Belajar Critical Thinking dari New Normal



 Oleh Puji Fauziah Sophia K.H.*

Perdebatan tentang kebijakan new normal selalu menghiasi timeline Twitter saya beberapa pekan terakhir. Sebagai masyarakat awam, tentu saya juga ingin paham bagaimana duduk perkara kebijakan tersebut, alhasil, scroll-scroll cuitan mengenai new normal menjadi hobi baru yang berujung otak atik gathuk antara kebijakan new normal dengan beberapa qaidah fiqhiyah. Jangan ditiru, hehe, untuk membunuh rasa penasaran, sebaiknya kita merujuk sumber terpercaya dan terkonfirmasi, bukan sekedar baca-baca timeline Twitter.


Perselisihan yang seperti tidak ada ujungnya itu membuat saya jadi ikut berpikir, “jadi sebenernya new normal ini pas nggak, sih, diterapkan di Indonesia?”. Berhubung saya baru saja membaca beberapa qawaid fiqhiyah, saya jadi tertarik untuk menentukan posisi saya terhadap kebijakan new normal melalui pendekatan kaidah fikih. Sekali lagi, ini hanya otak atik gathuk, bukan pandangan pakar.


درء المفاسد مقدم على جلب المصالح


Dar` al-mafâsid muqaddam alâ jalb al-mashâlih, yang artinya “menghindari kerusakan lebih diutamakan daripada mengambil manfaat”. Kalau merujuk kaidah tersebut, kebijakan yang baik berarti kebijakan yang paling bisa meminimalisir kerusakan. Masalahnya, kedua kubu yang berseteru sama-sama sedang meminimalisir kerusakan di sektor yang mereka bela. Kubu yang mendukung kebijakan new normal berusaha meminimalisir kerusakan di sektor sosial-ekonomi, sedangkan kubu kedua, kubu yang menentang diterapkannya kebijakan tersebut berusaha meminimalisir kerusakan di sektor kesehatan, dan saya tidak tahu kerusakan di sektor mana yang lebih besar sehingga harus dihindari.


New normal sebenarnya bisa jadi solusi dari masalah-masalah yang ditimbulkan COVID-19 jika seluruh elemen masyarakat disiplin dalam pelaksanaannya. Roda perekonomian bisa berjalan dan virus bisa dikendalikan, indah bukan? Tapi, tapi, nih tapi, dengan catatan masyarakat harus disiplin dalam pelaksanaannya. Kalau masyarakat tidak disiplin, new normal malah bisa menjadi momok yang menakutkan. Yaa, tapi bagaimana kita tahu kalau masyarakat akan disiplin dalam pelaksanaan new normal tersebut kalau kita tidak mencobanya? Sampai titik ini, saya rasa new normal adalah hal yang patut untuk dicoba.


Tapi kemudian saya teringat kaidah lain yang bunyinya:


من استعجل شيئا قبل أوانه, عوقب بحرمانه

Barang siapa yang berusaha menyegerakan sesuatu yang belum waktunya, Ia akan menanggung akibat tidak dapat mendapatkan sesuatu tersebut.”


Saya jadi kembali berpikir, apakah penerapan kebijakan new normal ini sudah pada waktu yang tepat? Kalau merujuk syarat negara yang boleh menerapkan kebijakan new normal yang dikeluarkan oleh WHO, Indonesia jelas belum memenuhi syarat. Salah satu syaratnya adalah negara yang ingin memberlakukan new normal harus memastikan bahwa penularan COVID-19 di wilayahnya sudah dapat dikendalikan. Kurva epidemi yang terus meningkat bisa jadi salah satu indikator belum terkendalinya penularan virus di Indonesia.


Jika melihat kaidah di atas, kebijakan new normal yang diterapkan di waktu yang tidak tepat berkemungkinan membuat kita menanggung akibat tidak bisa mendapatkan kenormalan sama sekali. Dalam artian, kita akan terus menerus berada dalam keadaan seperti sekarang, hidup berdampingan dengan virus yang sama sekali tidak bisa dikendalikan. 


Lho, bukannya di new normal kita juga akan tetap  hidup berdampingan dengan virus? Iya, tapi new normal kan diberlakukan kalau virus tersebut sudah bisa dikendalikan, entah dengan vaksin atau dengan protokol kesehatan yang sudah disosialisasikan. 


Di titik ini, pandangan saya berubah (lagi), sepertinya new normal belum bisa diterapkan secara umum di Indonesia. Alih-alih menyelamatkan perekonomian, memberlakukan kebijakan new normal di waktu yang belum seharusnya justru malah mengancam keselamatan penduduk negara kita.


Sampai pada tulisan ini dibuat, saya masih belum sepenuhnya yakin dengan mauqif yang saya ambil, saya masih terus membaca-baca pendapat para pakar tentang kebijakan tersebut. Saya juga tidak sedang membuat tulisan untuk menggurui teman-teman pembaca soal new normal karena saya bukan seorang ahli epidemiologi. Tapi, semoga tulisan ini bisa menginspirasi teman-teman pembaca untuk berpikir kritis dalam memandang sesuatu. Keterampilan mengolah informasi untuk menghasilkan keputusan yang logis atau yang biasa kita sebut dengan critical thinking adalah sesuatu yang perlu dilatih.



Memandang kebijakan new normal lewat pendekatan kaidah fikih memang terkesan otak atik gathuk, tapi jangan salah, saya otak-atiknya pakai mikir lho. 


Coba coba, menurut antum bagaimana? Ada yang bisa memberikan pandangan lewat pendekatan lain yang anti-mainstream?


* Penulis adalah mahasiswi Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir

Posting Komentar

0 Comments

Formulir Kontak