Sang Bintang Hadits



Oleh Kautsar Ahmad
“Apabila disebutkan sebuah hadits, ada seorang bintang yang cerdas (menghafalnya). Ialah pemuda yang teramat dalam mencintai ilmu. Imam Malik Namanya”. Ujar Imam Syafi’i murid Imam Malik.

Seorang keturunan Yaman yang kakeknya hijrah ke Madinah pada masa khalifah Umar bin Khattab untuk menimba ilmu dengan para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lahir pada tahun 93 H dan wafat di usia 86 tahun tepatnya pada 179 H di kota hijrah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kakeknya. Beliaulah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin al-Harits bin Ghuyman. Kedua orangtuanya adalah murid para sahabat mulia, Nafi’ pamannya adalah periwayat hadits dari Aisyah, Abu Hurairah dan sahabat besar lainnya. Tumbuh di lingkungan keluarga religius dan mencintai ilmu membuat Imam Malik telah mendalami dan jatuh cinta pada ilmu islam sejak belia.

Kecerdasan Imam Malik melampaui saudara dan teman-teman sebayanya, tidak hanya mempelajari hadits dari para ulama tabi’in, ia juga menguasai ilmu fiqh dan tafsir sehingga kecemerlangannya semakin tampak. Sepanjang hidup Imam Malik tidak pernah keluar dari kota Madinah kecuali sekali saat berhaji. Menimba ilmu dari para ulama terbaik di zamannya agar memperoleh banyak manfaat.

Proses sungguh-sungguh belajar Imam Malik didukung penuh oleh guru pertama dalam hidupnya, sang Ibu. Tidak hanya berperan dalam memilihkan guru terbaik, sang Ibu juga menanamkan adab belajar yang kekal menjadi kepribadian Imam Malik dalam menghormati ilmu. Sebelum menuju majelis ilmu sang Ibu selalu memastikan kesiapan batin dan fisik anaknya.

“Kemarilah nak, kenakanlah pakaian yang pantas bagi penuntut ilmu” kata sang Ibu seraya memakaikan Imam Malik pakaian yang baik dan memakaikan peci juga sorban di kepalanya.

“Sekarang pergilah kepada Rabi’ah gurumu untuk menuntut ilmu. Tapi ingat nak, belajarlah dahulu akhlak darinya sebelum kau menyerap ilmunya”. Demikianlah nasihat dari ibunda yang mendambakan kesuksesan pendidikan anaknya. Nasihat ibunda membekas di hati Imam Malik kecil yang terbawa sampai akhir hayatnya sehingga sang Imam dikenal sebagai orang paling putih pakaiannya, wangi dan rapi penampilannya.

Dari ibunda Imam Malik kita dapat belajar, bahwa ibu yang shalihah seharusnya bisa menggambarkan keagungan dan kemuliaan sebuah majelis ilmu dengan baik kepada putra tercinta. Selanjutnya, ibunda Imam Malik memilihkan Rabi’ah yang masyhur kedalaman ilmunya dalam bidang fiqih. Tandanya sebagai orang tua hendaknya mengarahkan dan menyiapkan pendidikan terbaik. Dan yang terakhir, sedalam apapun ilmu yang dimiliki, jika tidak dihiasi dengan kemuliaan akhlak tidak akan bermakna apa-apa. Sebagaimana budi yang luhur tidak akan muncul dari seseorang yang tidak berpengetahuan unggul sebab ilmu dan akhlak adalah dua hal yang saling melengkapi dan menghiasi.

Berkat do’a serta dukungan dari orang tua dan karunia Allah Imam Malik dikenal sebagai pribadi yang memiliki semangat kuat dalam mempelajari ilmu, kuat hafalannya dan dalam pemahamannya. Suatu ketika Imam Malik mendengar 30 hadits dari Ibnu Hisyam az-Zuhri, lalu ia berhasil mengulangi 29 hadits dengan sempurna, maka dari itu sebutan bintang hadits pantas disematkan kepada beliau.

Kecintaannya yang dalam akan ilmu membuat Imam Malik membenci orang-orang yang meremehkan ilmu. Jika ada yang meremehkan perihal keilmuan, beliau akan marah dan mengatakan
“Pembahasan ilmu bukanlah suatu hal yang ringan, Allah befirman dalam surat Al-Muzammil ayat 5 (“Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat”). Semua permasalahan agama adalah pembahasan yang berat, khususnya permasalahan yang akan ditanyakan di hari kiamat.”

Buah dari kerja keras Imam Malik dalam menuntut dan menjaga ilmu yang dipelajarinya dapat kita rasakan hingga saat ini. Ada dua warisan besar yang diakui ummat muslim di seluruh dunia yaitu Mazhab Maliki dan kitab al-Muwattha’.

Mazhab Maliki mendasarkan pemahaman keagamaan pada nash-nash Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam sehingga aliran ini dikenal dengan ahli hadits atau ahli atsar yang banyak diwakili muslim di Hijaz. Metode ini sering bertentangan dengan pemikiran ahli ra’yi di Irak atau penganut Mazhab Hanafi yang mengedepankan analogi dalam mengambil hukum suatu masalah ketika tidak ada dalil dalam Al-Quran dan Sunah.

Sementara ulama di Madinah mengedepankan metode maslahah mursalah (kemaslahatan) dan urf (tradisi) selama tidak bertentangan dengan syariat islam dalam merumuskan hukum-hukum menyesuaikan dengan kebutuhan yang muncul pada setiap zaman. Mazhab Maliki masih hidup sampai sekarang dan menjadi mazhab resmi di beberapa negara seperti Sudan, Maroko, Tunisia dan Kuwait.

Warisan kedua yang hingga hari ini masih dijadikan rujukan penting khususnya di kalangan pesantren dan ulama kontemporer yaitu kitab al-Muwattha’. Kitab yang digarap Imam Malik selama 40 tahun ini dinilai memiliki banyak keistimewaan. Kitab ini berisi kumpulan kaidah-kaidah fiqh yang disarikan dari hadits shahih dan fatwa para sahabat dan disusun berdasarkan klasifikasi hukum fiqh dalam berbagai aspek penting mulai dari ibadah, muamalah, munakahat (pernikahan), jinayat (pidana), dan lainnya.

Al-Muwattha’ yang berarti rujukan memiliki standarisasi khusus dalam penyusunannya, yaitu posisi perspektif fiqh moderat yang berarti menengah, tidak condong kaku dan keras namun tidak pula terlampau menggampangkan juga tidak terlalu asing untuk diamalkan. Dengan adanya standarisasi tersebut, al-Muwattha’ bisa dijadikan acuan umum bagi umat Islam di seluruh belahan dunia.

Semoga kita dapat menjadi pribadi yang mencintai ilmu dan semoga Allah merahmati Imam Malik dan menempatkannya di SyurgaNya yang penuh kenikmatan. Aamiin. Wallahu a’lam.


Khartoum, 14 Mei 2020

Posting Komentar

0 Comments

Formulir Kontak