Oleh April Setiawan*
Suasana perayaan Idul Fitri
1441 Hijriah kita rasakan sangatlah berbeda, sebab kita masih diuji dengan
pandemi COVID-19 (virus korona). Gema
takbir tak lagi memenuhi ruas-ruas jalan, berpindah ke sudut-sudut rumah kita.
Hal tersebut tentu membawa hawa positif bagi kita. Begitu juga momen
bersilaturahmi lebih banyak kita lakukan secara online. Jelasnya walaupun
bersilaturahmi secara online, akan tetapi hati kita tetaplah saling terpaut. Jarak fisik boleh berjauhan, tetapi hati
harus tetap terasa dekat.
Perayaan idul fitri ini
memiliki banyak hikmah. Hikmah-hikmah yang perlu kita renungi dengan seksama
untuk dijadikan pelajaran kedepannya. Hikmah-hikmah yang bertujuan mengantarkan
kita agar tetap pada ketaatan kepada Allah Subhanahu
Wa Ta'ala.
Sudah tahukah kita apa
saja hikmah-hikmah dari perayaan Idul Fitri
tersebut? Sudah tahukah kita apa saja isyarat-isyarat yang dititipkan kepada
kita saat Ramadan berganti dengan Syawal? Ya, tentu tidak semua mengetahuinya!
Tapi tenang gaesss, pada artikel ini penulis akan
memaparkan hikmah-hikmah beserta pelajaran dari perayaan idul fitri tersebut.
Penulis juga menganalisis beberapa pandangan para alim ulama mengenai hal itu.
Untuk pembahasan kali ini penulis lebih fokus pada pandangan Ustadz Toha Marup,
M.A.
Beliau merupakan
mahasiswa program doktoral pada Khartoum University atau lebih dikenal kampus Jami'ah Khartoum. Sekarang beliau sedang persiapan sidang disertasi
untuk mendapatkan gelar akademiknya yaitu Ph.D.
(Philosophy of Doctor). Tugas utama beliau di Indonesia adalah sebagai
hakim di Pengadilan Agama Wonogiri Jawa Tengah. Beliau juga aktif berdakwah di
lingkungannya dengan berceramah, khutbah, dan aktivitas sosial dakwah lainnya.
Pada Idul Fitri 1441
Hijriah kali ini beliau yang mengisi
khutbah Idul Fitri yang kami laksanakan
di halaman Rumah Pink (Bait Pink) berdekatan lokasinya dengan sekretariat PMJB
Sudan (Paguyuban Mahasiswa Jawa Barat dan Banten) di Sudan. Khutbah beliau
dengan judul "Meningkatkan
Kesadaran Diri setelah Bulan Suci". Khutbah inilah yang penulis analisis pada artikel kali ini.
Artikel ini memaparkan
hikmah-hikmah serta pelajaran yang dapat kita ambil dari perayaan Idul Fitri.
Tentu sangat banyak hikmah-hikmah dari perayaan Idul Fitri. Akan tetapi,
pada kesempatan ini penulis hanya akan
membahas dua hikmah saja. Dua hikmah yang paling penting untuk kita ketahui.
Dua hikmah tersebut, yaitu;
Pertama, hikmah perayaan idul fitri ini menyadarkan akan
kebesaran Allah Subhanahu Wa Ta'ala
dan mengingatkan siapa sebenarnya diri kita.
Takbir yang kita
lantunkan “Allahu Akbar, Allahu Akbar,
Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillahilhamd” kita sadari bahwa Allah yang
Maha Besar, tidak ada satu makhluk pun yang dapat menandingi kebesaran-Nya.
Maha Besar Allah yang
telah menciptakan alam ini, termasuk kita. Takbir yang kita gemakan juga
menyadarkan akan lemahnya kita dihadapan Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Kita tak bisa berbuat apa-apa, kecuali atas
izin Allah. La haula wala quwwata illa
billah ‘tidak ada daya dan upaya melainkan kekuatan dari Allah Ta'ala'.
