Oleh: Muhammad Ruhiyat Haririe*
Semua hamba yang beriman tentu sangat senang
dengan kedatangan bulan yang luar biasa ini. Bahkan Rasulullah dan para sahabat
serta generasi salaf senantiasa menantikan bulan Ramadhan dan memohon untuk
menjadikan setiap bulan sebagai bulan Ramadhan. Kecintaan dan kerinduan
Rasulullah Saw kepada bulan Ramadhan terlihat dalam hadits yang diriwayatkan
dari sahabat Anas bin Malik ra dalam Musnad Ahmad dan Sunan Baihaqi:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ رَجَبٌ، قَالَ: اَللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي
رَجَبٍ، وَشَعْبَانَ، وَبَلِّغْنَا رَمَضَان
“Ketika Nabi saw memasuki bulan Rajab, beliau
mengucapkan; Ya Allah berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban dan
sampaikanlah kami kepada bulan Ramadhan.”
Ramadhan tentu bukan sebuah hal yang remeh,
ianya memiliki sejarah yang panjang dan berharga untuk kemudian dikaji oleh
setiap muslim yang hidup di atas muka bumi ini. Salah satu yang paling utama
dan luar biasa dari bulan Ramadhan adalah puasa. Sebagaimana firman Allah Swt
dalam Al-Quran:
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ
الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ﴾ {سورة البقرة : 183}
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan
atas kalian untuk berpuasa (di bulan Ramadhan) sebagaimana kami wajibkan atas
umat-umat sebelum kalian agar kalian menjadi orang yang bertaqwa.” (Al Baqarah:
183)
Lalu korelasi apa yang terhubung antara
Ramadhan berserta seluruh rangkaian ibadahnya dengan tauhid kita kepada Allah Swt?
Pertama, jika kita lihat, puasa bukan hanya
soal ibadah jasadiyah (fisik). Puasa memiliki dua dimensi, yaitu jasadiyah
dan ruhaniyah. Bukan hanya soal “Al Imsak minal mufathir”
(menahan dari hal yang membatalkannya) tapi juga soal menumbuhkan kesadaran
akan adanya pengawasan Allah Swt atau kita kenal dengan “Ihsan.” Orang yang
berpuasa seyogyanya menyadari kehadiran Allah Swt, pengawasan Allah Swt, dan
perhatian Allah Swt terhadap ibadah puasanya sehingga seorang mukmin sejati
tidak akan mampu dengan sengaja menjerumuskan dirinya kepada kemaksiatan di kala
berpuasa. Ia menyadari di tempat setertutup apapun, Allah tetap Maha Melihat
atas apa yang ia lakukan.
Selain itu, puasa pun disebutkan sebagai
salahsatu ibadah yang sirriyyah (rahasia). Ianya tidak dapat terlihat
sebagaimana ibadah lainnya yang memerlukan gerakan, dan ianya hanya terlihat
dari segi nilainya di sisi Allah Swt. Sebagaimana dalam sebuah hadis qudsi,
Allah Swt berfirman :
{كل عمل ابن آدم له إلا الصوم فإنه لي وأنا أجزي به} [رواه الإمام
البخاري في صحيحه ج2 ص226 من حديث أبي هريرة رضي الله عنه].
Artinya: : “Setiap amalan manusia adalah
untuknya kecuali puasa, sebab ia hanyalah untukku dan Akulah yang akan
memberikan ganjaran padanya secara langsung ”. (HR Bukhari dalam Shahihnya: 2/226
dari hadis Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)
Dari hadis qudsi ini kita belajar bahwasanya
puasa yang kita laksanakan sebagai seorang muslim bukanlah untuk kita,
melainkan ini adalah sebuah persembahan ketaatan kita kepada Allah Swt dan
Allah yang akan langsung memberikan ganjaran sesuai dengan kadar yang Allah
tetapkan. Allah membalas orang yang melakukan ibadah puasa tanpa ada batas, dan
mengkhususkan amalan puasa adalah istimewa untuk-Nya dibanding amalan-amalan
ibadah lainnya. Puasa adalah sarana keakraban antara seorang hamba dengan
Tuhannya. Di samping itu, lapar dan haus tidak dapat dipersembahkan kepada
tuhan yang disekutukan kepada Allah Swt. Karenanya, ibadah puasa lekat dengan
nilai tauhid yang hanya menyembah kepada Allah Swt semata.
