Oleh Moh.
Nurun Alan Nurin P. K*
Totalitas dan kesempurnaan Islam tentu tidak akan nampak
kecuali bila kaum Muslim mengamalkan Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan. Tidak dianggap kaffah jika belum bisa mewujudkan syariat
Islam di tengah kehidupan dan hal itu hanya bisa ditegakkan dengan sistem Khilafah Islamiyah
Pengertian ini muncul secara serampangan dan jauh dari
semangat sesungguhnya. Salah satu dalil Al-Quran yang menjadi pembenaran akan
hal tersebut adalah surah al-Baqoroh ayat 208:
يٰٓاَيُّهَا
الَّذِيْنَ
اٰمَنُوا
ادْخُلُوْا
فِى السِّلْمِ
كَاۤفَّةً
ۖوَّلَا
تَتَّبِعُوْا
خُطُوٰتِ
الشَّيْطٰنِۗ
اِنَّه
لَكُمْ
عَدُوٌّ
مُّبِيْنٌ
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah
kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah
syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.”
Untuk mendapatkan penafsiran yang komprehensif dari ayat
ini, tidak dapat dipisahkan dari konteks ayat sebelumya. Ayat ini disebut
setelah ayat-ayat sebelumnya menjelaskan macam-macam sikap manusia terhadap
agama (Islam). Ada orang mukmin yang lisannya fasih syahadat kepada Allah
tetapi perilakunya berbuat kerusakan dan menyakiti apa yang ada disekitarnya (munafiq). Oleh sebab itu, ayat ini turun
untuk mengajak orang-orang mukmin untuk masuk ke dalam as-Silmi. Lalu apa yang dimaksud as-Silmi dalam ayat ini?
Dalam hal ini penulis secara spesifik memberikan beberapa
pengertian yang dipaparkan oleh Fakhruddin Al-Razi dalam tafsir al-Kabir atau Mafatihul Ghaib-nya. Pertama,
Fakhruddin Al-Razi berpendapat bahwa makna dasar dari kata as-Silmi adalah الإنقياد
yang memiliki makna tunduk dan
patuh.
Kedua, kebanyakan mufassir berpendapat bahwa kata as-Silmi dalam ayat ini adalah Islam,
bila demikian, maka seolah-olah redaksi ayatnya akan menjadi:
يآاَيُّهَا
الَّذِيْنَ
اٰمَنُوا
ادْخُلُوْا
فِى السِّلْمِ
Ketika ditelaah kembali, seruan dalam ayat tersebut
ditujukan kepada orang-orang yang telah beriman, sedangkan orang yang beriman
sudah pasti muslim, sehingga akan terjadi kontradiksi dalam ayat tersebut.
Oleh karenanya Fakhruddin al-Razi berpendapat bahwa
penafsiran yang demikian tidak bisa dibenarkan. Berkaitan dengan hal tersebut,
maka al-Razi dalam kitabnya menampilkan
beberapa opsi penafsiran dari para mufassir
sebelumnya, di antaranya adalah:
Pertama, Objek dalam ayat ini adalah orang
munafik, Sehingga dapat dipahami bahwa ketika orang munafik dipandang sebagai
orang yang lisannya fasih bersyahadat kepada Allah akan tetapi perilakunya
berbuat kerusakan dan menyakiti apa yang ada disekitarnya, turun ayat ini
sebagai bentuk seruan untuk mengimani Allah dalam hatinya dan meninggalkan
kemunafikan.
Kedua, Asbab an-Nuzul ayat ini berkaitan dengan masuk
Islamnya seorang Ahlul Kitab Yahudi
Bani Nadhir seperti Abdullah bin Salam beserta teman-temannya. Namun setelah
mereka memeluk agama Islam dan beriman kepada kenabian Nabi Muhammad, mereka
tetap menganggap mulia hari sabtu dan tidak mau memakan daging dan susu unta.
Mereka pun berkata, “Meninggalkan memakan daging dan air susu unta adalah suatu
kebolehan dalam Islam dan keharusan dalam Taurat (Yahudi), maka kami melakukan
hal tersebut sebagai bentuk kehati-hatian (ihtiyat).”