Dengan menyadari
kebesaran Allah inilah, kita harus merendahkan diri kepada Allah dengan
senantiasa taat melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala
larangan-Nya. Begitu juga kepada sesama manusia, kita harus merendahkan hati
dengan pandai menghargai dan menghormati mereka.
Dengan menyadari
kebesaran Allah tersebut, maka hilanglah rasa sombong dalam diri kita. Apa yang
mau disombongkan tentang diri kita dihadapan orang-orang, apakah kekayaan?
Tidak. Apakah jabatan? Tidak. Apakah keturunan? Tidak. Apakah ilmu? Juga tidak. Ayo, kita renungkan dengan seksama! Siapa
sebenarnya kita ini? Lanjutan artikel ini insyaallah dapat menjawab
pertanyaan-pertanyaan di atas dengan jelas.
Kita dilahirkan dalam
keadaan fakir, kemudian Allah Subhanahu
Wa Ta'ala berikan kekuatan, kecukupan, pengetahuan, jabatan, kekayaan, dan
kelebihan-kelebihan lainnya. Coba kita perhatikan firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala yang menegaskan tentang jati diri kita yang
sebenarnya, firman Allah yang berbunyi;
ٱقۡرَأۡ بِٱسۡمِ رَبِّكَ
ٱلَّذِي خَلَقَ
“Bacalah dengan (menyebut) nama tuhanmu yang menciptakan”
خَلَقَ
ٱلۡإِنسَٰنَ مِنۡ عَلَقٍ
"Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah”.
ٱقۡرَأۡ وَرَبُّكَ ٱلۡأَكۡرَمُ
“Bacalah, dan tuhanmulah yang Mahamulia,”
ٱلَّذِي
عَلَّمَ بِٱلۡقَلَمِ
“Yang mengajar (manusia) dengan pena.”
عَلَّمَ ٱلۡإِنسَٰنَ مَا لَمۡ
يَعۡلَمۡ
“Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.”
(Surat Al-'Alaq, Ayat
1-5)
Muthraf Bin Abdullah juga
mengatakan, bahwa manusia itu;
أوله نطفة وآخره جيفة وفي
بطنه الكدورة
“Manusia berasal dari air mani yang menjijikkan, berakhir
menjadi bangkai yang menakutkan dan kemana-mana membawa kotoran dalam
perutnya”.
Lantas pantaskah kita
menyombongkan diri? Tentu tidaklah pantas. Tidaklah pantas kita menganggap diri
paling hebat, paling kuat, paling kaya, paling cerdas, paling bijak, dan
paling-paling yang lainnya. Begitu juga dengan hal-hal lainnya yang membuat
kita merendahkan dan mengganggap remeh-temeh orang lain.
Apalagi kalau sampai
orang-orang mengecap sikap kita dengan menyatakan, “kamu itu baru saja dikasih kelebihan sedikit sudah belagu dan sombong”.
Jangan sampai ya gaeesss, kalimat itu
menyapa kita. Apalagi kalau sampai mendapat cap si Sombong.
Halo gaeesss! kalian sudah pada tahu belum apa itu sombong? Apakah sombong itu orang yang memakai pakaian
baru nan indah setiap keluar rumah? Apakah sombong itu orang yang lewat di
depan kita lantas tidak menyapa? Apakah sombong itu orang yang bersedekah
kemudian diceritakannya di publik? Apakah sombong itu letaknya di hati? Biar
kita lebih faham, yuk lanjutkan lagi membaca artikel ini!
Ustadz Toha Marup, M.A.
menegaskan dalam khutbahnya, bahwa;
"Sombong bukanlah dilihat dari pakaian dan penampilan,
namun kesombongan merupakan sikap diri merasa lebih dari orang lain yang
tercermin dari prilaku suka merendahkan dan meremehkan orang lain dan tidak mau
menerima kebenaran yang datang dari Allah, seperti tidak mau shalat, tidak mau
puasa Ramadan, dan keengganan melaksanakan perintah Allah yang lainnya."
