Oleh Muhamma Ruhiyat Haririe*
بسم الله
الرحمن الرحيم
السلام
عليكم ورحمة
الله وبركاته
Pada era modern seperti sekarang ini, banyak sekali
alternatif dalam pelaksanaan ibadah yang bisa dilakukan seiring perbedaan
kebutuhan antara zaman dahulu dengan masa kini. Salahsatunya adalah metode
penyaluran zakat fitrah dalam bentuk uang tunai. Namun, sebelum menjawab
pertanyaan tersebut, lebih dahulu kita tinjau siapa yang menjadi objek wajib zakat?
Sebagaimana definisi yang disampaikan para ulama bahwa zakat
fitrah hukumnya wajib bagi mereka yang kemudian telah mendapatkan separuh lebih
dari bulan Ramadhan dan hidup hingga malam hari raya. Sebagaimana hadis
Rasulullah saw dari sahabat Ibnu Umar dalam Shahihain:
"Rasulullah saw mewajibkan zakat fitrah satu sha’
kurma atau satu sha’ gandum atas umat muslim; baik hamba sahaya maupun
merdeka, laki-laki maupun perempuan, kecil maupun besar. Beliau saw
memerintahkannya dilaksanakan sebelum orang-orang keluar untuk shalat.”
Sebagaimana hadis di atas kita bisa menarik kesimpulan bahwa
zakat fitrah hukumnya wajib bagi setiap muslim dan besarannya adalah 1 sha’.
Lalu 1 sha’ ini setara dengan berapa satuan berat?
Sha’ merupakan satuan takaran yang setara dengan
empat mud. Sedangkan satu mud adalah besar cakupan penuh dua
telapak tangan orang dewasa pada umumnya. Dengan demikian, satu sha’
memuat empat kali cakupan penuh dua telapak tangan orang dewasa sebagaimana
pandangan mazhab Maliki
وزكاة
الفطر صاع) أربعة أمداد
(والمد
حفنة ملء اليدين
المتوسطتين
“Zakat fitrah sebesar satu sha’, (empat mud).
Satu mud adalah cakupan penuh dua telapak tangan pada umumnya,” (Syekh
Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh).
Terjadi perbedaan pendapat diantara para ulama mazhab maupun
ulama lainnya mengenai pengonversian ukuran 1 sha’ atau mud ke dalam
ukuran satuan berat. Sha’ adalah ukuran takaran. Dengan demikian, ia
tidak mudah untuk dikonversi ke dalam timbangan atau ukuran berat. Pasalnya,
ukuran berat satu sha’ berbeda-beda di masing-masing daerah. Tetapi satu
sha’ yang merupakan ukuran takaran tetap dapat dikonversi ke dalam
ukuran berat atau timbangan melalui ritl dan gram.
Satu sha’ menurut mazhab Hanafi setara dengan delapan
ritl Iraq. Satu ritl Iraq setara dengan berat 130 dirham. Dalam
ukuran gram, satu sha’ setara dengan 3.800 gram (3,8 kg). Sementara satu
sha’ menurut mazhab Hanbali setara dengan 2.751 gram (2,75 kg). (Syekh
Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh).
Adapun menurut mazhab Syafi’i, satu sha’ setara 685
5/7 dirham atau lima 1/3 ritl Baghdad. Mazhab Maliki memiliki pandangan
yang sama dengan mazhab Syafi’i, satu sha’ setara 685 5/7 dirham atau
lima 1/3 ritl Baghdad. (Kitab Kifayatul Akhyar)
Maka bisa ditarik kesimpulan bahwa 1 sha’ menurut 4
imam mazhab adalah sebagai berikut:
1. 3,8 kg menurut mazhab Hanafi.
2. 2,75 kg menurut mazhab Maliki.
3. 2,75 kg menurut mazhab Syafi’i.
4. 2,75 kg menurut mazhab Hanbali.
Selain pendapat keempat imam mazhab, para ulama pun memiliki
pendapat yang berbeda terkait pengonversian sha’ menjadi ukuran berat.
Sebagai contoh Imam Nawawi mengemukakan bahwa 1 sha’ adalah setara 683
5/7 dirham atau sekitar 2,176 kg. (Kitab Al-Syarqawi) Sementara para
ulama (Lajnah Daimah, no. fatwa: 12572) berpendapat bahwa satu sha’
untuk beras dan gandum beratnya kurang lebih 3 kg. Maka sebagaimana pendapat
para ulama, bahwa ketika menyalurkan zakat fitrah lebih baik kita lebihkan
secara ukuran berat sekarang sebagai bentuk kehati-hatian kita dalam menyikapi
perbedaan pendapat pengonversian satuan volume sha’ menjadi satuan berat
(gr/kg). Adapun ketika berlebih, maka kelebihannya akan dicatat sebagai
shadaqah di sisi Allah swt.
