Oleh Kautsar Ahmad
Ialah pelopor terbesar dalam sejarah hukum Islam, pelindung
agama Allah yang di doakan Ali bin Thalib menjadi ahli ilmu yang diberkahi
Allah, beliaulah Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit At-Taymi Al-Kufi rahimahullah.
Lahir di Kufah pada 80 H dan wafat pada 150 H bertepatan tahun ketika Imam
Syafi’i lahir.
Abu Hanifah tumbuh di lingkungan keluarga kaya dan saleh. Ayahnya
merupakan pebisnis kain sutra yang taat beragama. Kakeknya merupakan tawanan Irak
yang mendapatkan cahaya islam dan menjalin hubungan baik dengan Ali bin Abi
Thalib. Maka tak heran jika Abu Hanifah kecil sudah akrab dan hafal Al-Quran.
Mempelajari ilmu islam adalah kegiatan sambilan Abu Hanifah
awalnya. Karena ia mengikuti jejak bisnis ayahnya dan sukses kaya raya. Hingga
suatu ketika ia bertemu dengan ulama besar Al-Sya’bi. “Kamu wajib memperdalam
ilmu agama dan mengikuti halaqah para ulama. Karena kamu cerdas dan
memiliki potensi yang sangat tinggi.” tutur Al-Sya’bi. Nasihat ini sangat membekas
pada diri Abu Hanifah, ia menunjuk orang kepercayaan untuk mengurus bisnisnya,
dan menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk belajar, menghadiri halaqah ulama.
18 tahun lamanya Abu Hanifah habiskan untuk belajar dan
meriwayatkan hadits daripada 37 guru. Ilmu fiqh menjadi fokus utamanya karena
ia tahu ilmu ini akan sangat berguna dan bermanfaat bagi masyarakat. Abu
Hanifah merupakan ahli qiyas, analogi. Karena ilmu filsafat, dan ilmu
kalam merupakan ilmu yang berkembang di Kufah pada masa itu, sehingga para
intelektual muslim wajib mendalami ilmu kalam, logika dan debat untuk merespon
pertanyaan dan permasalahan tentang Ketuhanan yang dilontarkan para filsuf.
Ketokohan dan keilmuan Abu Hanifah tidak diragukan lagi.
Imam Syafi’i bahkan mengatakan, “Barang siapa yang ingin memperdalam ilmu fiqh,
maka bergurulah kepada Imam Abu Hanifah.” Terbukti dengan mazhab fiqhnya yang
tidak redup dan terus dipakai oleh umat islam di beberapa negara seperti Turki,
Suriah, Irak, Mesir, dan India sampai saat ini. ‘Al-Watit’ adalah nama lain Abu
Hanifah, yang artinya orang yang banyak mendirikan shalat sunnah. Dikatakan
bahwa ia shalat sunnah 300 rakaat setiap malam dan mengkhatamkan al-Qur’an
hanya dalam satu rakaat.
Suatu ketika ibu Abu Hanifah mengeluhkan perihal darah yang
didapati setelah beberapa hari suci dari haid. Sang ibu bingung apakah harus
meninggalkan shalat atau tidak, maka ibu memerintahkan Abu Hanifah untuk pergi
ke Abu Abdirrahman Umar bin Dzurr dan bertanya kepadanya. Imam Abu Hanifah
mematuhi perintah ibunya meski Umar bin Dzurr terheran-heran seraya tertawa dan
mengatakan, “Engkau bertanya mengenai persoalan fiqh sementara kami mengambil
ilmu darimu?”
“Sesungguhnya ibuku memerintahkanku untuk meminta fatwa
darimu , beliau memiliki hak atasku,” jawab Abu Hanifah.
Mengerti alasan mulia dari Abu Hanifah, Umar bin Dzurr
bertanya kepada Abu Hanifah “apa yang telah engkau sampaikan kepada ibumu
mengenai hal ini?”
“Aku mengatakan demikian, demikian dan demikian,” jawab Imam
Abu Hanifah.
“Pergilah dan katakan pada ibumu demikian, demikian dan
demikian,” jawab Umar Dzurr persis seperti yang dikatakan Abu Hanifah.
Maka pulanglah Abu Hanifah kepada sang ibu dan berkata
dengan penuh adab, “Abu Abdirrahman Umar bin Dzurr berkata demikian, demikian,
demikian.” (Dalam Manaqib Imam Abi Hanifah li Al Qurdi, 2/403)
Kejadian diatas tidak hanya terjadi sekali. Sang ibu pernah
bersumpah namun melanggar sumpah tersebut. Ia kemudian bertanya kepada putranya
dan diberikan fatwa atas ilmu Abu Hanifah yang mendalam. Namun sang ibu tidak
merasa puas dan berkata, “Aku tak merasa ridha kecuali jika mendengar langsung
fatwa dari Zur’ah Al-Qash.”