Allah tidak menyukai hal tersebut, oleh karena itu Allah
memerintahkan agar mereka masuk Islam secara kaffah, konsekuensinya adalah dengan mengamalkan syariat-syariat
Islam secara menyeluruh, tidak boleh memilih-milih maupun memilah-milah
sebagian hukum Islam untuk tidak diamalkan. Sehingga dapat dipahami bahwa kata kaffah sebagai hal (penjelas keadaan)
dari kata as-silmi.
Ketiga, Objek dari ayat ini adalah umat
muslim secara menyeluruh. Secara umum penafsiran ini menunjukan bahwa terdapat
sebuah seruan untuk menetapi agama Islam secara komprehensif, dengan konsekuensi
menjalakan syariat Islam dengan sepenuh hati dan meninggalkan kemunafikan.
Keempat, as-Silmi dalam ayat tersebut berarti
perdamaian, meninggalkan peperangan dan pertikaian. Hal ini mengindikasikan
bahwa sebagai orang yang beriman hendaklah memasukkan dirinya ke dalam
kedamaian (keselamatan), sehingga seorang mukmin tidak boleh menyakiti dan
mengganggu orang lain sehingga terjadi pertengkaran, pertikaian, dan
permusuhan.
Dalam hal ini Fakhruddin Ar-Razi memiliki sudut pandang
tersendiri terhadap ayat 208 surah al-Baqarah ini. Fakhruddin Ar-Razi memiliki
tiga tawaran penafsiran sebagaimana berikut:
Pertama, Dalam ayat يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ
ءَامَنُواْ
terdapat sebuah isyarat untuk
mengenal Allah dan menyakini dengan sepenuh hati. Selanjutnya pada ayat ٱدۡخُلُواْ
فِي ٱلسِّلۡمِ
كَآفَّة terdapat sebuah isyarat untuk
meninggalakan dosa dan maksiat, karena berbuat maksiat adalah bentuk tidak
patuh/durhaka kepada Allah dan rasulnya.
Dengan kata lain, bentuk iman kepada Allah adalah dengan
taat kepada Allah dan meninggalkan apa yang dilarang oleh-Nya. Dalam akidah
madzhab yang dianut oleh Ar-Razi, keimanan seseorang tidak akan luntur (kekal)
dengan perbuatan maksiat yang dilakukannya.
Kedua, Kata as-silmi dalam ayat tersebut bermakna sebuah keadaan hamba yang
ridha dan tidak merasa berat hati dengan takdir yang telah ditetapkan Allah
untuknya. Ketiga, Maksud ayat ini
secara umum adalah menjauhi sifat amarah dan balas dendam menjadi orang yang
pemaaf.
Bila dilihat dari konstruksi argumentasi yang di bangun oleh
Ar-Razi, maka akan terlihat adanya corak penafsiran yang kental dengan nuansa
tasawuf, dari beberapa penafsiran para ulama yang ia paparkan, semua penafsiran
tersebut mengarah pada makna zahir, namun tidak dengan alternatif penafsiran
yang ditawarkan oleh al-Razi sendiri, tiga penafsiran yang ia tawarkan terkait
konsep Islam Kaffah terlihat sangat
kental dengan nuansa tasawwuf dan semuanya mengarah pada perbuatan batin.
Dengan ini terdapat benang merah yang dapat dipahami bahwa,
penafsiran Islam kaffah yang
dipaparkan Ar-Razi dalam surah Al-Baqoroh ayat 208, tidak selaras dengan
pemahaman minoritas masyarakat berideologi tertentu, yang mana salah satu
jargon yang mereka gunakan pada salah satu misi mereka adalah menegakkan negara
Islam adalah dengan menggunakan istilah “Islam Kaffah”.
Berkenaan dengan penafiran Ar-Razi yang telah dipaparkan
sebelumnya, terlihat bahwasanya pemaknaan “Islam kaffah” tidak bisa lepas dari sebab turunya ayat, aspek linguistik
dan obyek penafsiran ayat.
*Penulis adalah mahasiswa
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
0 Comments
Posting Komentar