Terkait perkara sombong,
ditegaskan juga oleh Rosulullah Shallallahu
'Alaihi Wa Sallam dari 'Abdullah Ibn Mas'ud Radhiyallahu 'Anhu bahwa Nabi Saw. bersabda;
"لا
يدخل الجنة من كان في قلبه مثقال ذرة من كبر" فقال
الرجل: إن الرجل يحب أن يكون ثوبه حسنا, ونعله
حسنة? قال: "إن
الله جميل يحب الجمال الكبر بطر الحق وغمط الناس" روه
مسلم.
"Tidak akan masuk surga orang yang dalam hatinya ada
setitik saja dari kesombongan”, kemudian ada seseorang berkata : “bagaimana dengan orang yang suka memakai
baju dan sendal yang bagus”. Nabi Saw. bersabda, “Allah itu indah dan menyukai
keindahan, sementara sombong adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia”. (H.R. Muslim)
Jadi, gaeesss! dari hikmah pertama ini kita
bisa mengambil pelajaran agar senantiasa merendahkan diri kepada Allah dan
menjadi pribadi-pribadi yang tawaduk, serta menjauhkan diri dari perkara
sombong.
Hikmah tersebut juga
memberi pelajaran agar kita senantiasa menerima kebenaran walaupun datangnya
dari orang yang lebih rendah kedudukannya dari kita. Rendahkanlah diri kita
kepada Allah dengan ketaatan. Rendahkanlah hati kita kepada sesama manusia
dengan senantiasa melihat kelebihan-kelebihan orang lain dan melihat kekurangan-kekurangan
pada diri sendiri.
Kedua, hikmah dari perayaan Idul Fitri ialah mengingatkan
kita bahwa kehidupan ini akan berakhir dan kita akan kembali ke hadirat Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
Perayaan Idul Fitri
menandakan berakhirnya Ramadan, tapi bukan berarti berakhirnya dari mengerjakan
amalan ibadah yang unggul. Setuju ya gaesss, dengan pernyataan tersebut!
Ramadan sudah ditetapkan
waktunya, lalu digantikan dengan bulan Syawal, dan seterusnya. Begitupun dengan
masa hidup kita di dunia yang fana ini, Allah telah tetapkan sebelum kita
membuka mata melihat gemerlap dunia.
Allah sudah memberikan
ketetapan-ketetapan terhadap makhluk-Nya, seperti rezeki, jodoh, maut, dan
lain-lain. Kita saja yang kadang lupa terhadap ketetapan tersebut. Jadi,
perayaan idul fitri ini sebagai pengingat bagi kita bahwa kehidupan akan berakhir dan kita akan
kembali ke hadirat Allah Subhanahu Wa
Ta'ala. Ini terbukti dengan berakhirnya kenikmatan Ramadan yang kita
rasakan.
Selanjutnya akan berakhir
juga kenikmatan lezatnya dunia ini dengan datangnya kematian. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda:
عن أبي هريرة قال : قال رسول
الله صلى الله عليه وسلم;
أكثروا ذكر هادم اللذات : الموت" (روه
الترمذي والنسائي وصححه ابن حبان(
"Perbanyaklah kalian mengingat yang menghancurkan
kenikmatan, yakni kematian" (H.R. Turmudzi dan Nasai).
Maut datang dengan
kepastian dan tak dapat diundur ataupun dimajukan. Firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala;
كُلُّ
نَفۡسٖ ذَآئِقَةُ ٱلۡمَوۡتِۗ وَإِنَّمَا تُوَفَّوۡنَ أُجُورَكُمۡ يَوۡمَ
ٱلۡقِيَٰمَةِۖ فَمَن زُحۡزِحَ عَنِ ٱلنَّارِ وَأُدۡخِلَ ٱلۡجَنَّةَ فَقَدۡ فَازَۗ
وَمَا ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَآ إِلَّا مَتَٰعُ ٱلۡغُرُورِ
“Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Dan hanya pada
hari kiamat sajalah diberikan dengan sempurna balasanmu. Barangsiapa dijauhkan
dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, sungguh, dia memperoleh kemenangan.
Kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdaya”. (Surat Ali 'Imran, Ayat
185)
وَلِكُلِّ
أُمَّةٍ أَجَلٞۖ فَإِذَا جَآءَ أَجَلُهُمۡ لَا يَسۡتَأۡخِرُونَ سَاعَةٗ وَلَا
يَسۡتَقۡدِمُونَ
“Dan setiap umat mempunyai ajal (batas waktu). Apabila
ajalnya tiba, mereka tidak dapat meminta penundaan atau percepatan sesaat pun”. (Surat Al-A'raf, Ayat
34)
Rasanya kita sudah
semakin sadar ya! Bahwa kematian pasti akan menjemput kita. Lalu, apa yang kita
rasakan sekarang? Apakah ketakutan? Apakah kecemasan? Ya, perasaan-perasaan itu
bisa saja menghampiri kita!
Tetap tenang ya, gaesss! Sebab kematian bukanlah hal yang
harus ditakuti, kalau kita sudah mempersiapkannya jauh-jauh hari.
Pertanyaannya, sudah siapkah kita menghadapi kematian itu? Kalau belum
siap. Ayo, kita persiapkan dari
sekarang! Jangan menunggu nanti, kalau ajal sudah di kerongkongan baru
mempersiapkannya.
Persiapkan sedini-dininya
dengan perbekalan terbaik untuk menghadap Allah ke hadirat-Nya, sebab maut tak
ada pemberitahuannya. Jadi, kita kudu bersiap-siap menghadapi maut setiap saat.
Lalu, apa saja bekal yang perlu kita persiapkan untuk menghadapi kematian
tersebut? Ya, diantaranya dengan selalu mengingat kematian itu, lalu banyak-banyak
beramal sholeh, kemudian berdoa agar dipanggil Allah dalam keadaan
husnulkhatimah. Adapun diantara doanya, yaitu:
اللهم
إنا نسألك حسن الخاتمة, ونعوذبك من سوء الخاتمة, الهم
اجعل آخر كلامنا عند انتهاء آجلنا قول لا اله إلا الله محمد رسول الله.
"Yaa Allah kami memohon
kepada-Mu kebaikan dari akhir hidup kami dan kami berlindung kepada-Mu
dari keburukan akhir hidup kami, yaa Allah jadikan akhir ucapan kami ketika
telah datang ajal kami dengan perkataan Laa
Ilaaha Illallah Muhammad Rosuulullah 'tidak ada tuhan kecuali Allah dan
Muhammad adalah utusan Allah."
Ada lagi yang penting
untuk diingat dalam menyikapi kehidupan yang akan berakhir ini gaeesss, yaitu agar kita turut andil
mengambil bagian dunia ini dan menjadikan akhirat prioritas utama kita.
Usahakan semua kenikmatan dalam aktivitas dunia kita goal-nya (tujuannya) adalah akhirat.
Apakah bisa, semua
kenikmatan dunia ini kita arahkan untuk kenikmatan akhirat yang abadi? Yaa,
tentu saja bisa! Misal, dengan kekayaan menjadikan kita dermawan, dengan
jabatan untuk menegakkan keadilan, dengan ilmu-ilmu (sains) untuk mengokohkan
syiar-syiar Islam, dan juga bidang-bidang lainnya.
Hal ini sejalan dengan
firman Allah Ta'ala;
وَٱبۡتَغِ
فِيمَآ ءَاتَىٰكَ ٱللَّهُ ٱلدَّارَ ٱلۡأٓخِرَةَۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ
ٱلدُّنۡيَاۖ وَأَحۡسِن كَمَآ أَحۡسَنَ ٱللَّهُ إِلَيۡكَۖ وَلَا تَبۡغِ ٱلۡفَسَادَ
فِي ٱلۡأَرۡضِۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُفۡسِدِينَ
“Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan
Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan
berbuatbaiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik
kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak
menyukai orang yang berbuat kerusakan”. (Surat Al-Qashash, Ayat 77)
Jadi, gaesss! Hikmah yang kedua dari perayaan
Idul Fitri ini dengan telak menegaskan kepada kita bahwa kehidupan ini akan berakhir, kemudian kita akan kembali ke hadirat-Nya.