Dari sini juga kita belajar bahwa kunci
kesuksesan seorang hamba dalam berpuasa dan ibadah lainnya adalah dilaksanakan
karena 3 hal. Keimanan, keridhoan dan keikhlasan. Hal ini pulalah yang sering
disebutkan oleh Rasulullah saw yaitu adalah “Imanan wahtisaban.” Maka
puasa tanpa ketiga hal ini hanyalah sebuah rangkaian tanpa arti dan nilai di
sisi Allah Swt dan hal ini pun berlaku untuk ibadah lainnya. Bahwa gerbang
utama menuju diterimanya sebuah amal shalih adalah keimanan kepada Allah Swt
(bersyahadat), serta ridho dan ikhlas dalam menjalani rangkaian ibadah
tersebut.
Inilah salah satu nilai tauhid yang terbangun
dari puasa. Tauhid bukan hanya soal keimanan ataupun ucapan 2 kalimat syahadat saja, namun
juga kesadaran akan keberadaan Allah Swt serta ketaatan yang dilakukan tanpa
syarat apapun untuk Allah Swt dan terbangunnya kepercayaan atas segala
keagungan Allah Swt. Sebagaimana kisah percakapan antara Khalifah Umar bin
Khattab dengan seorang penggembala kambing. Ketika suatu saat Amirul Mukminin
Umar bin Khatab ra menemui seorang penggembala ratusan ekor kambing. Sang
khalifah menguji keimanan sang penggembala dengan memintanya untuk menjual
beberapa ekor kambingnya kepada beliau tanpa sepengetahuan majikan atau
tuannya. Khalifah meyakinkan penggembala dengan kata-katanya bahwa majikannya
tidak akan mengetahuinya dan penggembala akan mendapatkan keuntungan dari
penjualan tersebut tanpa perlu melaporkan pada majikannya.
Lantas penggembala itu menjawab: “Benar majikan
saya tidak ada bersama saya, dan dia tidak akan mengetahui kalau kambingnya
berkurang hanya beberapa ekor, tapi dimanakah Allah? Bukankah Ia yang maha
mengetahui segala sesuatu?”
Puasa menunjukkan ketulusan iman. Ibnu Rajab
mengatakan, "Puasa inilah yang menunjukkan benarnya iman seseorang."
Orang yang melakukan puasa selalu menyadari dia berada dalam pengawasan Allah Swt
meskipun dalam keadaan sendirian.
Kedua, kita mengetahui bahwa perintah puasa
pertama kali disyariatkan pada tahun kedua Hijriyah. Dan pada saat itu pula,
tepatnya pada tanggal 17 Ramadhan, kaum muslimin diuji dengan sebuah
pertempuran yang cukup dahsyat antara kaum muslimin yang belum lama berhijrah
dengan saudara mereka sendiri yaitu kaum Quraisy.
313 orang pasukan muslimin, dalam keadaan
berpuasa, harus berjalan sejauh 130 km guna berperang menghadapi pasukan
Quraisy yang berjumlah 1000 orang dengan perbekalan yang lengkap yaitu 600
pedang, 300 ekor kuda dan 700 ekor unta. Bukan hal mudah bagi Rasulullah Saw
untuk meyakinkan kaum muslimin yang baru kurang dari 2 tahun meninggalkan negerinya
karena alasan keimanan ditambah lagi dengan perbekalan pasukan muslimin yang
terbatas. Saat itu, pasukan muslimin hanya memiliki 8 buah pedang, 2 ekor kuda,
dan 70 ekor unta. Hal ini tentu membuat kaum muslimin gaduh di Madinah saat
itu. Tentu di luar nalar manusia pasukan yang 1:3 harus saling berhadapan
dengan senjata seadanya. Namun kembali Rasulullah Saw meyakinkan para sahabat
untuk tak gentar dalam memenuhi panggilan jihad ini.
Pertempuran pun tak terelakkan, Rasulullah di
dalam tendanya bersama sahabat mulia Abu Bakar Ash-Shiddiq tak hentinya berdoa.
Salah satu doa yang dipanjatkan Rasulullah Saw sebagaimana dikisahkan oleh
Syaikh Abdul Hasan Ali Al-Hasani An-Nadwi dalam buku shirah nabawiyah-nya:
"Ya Allah! Kaum Quraisy telah datang dengan pasukan dan segala
kecongkakannya. Mereka datang untuk memerangi-Mu dan mendustakan Rasul-Mu. Ya
Allah, jika golongan ini (kaum Muslim) binasa, maka Engkau tidak akan disembah
lagi di muka bumi ini. Ya Allah, laksanakanlah apa yang telah Engkau janjikan kepadaku.