Kembali ke pertanyaan utama, bagaimana hukumnya membayar zakat
fitrah dengan uang? Maka dalam hal ini ada 2 pendapat. Pendapat Jumhur (Imam Syafi’i,
Imam Malik dan Imam Ahmad) bahwa mereka sepakat bahwa zakat fitrah tidak boleh
diberikan kepada penerima zakat dalam bentuk uang. Mereka berpegangan pada hadis
riwayat Abu Said:
كنّا
نُخْرِجُهَا عَلَى
عَهْدِ رَسُوْلِ
اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ صَاعًا
مِنْ طَعَامٍ،
وَكَانَ طَعَامُنَا
التَّمْرُ وَالشَّعِيْرُ
وَالزَّبِيْبُ وَالأَقْطُ
“Pada masa Rasul shallallahu alaihi wasallam, kami
mengeluarkan zakat fitrah sebanyak satu sha’ makanan, dan pada waktu itu
makanan kami berupa kurma, gandum, anggur, dan keju.” (HR.
Muslim)
Pendapat jumhur ini pun didukung oleh pendapat para ulama
setelahnya, diantaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’
Fatawa, Syaikh Taqiyuddin Al-Husaini Asy-Syafi’i dalam kitabnya Kifayatul
Akhyar, Imam Nawawi dalam Al-Majmu’, Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla
bi Al-Atsar dan As-Syaukani dalam As-Sailul Jarar.
Sedangkan pendapat yang membolehkan adalah pendapat Imam Abu
Hanifah. Beliau berlandaskan pada firman Allah subhanahu wa ta’ala:
لَنْ
تَنَالُوا الْبِرَّ
حَتَّى تُنْفِقُوا
مِمَّا تُحِبُّونَ
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang
sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.” (Ali
Imran: 92)
Pada ayat tersebut, Allah memerintahkan kita untuk
menafkahkan sebagian harta yang kita cintai. Harta yang paling dicintai pada
masa Rasul berupa makanan, sedangkan harta yang paling dicintai pada masa
sekarang adalah uang. Karenanya, menunaikan zakat fitrah dalam bentuk uang
diperbolehkan. Di samping itu, mereka juga berargumen bahwa menjaga
kemaslahatan merupakan hal prinsip dalam hukum Islam. Dalam hal zakat fitrah,
mengeluarkan zakat dalam bentuk uang membawa kemaslahatan baik untuk muzaki maupun
mustahik zakat. Bagi muzaki, mengeluarkan zakat dalam bentuk uang
sangatlah simpel dan mudah. Sedangkan bagi mustahik, dengan uang tersebut ia
bisa membeli keperluan yang mendesak pada saat itu. (Hukmu Ikhraji al-Qimah
fi Zakat al-Fithr).
Pendapat Imam Abu Hanifah didukung oleh pendapat Umar bin
Abdul Aziz, Al-Hasan Al-Bashri, dan Atha’, Ats-Tsauri.
Diriwayatkan dari Abu Ishaq; beliau mengatakan,“Aku
menjumpai mereka (Al-Hasan dan Umar bin Abdul Aziz) sementara mereka sedang
menunaikan zakat Ramadan (zakat fitri) dengan beberapa dirham yang senilai
bahan makanan.”
Jadi intinya bagaimana?
Pada intinya mayoritas ulama bersepakat bahwa membayar zakat
fitrah dengan bahan pokok secara langsung lebih utama daripada membayarkannya
dengan uang. Ini sejalan dengan dukungan naskh Quran dan Hadis yang kuat
serta apa yang dicontohkan oleh para sahabat dan ulama-ulama terdahulu. Bahwa
sejak zaman Rasulullah saw dimana saat itu sudah ada mata uang dinar dan
dirham, namun Rasulullah saw dan para sahabat tetap menunaikan zakat fitrah
menggunakan bahan pokok. Begitupula apa yang disampaikan oleh Imam Al-Haramain
Al-Juwaini Asy-Syafi’i bahwa zakat fitrah adalah ibadah yang telah ditetapkan
ketentuannya. (Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh)
Adapun bagi mereka yang ingin membayarkannya dalam bentuk
uang, maka sebagian besar ulama berpendapat bahwa harus mengikuti atau bertaklid
pada mazhab Imam Abu Hanifah. Artinya secara ukuran zakat fitrah pun harus
mengikuti ketentuan yang berlaku di dalam mazhab Hanafi yaitu setara dengan 3,8
kg makanan pokok suatu negeri. Artinya jika hari ini harga beras yang kita
makan sehari-hari adalah seharga Rp 10.000/kg maka yang harus dibayarkan adalah
Rp 38.000. Dalam hal ini pula ulama berbeda pendapat terkait diperbolehkannya
melakukan talfiq (mencampur mazhab). Ada yg melarang secara mutlak, ada
pula yang memperbolehkannya dengan beberapa syarat sebagaimana yang dikemukakan
oleh ulama-ulama kontemporer.
Maka sekarang pilihan kita, akan menunaikan zakat fitrah
menggunakan uang atau makanan pokok. Yang terpenting kita bertaklid pada
pendapat-pendapat para ‘aalim yang berlandaskan Quran dan Sunnah serta
memenuhi kriteria sebagai seorang mujtahid ataupun mufti.
Wallahu a’lam bish shawab
dihimpun dari berbagai sumber dan referensi
*Mahasiswa jurusan Studi Islam Universitas Islam Omdurman, Sudan
1 Comments
Mantap...lnjutkan kajian zakat lainnya.
BalasHapusPosting Komentar