Abu Hanifah membawa sang ibu menemui Zur’ah yang lagi-lagi
disambut dengan keheranan. “Wahai ibu, engkau meminta fatwa padaku padahal di
depanku ada seorang yang paling alim di kota Kufah?”. Abu Hanifah lalu berbisik
kepada Zur’ah dan mengatakan fatwa yang telah disampaikan sebelumnya. Zur’ah pun
akhirnya menjawab dengan jawaban yang sama dari Abu Hanifah. Sang ibu merasa
puas ketika mendengar dari lisan Zur’ah. Tidak ada kemarahan sedikitpun pada
diri Abu Hanifah dan ia mengantarkan sang ibunda kembali ke rumah.
Di hari lain, ibunda meminta Abu Hanifah untuk
mengantarkannya ke majelis ilmu, namun bukan majelis putranya sendiri melainkan
seorang ulama Kufah yang ilmunya jauh di belakang Abu Hanifah. Tanpa banyak
bertanya apalagi membantah, Abu Hanifah menggendong ibunda naik ke atas keledai
lalu mengantarkannya ke majelis ‘Umar bin Dzar. Kesaksian ini disampaikan oleh
Abu Yusuf, murid Abu Hanifah.
Kisah diatas menggambarkan sifat rendah hati seorang Abu
Hanifah yang tidak memaksa ibunda untuk mempercayainya dengan membesarkan diri,
padahal sang imam memiliki ilmu yang lebih dalam, hafalan yang lebih kuat,
kefaqihan, dan kealiman dalam syariat agama dan seluruh kota pun tahu bahwa Abu
Hanifah-lah tempat menanyakan fatwa. Sang imam juga tidak merendahkan imam lain
yang memiliki ilmu dibawahnya.
Kedua, Abu Hanifah mengajarkan kepada kita perihal bakti
kepada orang tua (birrul walidain). Ia dengan senang hati mengantarkan
ke tempat imam pilihan sang ibu tanpa merasa gengsi dan khawatir akan gunjingan
dari orang-orang yang menganggap ibunya tidak mempercayainya atau karena Abu
Hanifah tidak bisa menjawab pertanyaan ibunya. Demi kebahagiaan dan kepuasan
sang ibu, Abu Hanifah rela menurunkan kredibilitasnya sebagai seorang ulama,
karena baginya, berbakti kepada orang tua jauh lebih penting dari kedudukannya.
Maka tak pantas bagi kita yang
fakir ilmu, dan akhlak bersikap tak patuh dan sombong kepada orang tua. Tugas
kita sebagai anak membuat mereka bahagia jangan sampai membuatnya bersedih dan
menangis. Dalam sebuah riwayat Hammad bin Salamah bercerita, dari Ziyad bin
Mikhraq, dari Thaysalah, sesungguhnya ia mendengar Ibnu Umar berkata: “Tangisan
kedua orang tua termasuk bentuk kedurhakaan dan dosa besar.” (HR. Imam Bukhari,
Adab al-Mufrad, h.19). Semoga kita termasuk orang yang berbakti dan
dijauhkan dari kedurhakaan.
Selanjutnya, penolakan dari ibunda
Abu Hanifah bisa jadi merupakan cara mendidik atau menguji sang anak yang telah
menjadi ulama besar yang fatwanya diakui. Bisa jadi sang ibu sengaja melakukan
untuk mengukur kedalaman akhlak anaknya karena ia khawatir semua kemuliaan dan
kehormatan yang didapat Abu Hanifah telah menghanyutkan anaknya dalam lautan
bangga diri, sombong dan riya’.
Jika memang demikian, itu berarti sang ibu sedang menjalankan perannya
sebagai madrasah, pendidik paling awal dan dekat untuk anaknya.
Demikianlah bakti luar biasa Abu Hanifah terhadap ibunda.
Meski merupakan salah satu dari imam mazhab yang menjadi rujukan muslim dunia,
ia tetap memposisikan diri di hadapan ibunya sebagai seorang anak. Tak heran
jika para ulama memuji bakti Abu Hanifah. “Tidaklah didapati orang yang paling
berbakti kepada ibunya di kota Kufah ini selain Abu Hanifah dan Manshur bin
Al-Mu’tamar.” Wallahua’lam.
0 Comments
Posting Komentar