Ya Allah, kami mohon pertolongan-Mu.”
Sambil meneteskan air mata, Abu Bakar Ash-Shiddiq,
sahabat yang lemah lembut itu berbisik kepada Rasulullah, "Wahai
Rasulullah, cukup bagimu mengingatkan Tuhanmu akan janji-janji-Nya. Karena
Tuhan akan memberikan kepadamu apa yang telah Dia janjikan."
Selesai berdoa, Rasulullah dan Abu Bakar keluar
dari tenda. Rasulullah memberi semangat kepada tentara Islam agar berperang
dengan penuh semangat. "Majulah menuju surga yang luasnya seluas langit
dan bumi," sabda Rasulullah kepada para pasukan. Pertempuran Badar bukan
sekedar pertaruhan nyawa, namun juga pertaruhan keimanan. Badar menjadi saksi
atas keteguhan iman para sahabat serta saksi atas agungnya kuasa Allah Swt.
Badar menjadi saksi bahwa kekuatan manusia sebesar apapun tak akan mampu
menyaingi kekuatan Allah Swt. Allah memenangkan pasukan muslimin karena
keimanan dan ketaatan mereka kepada perintah Allah Swt. Allah memenangkan para
pejuang Badar karena eratnya tali batin antara mereka dengan Allah Swt. Maka
tidaklah Allah akan memenangkan para pejuang badar kecuali karena keteguhan
tauhid mereka kepada Allah Swt.
Dari kisah Badar, Allah mencoba menjelaskan dan
menegaskan kepada kita bahwa Ramadhan adalah sebuah kesempatan untuk semakin
mengokohkan sendi-sendi tauhid kita. Tentu bukan tanpa tujuan Allah menakdirkan
pecahnya pertempuran Badar pada bulan Ramadhan. Disini lagi-lagi Allah ingin
menunjukkan kepada kita siapa-siapa yang memiliki tauhid yang kokoh maka akan
senantiasa ada dalam pertolongan Allah Swt. Siapa-siapa yang memiliki keimanan
yang kuat ianya tidak akan lari dari panggilan Allah Swt. Siapapun yang telah
terpatri kuat dalam jiwanya nilai-nilai ketauhidan maka mereka tak akan gentar
dengan apapun karena mereka percaya bahwa Allah senantiasa membersamai mereka.
Ketiga, Ramadhan adalah bulan di mana
dibukakannya seluruh pintu kebaikan dan ditutupnya seluruh pintu keburukan.
Bahkan dalam hadits disebutkan, “Di bulan Ramadhan, Allah tutup pintu neraka,
dan Allah bukakan pintu-pintu surga serta Allah belenggu para syaitan.” Maka
kemudian tidaklah sempurna dan kokoh keimanan seseorang jika tidak mampu
memaksimalkan kesempatan kebaikan ini.
Banyak sekali amalan-amalan yang dapat
dilakukan di bulan Ramadhan. Ramadhan adalah madrasah. Ramadhan adalah momen
untuk mentarbiyah diri kita agar lebih baik. Kualitas ibadah kita di bulan
Ramadhan akan menjadi tolok ukur kualitas ibadah dan keimanan kita di bulan
yang lainnya. Maka tentu orang-orang yang memiliki tauhid yang kokoh, ia tak
akan melewatkan sedetik pun dari bulan Ramadhan selain daripada untuk kebaikan.
Bahkan seorang ulama pernah berkata, “Andaikan di bulan Ramadhan saja kalian
lewatkan kesempatan kebaikan, maka harus dengan cara apa lagi agar kalian dapat
dekat dengan Allah Swt?”
