang luar biasa melimpah. Dalam agama Islam kata ‘perbedaan’ dibahasakan
dengan dua akar kata. Adakalanya menggunakan bahasa khilaf/mukhalafah
dan terkadang menggunakan bahasa ikhtilaf. Syekh al-Raghib al-Ashfihani
dalam kitabnya al-Mufradat fi Gharibil Qur’an; “makna dari keduanya
identik yakni sebuah sikap tidak memilih jalan yang sama dengan orang lain, baik
dalam ucapan maupun perbuatan”. Menurut beliau hal ini berbeda dengan kata ضد (dhidd), yang bermakna
berlawanan. Sebab segala hal yang berbeda belum tentu berlawanan.
Meski memiliki makna yang sama antara khilaf dan ikhtilaf
terdapat perbedaan dalam mayoritas pemakaiannya. Ikhtilaf di gunakan
untuk makna perbedaan yang menunjukkan makna keselarasan atau kesempurnaan
(cintaa.. (hehe,
becanda)), sedangkan khilaf bukan demikian. Ikhtilaf
digunakan untuk perbedaan yang bersifat pemikiran bukan pemikiran dalam
pengambilan sikap. Lain halnya dengan khilaf yang pada umumnya digunakan
untuk perbedaan
antar dua pihak dalam mengambil sikap. Oleh karena itu, meski ulama menggunakan
bahasa tersebut untuk mengungkapkan makna yang sama dan menganggapnya sebagai
sinonim/murodif, pada kenyataannya dilihat dari beberapa sisi kata ikhtilaf
lebih sering kali digunakan dibanding khilaf[1].
Allah subhanahu wa ta’ala
berfirman:
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلا
يَزَالُونَ مُخْتَلِفِين (١١٨) إِلّا
مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ وَلِذَلِكَ خَلَقَهُمْ وَتَمَّتْ كَلِمَةُ .. (إلخ) (١١٩)
“Andai Tuhan menghendaki, Ia akan menjadikan manusia satu umat. (namun) mereka senantiasa berselisih pendapat. Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu dan untuk itulah Allah menciptakan mereka.” (QS.Hud 118-119)
Menurut Imam as-Syathibi dalam ayat di atas, bahwa umat manusia senantiasa berselisih pendapat. Andaikata Allah menghendaki untuk menjadikan manusia menjadi satu padu, niscaya Allah mampu, namun Ia tidak menghendaki. Perbedaan pendapat merupakan suatu hal yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Meski tidak bisa dikatakan bahwa semua perbedaan itu baik, seperti yang telah di dawuhkan Ibnu al Qayyim al-Jauziyyah:
“Andai Tuhan menghendaki, Ia akan menjadikan manusia satu umat. (namun) mereka senantiasa berselisih pendapat. Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu dan untuk itulah Allah menciptakan mereka.” (QS.Hud 118-119)
Menurut Imam as-Syathibi dalam ayat di atas, bahwa umat manusia senantiasa berselisih pendapat. Andaikata Allah menghendaki untuk menjadikan manusia menjadi satu padu, niscaya Allah mampu, namun Ia tidak menghendaki. Perbedaan pendapat merupakan suatu hal yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Meski tidak bisa dikatakan bahwa semua perbedaan itu baik, seperti yang telah di dawuhkan Ibnu al Qayyim al-Jauziyyah:
“Terjadinya perbedaan ditengah
umat manusia merupakan suatu keniscayaan. Hal itu disebabkan beragamnya motif,
tingkat keilmuan, dan kemampuan berpikir masing-masing manusia. Namun, demikian
hal yang tercela dari perbedaan adalah timbunya kezaliman dan permusuhan”[2].
Perbedaan Terpuji dan Tercela
Perbedaan Terpuji dan Tercela
Sebuah perbedaan bisa dikatakan
terpuji dan tercela dilihat dari beberapa sisi. Pertama, dilihat dari hal yang
melandasi terjadinya perbedaan. Kedua, dilihat dari akibat perbedaan tersebut.
Pertama, dilihat dari
hal yang melandasi perbedaan. Dalam risalahnya, Adab al-Hiwar wa Qawa’id
al-Ikhtilaf, Dr. ‘Umar ‘Abdullah Kamil mengungkapkan bahwa perbedaan dikatakan
tercela jika bukan dilandasi oleh hasil pemikiran ilmiah, melainkan dilandasi
dengan sifat dan sikap yang tidak terpuji. Dari beberapa contoh yang
beliau sebutkan, pertama adalah; karena mengikuti dorongan hawa nafsu, seperti
merasa paling benar tanpa menerima pendapat orang lain. Kedua; dilandasi
fanatisme yang berlebih akan suatu golongan atau madzhab. Sehingga dari fanatisme
tersebut lahir sebuah perbedaan tanpa melihat di mana kebenaran berada. Ketiga;
terlalu gegabah dan tidak berpikir panjang dalam mengambil sikap. Maka, jika
perbedaan berawal dan dilandasi hal-hal di atas, maka
perbedaan akan menjadi tercela. Terkadang perbedaan akan menjadi semakin
meruncing sebab adanya campur tangan dari orang-orag yang dangkal dalam
pengetahuan agamanya. Orang-orang yang tidak mengerti agama ikut berbicara
tentang permasalahan agama dan berlomba mengomentari isu-isu agama yang terjadi.
