Wanita Dilarang I’tikaf?



Oleh Kurnia Nur Khodijah*
 
حَدَّثَنَا أَبُو النُّعْمَانِ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ عَمْرَةَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ فَكُنْتُ أَضْرِبُ لَهُ خِبَاءً فَيُصَلِّي الصُّبْحَ ثُمَّ يَدْخُلُهُ فَاسْتَأْذَنَتْ حَفْصَةُ عَائِشَةَ أَنْ تَضْرِبَ خِبَاءً فَأَذِنَتْ لَهَا فَضَرَبَتْ خِبَاءً فَلَمَّا رَأَتْهُ زَيْنَبُ ابْنَةُ جَحْشٍ ضَرَبَتْ خِبَاءً آخَرَ فَلَمَّا أَصْبَحَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى الْأَخْبِيَةَ فَقَالَ مَا هَذَا فَأُخْبِرَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَالْبِرَّ تُرَوْنَ بِهِنَّ فَتَرَكَ الِاعْتِكَافَ ذَلِكَ الشَّهْرَ ثُمَّ اعْتَكَفَ عَشْرًا مِنْ شَوَّالٍ

“Telah menceritakan kepada kami Abu An-Nu'man telah menceritakan kepada kami Hammad bin Zaid telah menceritakan kepada kami Yahya dari 'Amrah dari 'Aisyah radliallahu 'anha berkata: "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beri'tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan dan aku membuatkan tenda khusus untuk Beliau, dan setiap beliau selesai dari shalat Shubuh Beliau masuk ke dalam tenda tersebut. Kemudian Hafshah meminta izin kepada 'Aisyah untuk juga membuat tenda, maka 'Aisyah mengizinkannya, lalu Hafshah membuatnya. Ketika Zainab putri dari Jahsy melihatnya ia pun membuat tenda yang lain buatnya. Pada pagi harinya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melihat tenda-tenda tersebut lalu berkata: "Apa ini?" Lalu Beliau diberitahu. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkata: "Apakah kalian melihat kebaikan ada padanya (dengan membuat tenda-tenda ini)?" Akhirnya Beliau meninggalkan i'tikaf pada bulan itu lalu Beliau ber'tikaf sepuluh hari pada bulan Syawal.” (HR. Bukhari)

I’tikaf sudah menjadi sunnah yang banyak diincar oleh para umat muslim pada bulan suci Ramadhan. Para umat muslim berbondong-bondong untuk beri’tikaf khususnya pada 10 hari terakhir di bulan yang penuh berkah ini. Dengan harapan mereka akan mendapatkan keridhoan Allah subhanahu wa ta’ala dan keberkahan yang terdapat pada malam lailatul qodr. Pada umumnya i’tikaf dilakukan pada malam hari di dalam masjid yang digunakan sebagai tempat sholat berjamaah, kemudian timbulah pertanyaan apakah wanita boleh melakukan i’tikaf di masjid? Sedangkan sholat saja wanita di anjurkan untuk melaksanakannya di rumah.

Dalam hadits di atas diceritakan bahwa pada suatu malam Rasulullah sedang beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan dan tak lama kemudian disusul oleh istri-istri Rasul yang ikut mendirikan tenda di sekitar tenda rasul. Hal ini membuat Rasul kaget di pagi keesokan harinya, ketika beliau keluar dari tendanya dan melihat tenda-tenda dari para istrinya tersebut hingga akhirnya Rasul meninggalkan i’tikaf di bulan itu dan baru melanjutkannya di bulan Syawal mendatang.