Sejatinya ibadah bukan hanya yang bersifat nafsiyah
(dirasakan diri sendiri) saja, namun juga ibadah yang bersifat ijtima’iyah
(dirasakan oleh orang sekitar). Maka Ramadhan adalah cermin bagi seorang
muslim. Cermin untuk berkaca, seperti apakah kualitas hubungan antara dirinya
dengan sang pencipta serta hubungan antara dirinya dengan orang orang
sekitarnya. Maka selayaknya seorang yang memiliki keimanan yang kuat tidak
hanya memikirkan dirinya sendiri saja, namun juga ia memikirkan saudara, orang,
masyarakat yang ada di sekitarnya. Karena mencintai sesama muslim adalah bagian
dari keimanan kepada Allah swt. Sebagaimana hadits Rasulullah Saw :
عَنْ أَبِيْ حَمْزَةَ أَنَسِ بْنِ
مَالِكٍ خَادِمِ رَسُوْل الله عَنْ النَّبِي قَالَ : لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ
حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
Dari Abu Hamzah Anas bin Malik, khadim
(pembantu) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam, beliau berkata, “Tidaklah seseorang dari kalian sempurna
imannya, sampai ia mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia cintai untuk
dirinya.”
Rasulullah dengan sangat jelas mengimplementasikan
cintanya kepada sesama muslim melalui tindakan nyata dan riil. Rasulullah
berupaya menjelaskan dan menegaskan kepada kita bahwa dalam menghamba kepada Allah,
tidak cukup keimanan dinilai dari bagaimana ia membangun hubungan dengan Allah
saja dan menegasikan pentingnya membangun hubungan yang baik dengan orang
sekitar kita. Sebagaimana yang disampaikan sahabat mulia Abdullah bin Abbas ra:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللّٰـهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ ، وَأَجْوَدُ مَا يَـكُوْنُ فِـيْ رَمَضَانَ حِيْنَ
يَلْقَاهُ جِبْرِيْلُ ، وَكَانَ جِبْرِيْلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ يَلْقَاهُ فِـيْ
كُـّلِ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَـيُـدَارِسُهُ الْـقُـرْآنَ ، فَلَرَسُوْلُ
اللّٰـهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدُ بِالْـخَيْـرِ مِنَ الِرّيْحِ
الْـمُرْسَلَةِ
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
orang yang paling dermawan dengan kebaikan, dan lebih dermawan lagi pada bulan
Ramadhan ketika Jibril Alaihissallam bertemu dengannya. Jibril
menemuinya setiap malam Ramadhân untuk menyimak bacaan Al-Qur’annya. Sungguh,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih dermawan daripada angin
yang berhembus.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ramadhan adalah momen indah untuk membangun
kemesraan antara seorang hamba dengan Sang Maha Cinta. Tentu orang yang
memiliki keimanan yang kokoh, semangat ibadah yang gigih, serta cinta yang
tertanam kuat pada Allah, ia mampu menjadikan setiap momen ibadah yang ada
sebagai momen untuk bermesraan dengan Allah Swt. Puasa adalah bentuk
persembahan bagi Allah Swt, shalat dan doa adalah media komunikasi seorang
hamba dengan Allah Swt, dan membaca serta mentadabburi Quran adalah cara
seorang hamba memahami untaian-untaian surat cinta dari Allah Swt. Selain
daripada itu, Ramadhan pun adalah momen yang indah untuk mengeratkan kembali
simpul-simpul sosial masyarakat. Simpul-simpul persatuan, simpul-simpul
persaudaraan. Sebagaimana yang Rasulullah Saw lakukan saat hijrah ke Yatsrib,
maka beliau persaudarakan antara kaum Muhajirin dan Anshar, bukan tanpa tujuan.
Rasulullah ingin menegaskan bahwa keimanan bukan hanya terbangun atas dasar
kuatnya dan semangatnya dalam ibadah kepada Allah Swt saja, namun juga
mencintai sesama muslim di sekitarnya. Maka sudah sepatutnya bagi seorang
hamba, selesai dari Ramadhan, hasilnya adalah ketaatan yang bertambah dan
keimanan serta tauhid yang semakin kokoh serta rasa cinta yang mendalam kepada
orang-orang disekitarnya sebagai pengejawantahan atas pondasi keimanan yang mencengkram
kokoh di dalam jiwa seorang muslim.
Yang terakhir dan yang paling utama, tentu
Ramadhan menjadi istimewa karena diturunkannya mukjizat agung yang Allah
karuniakan kepada Rasulullah saw yaitu adalah Al-Quran. Al-Quran adalah
pedoman, sumber petunjuk, dan poros dalam kehidupan manusia.
﴿شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ
الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ ……..﴾
“Pada bulan Ramadhan, kami turunkan Al-Quran
sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk dan
pembeda (antara kebenaran dan kebatilan)…..”