Maka dari itu kita harus serius dalam
mencari perbekalan akhirat. Kerahkan semua kemampuan yang dimiliki untuk
meraih kebahagian yang abadi di akhirat kelak.
Dari kedua hikmah
perayaan Idul Fitri di atas, kita perlu mewawas diri secara jujur. Mengoreksi
diri dengan beberapa pertanyaan, yaitu:
1. Sudahkah kita membesarkan
dan mengagungkan Allah Ta'ala? Kalau belum, maka mulailah dari sekarang
sematkan bahwa Allah Maha Besar dan tidak ada satu makhluk pun yang dapat
menandingi. Mulailah buktikan dengan menaati perintah-Nya dan menjauhi
larangan-Nya.
2. Sudahkah kita tawaduk,
bersikap sopan, santun dan rendah hati kepada sesama manusia? Kalau belum, maka
mulailah dengan bersikap santun, menghormati dan menghargai orang lain, dan
juga sikap-sikap rendah hati lainnya.
3. Sudahkan kita membuang
sifat sombong dalam diri? Kalau belum, maka dari sekarang buanglah jauh-jauh
sikap dan sifat sombong itu, ganti dengan rendah hati (tawaduk). Mulailah sikap
tawaduk dengan melihat kelebihan-kelebihan orang lain dan juga melihat
kekurangan-kekurangan pada diri sendiri dengan penuh kesadaran.
4. Sudahkah kita banyak
mengingat kematian? Kalau belum, maka dari sekarang perbanyaklah mengingat
kematian dan perbanyak juga beramal shaleh, serta selalu berdoa agar diwafatkan
dalam keadaan husnulkhatimah.
5. Sudahkah kita
memprioritaskan kebahagiaan akhirat? Kalau belum, maka mulailah jargonkan dalam
setiap perkara, kita katakan “Allah dulu, Allah lagi, Allah terus”.
Sudahkah amal-amal kita
ikhlas lillahi ta'ala 'untuk Allah
semata'? Kalau belum, mari kita memperbarui niat dalam beramal hanya untuk
Allah semata.
Itulah diantara
hikmah-hikmah dan pelajaran yang kita ambil dari perayaan Idul Fitri. Sebagai
penutup, ayo kita perhatikan satu hadis yang populer! Hadis yang menggambarkan
bahwa dunia yang kita jalani ini hanyalah sebentar ibarat kita menyeberang
jalan, hanya selayang pandang. Rosulullah Shallallahu
'Alaihi Wa Sallam bersabda;
"كن في
الدنيا كأنك غريب أو عابر سبيل"
"Jadilah engkau di dunia seperti orang asing atau
seperti orang yang sedang menyeberang jalan."
وكان
ابن عمر يقول : إذا أمسيت فلا تنتظر الصبح, وإذا
أصبحت فلا تنتظر المساء, وخذ من صحتك لمرضك, ومن
حياتك لموتك. (روه البخارى)
Dan Ibnu Umar berkata : "jika engkau berada pada sore hari,
maka jangan engkau menunggu pagi hari. Jika engkau berada di pagi hari, maka
jangan engkau menunggu sore hari. Manfaatkan waktu sehatmu sebelum datang waktu
sakitmu. Manfaatkan waktu hidupmu sebelum tiba kematianmu." (H.R.
Bukhori)
Mudah-mudahan kita selalu
istikamah dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah Ta'ala. Di hari yang fitri ini hendaklah kita saling memaafkan.
Begitu juga agar kita menghapuskan kedengkian, kebencian, dan rasa dendam yang
pernah bersarang di dada.
Akhirnya kita berharap
agar dipanggil Allah nantinya dalam keadaan baik dan ibadah kepada Allah. Kita
rida terhadap Allah dan Allah rida terhadap kita, serta nantinya di akhirat
kita ditempatkan Allah Subhanahu Wa
Ta'ala di surga-Nya. Amiin Ya Rabbal 'Aalamiin
*Mahasiswa Mahad Lughah
pada Khartoum International Institute for Arabic Language (KIIFAL) di Sudan
0 Comments
Posting Komentar