Pada kitab Fathu al-Bari’ Syarhu Shahih al-Bukhari dijelaskan bahwa didalam riwayat Abu Muawiyah menjelaskan bahwa Rasul di pagi harinya memerintahkan para istrinya untuk merubuhkan tenda-tenda mereka. Kemudian dijelaskan juga bahwa maksud dari perkataan rasul adalah beliau mengingkari perbuatan para istrinya. Beliau mengingkari? Apakah berarti beliau melarang para istrinya untuk beri’tikaf? Rasulullah mengingkari perbuatan para istrinya dikarenakan beliau takut dengan berkurangnya keikhlasan para istrinya ini dalam mengikutinya beri’tikaf dan mereka hanya ingin tetap bersama Rasulullah. Dan dikarenakan masjid merupakan tempat berkumpulnya jamaah secara umum dan apabila para istri Rasul akan butuh keluar dan masuk untuk beberapa kebutuhan, maka ditakutkan mereka akan terbiasa dengan hal tersebut dan mengikis rasa malu yang ada dalam diri mereka.  Serta Rasulullah pun takut kalau beliau melihat para istrinya berada disekitarnya, beliau akan merasa seolah-olah sedang berada di rumahnya bersama dengan istrinya, sementara niat beliau untuk beri’tikaf adalah berlepas diri dari para istri dan urusan duniawi lainnya.

Dari hadits di atas timbulah beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh para wanita untuk melaksanakan i’tikaf di antaranya:

1. Berniat ibadah Lillah.
Seperti halnya ibadah yang lain, i’tikaf pun merupakan ibadah yag haruslah ikhlas lillahi ta’ala demi medapatkan ridho Sang Pencipta. Haruslah diniatkan untuk pendekatan dengan Sang pemilik diri, berniat untuk fokus berlepas diri dari perihal duniawi.

2. Meminta izin pada mahramnya.
Hendaknya kaum hawa mendapatkan izin dari mahram atau wali yang bertanggung jawab terhadapnya untuk beri’tikaf di masjid. Seorang istri  hendaknya meminta izin dari suami, sama seperti halnya ingin keluar dan bepergian hendaknya mendapat izin dari sang suami.

3. Beri’tikaf di masjid yang tertutup.
Saat ini sudah banyak masjid yang terpisah antara tempat wanita dengan laki-laki, terdapat penutup yang membatasi keduanya. Memiliki pintu masuk dan keluar yang terpisah antara kaum hawa dengan kaum adam sehingga menghindari dari adanya fitnah dan menghindari untuk tidak bercampur dengan laki-laki.

4. Tidak menggunakan wewangian, karena dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah.

5. Tidak menggunakan perhiasan.

6. Tidak menggunakan pakaian yang mewah atau berlebihan dan mencolok.

Karena di zaman kita saat ini fasilitas yang paling dibutuhkan yaitu masjid dengan ruangan wanita yang tertutup sudah terpenuhi dan terdapat di hampir seluruh daerah, maka saat ini yang harus diperhatikan adalah menahan syahwat kita sebagai kaum hawa untuk tidak menggunakan perhiasan, tidak menggunakan wewangian, tidak bersolek dengan pakaian yang mewah, dan yang terpenting adalah luruskan niat. Niat beri’tikaf untuk mendapat ridho Allah, untuk berlepas diri dari perihal duniawi, dan fokus mendekatkan diri pada Sang Ilahi.

Dalam hadis dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:

أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَعْتَكِفُ العَشْرَ اْلأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ الله تَعَالَى، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِه

”Sesungguhnya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukan i’tikaf di sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan hingga Allah Subhanahu wa ta’ala mewafatkan beliau, kemudian istri-istri beliau pun melakukan i’tikaf sepeninggal beliau.” (HR Al Bukhari, Muslim, Abu Dawud, An-Nasa’i, dan Ahmad)

Dari penjelasan di atas, saya berpendapat bahwa tidak ada larangan mutlak untuk seorang wanita untuk melaksanakan i’tikaf di dalam masjid selama masjid itu sudah memenuhi syarat untuk digunakan sebagai tempat beri’tikaf untuk kaum hawa, dan selama wanita itu dapat memenuhi beberapa syarat di atas. Semua memiliki hak yang sama untuk lebih mendekatkan diri pada Allah dengan sebaik-baik ibadah. Dan sebagai kaum hawa, sangatlah beruntung karena islam lebih menjaga keberadaannya di muka bumi ini dengan tidak sembarang mengizinkan wanita berbuat tanpa syarat.

*Mahasiswi International University of Africa, Sudan

Posting Komentar

0 Comments

Formulir Kontak