Seorang ulama pernah berkata, “Seandainya Allah
tidak turunkan Al-Quran di bulan Ramadhan, maka berkuranglah keagungan dan
keistimewaan Ramadhan. Dan andaikan pun Allah tidak turunkan Al-Quran di bulan
Ramadhan, maka tidak akan mengurangi sedikitpun dari keagungan Al-Quran.” Maka
hendaknya setiap orang yang beriman dan taat, ianya akan berpegang teguh pada
apa yang telah Allah Swt sampaikan melalui untaian-untaian surat cintanya dalam
Al-Quran Al-Karim. Inilah kemudian ciri orang yang memiliki ikatan spiritual
yang kuat dengan Tuhannya.
Pemilihan ayat yang Allah turunkan pun bukan
sembarangan, Allah memilihkan ayat yang berkenaan dengan penguatan tauhid dan
keimanan seseorang.
﴿اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ١ خَلَقَ
الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ٢ اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ٣ الَّذِي عَلَّمَ
بِالْقَلَمِ٤ عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ٥﴾ سورة العلق :1-5
“Bacalah
dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan (1) Yang menciptakan manusia dari
segumpal daging (2) Bacalah dan Tuhanmulah yang Maha Mulia (3) Yang mengajarkan
(manusia) dengan pena (4) Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya
(5)” {QS. Al Alaq : 1-5}
”Bacalah” bukan sekadar bermakna membaca ayat-ayat
Allah di kitab, tetapi membaca juga ayat-ayat Allah di alam semesta, ayat-ayat kauniyah.
Membaca alam bermakna merenungi ciptaan Allah. Asal usulnya, prosesnya,
hukum-hukum yang berlaku padanya, dan kesudahannya. Itulah menjadikan
intelektualitas manusia berkembang. Menyimak kisah Nabiyullah Ibrahim as
mencari Allah Swt, ia tak henti setiap hari merenungi kejadian alam semesta.
Pergantian siang dan malam, penciptaan dan keteraturan alam semesta. Dari
situlah Nabiyullah Ibrahim as menemukan saripati iman yang sebenarnya.
Al-Quran sebagai kitab suci samawi, di sisi lain
juga harus dipahami sebagai simbol kontinuitas proses kenabian dan risalah
ajaran tauhid. Maka Allah Swt ingin agar kita sebagai hambanya terus menggali
makna iman dan implementasi yang sesungguhnya melalui kalam-kalam-Nya. Allah
ingin hasil dari pembelajaran dan pencarian seorang hamba adalah untuk
mengesakan Allah Sang Pencipta. Dan Allah ingin pula menegaskan bahwa Al-Quran
turun sebagai pengokoh keimanan seorang hamba.
﴿إِنَّمَا
الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا
تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ
يَتَوَكَّلُونَ٢﴾
“Sesungguhnya orang-orang
beriman adalah mereka yang Ketika disebut nama Allah bergetar hatinya dan
apabila dibacakan ayat-Nya kepada mereka, bertambah (kuat) keimanannya dan
kepada Tuhannya lah mereka bertawakkal (berserah).”
Dari keempat hal tersebut, kita dapat memetik
sebuah konklusi. Bahwasannya, Ramadhan adalah madrasah, sekolah, kawah candradimuka
bagi setiap mukmin untuk kembali mengeratkan simpul-simpul dan ikatan spiritual
antara hamba dengan Tuhannya. Bahwasanya, setiap ibadah yang dilakukan dan
dijalani di bulan Ramadhan adalah implementasi dari kuatnya nilai tauhid, nilai
keimanan seorang hamba. Semakin kokoh imannya, maka akan semakin berkualitas
pula ibadahnya. Sebaliknya, bagi mereka yang lemah dari sisi keimanannya, maka
Ramadhan adalah kesempatan emas untuk meng-upgrade keimanan di sisi
Allah Swt. Sebagaimana yang disampaikan oleh para ulama ahlussunnah wal
jama’ah bahwa, “Iman itu naik dan turun. Naik karena ketaatan dan ibadah.
Turun karena kemaksiatan.”
Maka mari kita jadikan Ramadhan ini sebagai
momentum perbaikan diri, momentum penghayatan kembali nilai-nilai yang
terkandung dalam Al-Quran dan ajaran Islam secara keseluruhan dan yang
terpenting adalah momentum untuk menguatkan simpul-simpul, sendi-sendi dan
tonggak-tonggak ketauhidan kita kepada Allah swt.
*Penulis adalah mahasiswa Omdurman Islamic University, Khartoum, Sudan
0 Comments
Posting Komentar