Maka, alangkah baiknya bagi orang yang kurang paham akan pengetahuan agama
tidak usah ikut campur supaya tidak menambah keruhnya keadaan.
Kedua, dilihat
dari terjadinya sebuah perbedaan.
Perbedaan dikatakan buruk atau tercela jika sampai menimbulkan perpecahan. Sebuah
kisah sahabat Ibnu Mas’ud (radliyallahu ‘anhu) dalam permaalahan qashr
salat dalam perjalanan haji dalam kitab Al-Baihaqiy, al-Sunan al-Kubra,
jilid 3, hal: 206: Sahabat Ibnu Mas’ud berpendapat bahwa menqashr
salat lebih baik daripada menyempurnakannya. Tetapi ketika tiba waktu salat
beliau malah mengikuti sahabat ‘Utsman bin ‘Affan dengan ikut menyempurnakan
salatnya. Saat ditanya hal tersebut beliau menjawab:
"بلى, وأنا أحدثكموه الآن ولكن عثمان كان إمامافما أخالفه؟ والخلاف شر"
”Memang benar (aku tidak sependapat), dan ku katakan kepada kalian sekarang (tentang hal tersebut). Akan tetapi Utsman adalah seorang pemimpin, mana boleh aku berselisih dengannya? Perbedaan itu buruk”.
"بلى, وأنا أحدثكموه الآن ولكن عثمان كان إمامافما أخالفه؟ والخلاف شر"
”Memang benar (aku tidak sependapat), dan ku katakan kepada kalian sekarang (tentang hal tersebut). Akan tetapi Utsman adalah seorang pemimpin, mana boleh aku berselisih dengannya? Perbedaan itu buruk”.
Melihat atsar diatas kita
bisa melihat bahwa terjadinya sebuah perbedaan pendapat dan pemikiran merupakan
yang sangat wajar. Akan tetapi dalam pengambilan sikap, beliau memilih untuk
ikut pendapat sahabat ‘Utsman bin ‘Affan untuk mencegah terjadinya perpecahan.
Sebenarnya perbedaan telah terjadi
sejak lama ditengah umat Islam. Jika kita menilik sejarah juga tidak sedikit
para imam-imam madzhab yang berbeda dalam ijtihadnya. Allah menurunkan hukum
Islam dengan begitu fleksibel. Terkadang dalam menurunkan wahyu-Nya, Allah
menjelaskan hukum secara langsung dan jelas (المنصوص عنه),
terkadang tidak dijelaskan sama sekali (المسكوت عنه),
disamping itu (المنصوص
عنه) pun ada yang muhkamat dan mutasyabihat, ada yang qath’i
dan dzanni, ada yang sharih dan mu’awwal. Hal inilah yang membuat teks-teks agama
menjadi multitafsir dan melahirkan perbedaan-perbedaan. Hikmah yang tersirat dari hal ini adalah
adanya peluang ijtihad pada teks agama supaya bisa selaras karakteristik
bahasa, manusia ataupun zaman.[3]
Jadi kita sebagai generasi
milenial yang semoga melek literasi, supaya tidak kagetan jika di
hadapkan pada perbedaan pendapat, atau perbedaan dalam masalah amalan ibadah. Semoga
kita menjunjung tinggi rasa toleransi, membuang sikap fanatisme golongan apalagi
sampai mencela satu sama lain.
“Selama kita berguru dengan orang yang ‘alim yang bersanad hingga Nabi Muhammad, dengan orang lain tidak mudah bersabda: SESAT!, semoga perbedaan adalah rahmat”.
wallahu a’lam bisshawab.
“Selama kita berguru dengan orang yang ‘alim yang bersanad hingga Nabi Muhammad, dengan orang lain tidak mudah bersabda: SESAT!, semoga perbedaan adalah rahmat”.
wallahu a’lam bisshawab.
al-Faqirah; Malla Hasyimi
[1] Abdullah bin Bayyah, Adab al-ikhtilaf
((Syabakah Misykah a-Islamiyyah,hal 1))
[2] Ibn Qayyim al-Jauziyyah Muhammad
bin Abi Bakr al-hanbali, al-Shawaiqal-Mursalah, jilid 2 (Riyad : Daer
al-Ashimah, 1408 H, hal:519).
[3] ‘Umar ‘abdullah Kamil, ‘Adab al-Hiwar wa
Qawa’idal-Ikhtilafi, hal;17
0 Comments
Posting Komentar